Kamis, 13 Maret 2014

Gunung Merbabu, Bencana Kecil

Awalnya kami bingung ingin mendaki lewat jalur mana, karena gunung merbabu memiliki 4 jalur pendakian yaitu wekas, cunthel, tekelan, dan selo merbabu. Setelah mencari info dari blog maupun kawan-kawan yang sudah pernah kesana, kami pun memutuskan untuk mendaki lewat jalur cunthel. 

24 Agustus 2013

Saya berangkat bersama Sunarno, Affan, dan Huda menuju Kopeng, Salatiga. Kebetulan kami punya kawan yang tinggal disana tepatnya di Desa Getasan, yakni Tutur namanya. Kalau sedang main ke Kopeng, mampir ke rumahnya merupakan sebuah kewajiban yang harus dipenuhi. Lumayan bisa makan gratis hehehehe. Sampai di rumahnya, tiba-tiba ban motor yang saya tunggangi bocor. Apakah ini sebuah pertanda? Mungkin saja hehehe.

Santai-santai dulu dirumah Tutur sekalian silaturahmi yang berkedok makan gratis. Ia pun bersedia menemani mendaki asalkan trekking malam karena Ia masih ada acara karnaval desa. Tapi kami menolaknya dan memutuskan untuk trekking siang. Kalau ada kawan nanjak, Tutur berencana menyusul kami nanti malam. Baiklah, kami janjian di pos pemancar. Ban motor sudah selesai di tambal, perut juga sudah kenyang, suwun bro! Kami berempat berangkat menuju basecamp cunthel.

Motor kami parkir di belakang basecamp, kemudian setelah selesai melakukan registrasi, kami pun mulai trekking jam 11.00. melewati pemukiman warga yang ramah tamah menyapa dengan senyum hangat, tak berlangsung lama kami mulai melintasi ladang penduduk yang sebentar lagi siap di panen. Meninggalkan ladang, kami mulai memasuki kawasan hutan yang tak terlalu rapat. Cuaca cukup cerah siang itu, matahari menyengat menggores kulit. Ketika sampai di Pos 3, vegetasi mulai terbuka dan tiang pemancar yang menjulang tinggi di Pos 4 mulai terlihat. Langkah kaki semakin berat saja rasanya, hingga kami beberapa kali berhenti untuk mengunyah biskuit dan meneguk air yang kami ambil dari bak penampungan air sekitar ladang. Sekitar jam 16.00 kami sampai di pos pemancar. Mendirikan tenda, bikin kopi, masak mie, dan rasa kenyang membuat kami tertidur. Padahal rencananya usai menyantap hidangan, kami berencana memburu sunset. Jam 18.30 aku terbangun, angin berhembus liar. Beberapa pasak aku cek kembali, ternyata masih aman.




Sekitar jam 22.00, angin kembali berhembus sangat kencang, tenda kami bergoyang-goyang dengan hebat. Mulut ini tak henti-hentinya mengucap doa, semoga frame yang sedikit sakit ini mampu bertahan. Sekitar tengah malam jam 00.00 ada seseorang yang mengetuk-ngetuk tenda kami, rupanya Tutur datang bersama seorang kawannya. Obrolan malam itu kembali menghangatkan suasana berpadu dengan kopi hitam sedikit gula. Hembusan angin kencang perlahan-lahan sirna. Tiba-tiba aku ingin tidur di luar tenda, di bawah kilau bintang-bintang. Gelar sleeping bag di samping tenda, menit demi menit menyatu dengan alam. Lagu era 90’an membangkitkan kenangan masa kecil.








Waktu berjalan sangat cepat, kilau gemintang pelan-pelan menghilang hingga mentari pagi menampakkan pesonanya. Sekitar jam 06.30 kami berangkat untuk mencapai puncak kenteng songo merbabu. Barang-barang yang sekiranya tidak diperlukan kami tinggal di tenda.







gunung merapi


kami bangga menjadi relawan

Turun dari puncak, kami pun bergegas kembali ke tenda. Wow, saya terkejut. Hesti ternyata sudah menunggu di depan tenda.Kami mendaki bersama waktu di gunung lawu dan gunung rinjani. Waktu itu, dia mengantar kawannya ke gunung merbabu. saya juga telah memberi kabar sebelumnya kalo ngecamp di pos pemancar. Ngobrol-ngobrol sebentar sambil packing, kami pun berpisah. Hesti turun duluan menghampiri kawan-kawannya di Pos 3.
Tak berlangsung lama, kami pun juga turun kembali lewat jalur cunthel. Di bawah pemancar akan ada percabangan, kalau ke kiri jalur cunthel, kalau ke kanan jalur tekelan. Setelah mengambil ke kiri, aku waktu itu berada di paling belakang. Aku turun mengikuti langkah Sunarno yang berada tepat di depanku. Mungkin karena terlalu asik memilih pijakan yang nyaman, tanpa di sadari aku telah keluar dari rombongan. Aku baru menyadari ketika sebelah kanan saya adalah jurang menganga dan pemancar berada di sebelah kananku (harusnya sebelah kiri). Aku pun berteriak namun tak terdengar oleh kawan-kawan. Aku juga berusaha mencari tempat yang memiliki sudut pandang luas, namun nihil. Mau kembali ke percabangan tadi, tapi sudah terlampau jauh. Di depan terlihat ada beberapa pendaki yang juga mau turun. Ternyata aku  berada di jalur tekelan. Aku masih mencoba berteriak lagi, akhirnya mendapat balasan dari kawan-kawan. Kemudian aku mengirim pesan kalau kita berpisah saja dan di sini aku ada barengan untuk turun. Sinyal sudah di terima, dan aku pun bergegas turun bersama rombongan dari polines. Mereka ternyata pembalap, turun dengan cepat. Mau tidak mau aku harus menyesuaikan. Padahal biasanya aku kalau turun paling lambat dan nyantai, namun tekad mengalahkan segalanya karena ingin segera sampai basecamp tekelan dan menghubungi basecamp cunthel. Menurutku, jalur tekelan ini memang sangat cocok untuk turun, karena kemiringannya tidak terlalu curam apalagi yang hobi lari seperti dengkul racing. Alhamdulillah, akhirnya aku sampai di basecamp tekelan dan timku rupanya juga sudah sampai di basecamp cunthel. Kemudian mereka segera menemuiku di basecamp tekelan. Hampir saja hilang, pengalaman berharga yaitu jangan terlalu asik memilih pijakan yang nyaman tanpa melihat rombongan hehehehe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar