Perjalanan kami bisa dibilang memang agak susah, ya begitulah konsekuensi dari jalan-jalan murah. Tapi yang jelas, ada kepuasan karena kami selama 27 hari hanya menghabiskan dana Rp 2.087.000, 00. Kalau di rata-rata per harinya tidak sampai seratus ribu. "Tuhan bersama para petualang" seperti apa kisahnya??
Sebenarnya, rencanaku hanyalah jalan-jalan ke pulau komodo menggunakan kapal pelni kelas ekonomi. Selain murah, aku juga penasaran dengan atmosfir disana. Aku memang menggilai transportasi kelas ekonomi, seringnya ya naik kereta atau bus. Nah ini akan jadi pengalaman pertmaku berlayar beberapa hari menggunakan kapal penumpang. Mulailah aku menyusun rencana, persiapan sekitar satu bulan karena jadwal kapal yang tak menentu harus dipertimbangkan. Aku memilih KM Tilongkabila jurusan Benoa - Bitung yang juga singgah di Labuan Bajo. Harganya juga murah, bila dibandingkan dengan transportasi darat maupun udara. Namun semua rencana tersebut gagal total-
sejak aku membuka diskusi dengan seorang teman yaitu Affan. “kenapa gak sekalian ke flores? Kelimutu? Wae rebo?” ujarnya. Lalu aku mulai mencari info tentang tentang kelimutu dan wae rebo. Setelah di otak-atik, ternyata cukup efisien waktunya dan jadwal kapal sangat mendukung. Bahkan kami masih mempunyai sisa waktu sekitar 5-6 hari menunggu kapal sandar dari labuan bajo maupun bima, mungkin kami bisa menghabiskan waktu di sebuah pantai untuk camping ceria disana. Tapi aku mempunyai rencana lain, yang aku simpan secara rapi karena Affan katanya sedang jenuh dengan gunung. Rencanaku yaitu menyapa gunung tambora, yang letusannya dikenal dunia. Aku penasaran dengan kalderanya, yang sering aku lihat di televisi maupun internet. Akhirnya kami memutuskan (plan A) 21 Hari Meraba Flores & Komodo, jika masih ada dana maka aku ingin mampir ke Gunung Tambora. Selain Affan, ada satu pasukan lagi yang ikut yaitu Dedy. Orang ini takut ketinggian, tapi pernah aku culik ke puncak merapi hahahahaa.
Sebenarnya, rencanaku hanyalah jalan-jalan ke pulau komodo menggunakan kapal pelni kelas ekonomi. Selain murah, aku juga penasaran dengan atmosfir disana. Aku memang menggilai transportasi kelas ekonomi, seringnya ya naik kereta atau bus. Nah ini akan jadi pengalaman pertmaku berlayar beberapa hari menggunakan kapal penumpang. Mulailah aku menyusun rencana, persiapan sekitar satu bulan karena jadwal kapal yang tak menentu harus dipertimbangkan. Aku memilih KM Tilongkabila jurusan Benoa - Bitung yang juga singgah di Labuan Bajo. Harganya juga murah, bila dibandingkan dengan transportasi darat maupun udara. Namun semua rencana tersebut gagal total-
sejak aku membuka diskusi dengan seorang teman yaitu Affan. “kenapa gak sekalian ke flores? Kelimutu? Wae rebo?” ujarnya. Lalu aku mulai mencari info tentang tentang kelimutu dan wae rebo. Setelah di otak-atik, ternyata cukup efisien waktunya dan jadwal kapal sangat mendukung. Bahkan kami masih mempunyai sisa waktu sekitar 5-6 hari menunggu kapal sandar dari labuan bajo maupun bima, mungkin kami bisa menghabiskan waktu di sebuah pantai untuk camping ceria disana. Tapi aku mempunyai rencana lain, yang aku simpan secara rapi karena Affan katanya sedang jenuh dengan gunung. Rencanaku yaitu menyapa gunung tambora, yang letusannya dikenal dunia. Aku penasaran dengan kalderanya, yang sering aku lihat di televisi maupun internet. Akhirnya kami memutuskan (plan A) 21 Hari Meraba Flores & Komodo, jika masih ada dana maka aku ingin mampir ke Gunung Tambora. Selain Affan, ada satu pasukan lagi yang ikut yaitu Dedy. Orang ini takut ketinggian, tapi pernah aku culik ke puncak merapi hahahahaa.
Tujuh hari sebelum keberangkatan, aku menuju kantor Pelni cabang Semarang untuk membeli tiket. Namun aku hanya membeli 2 buah, karena tanggal 20 Agustus 2014 Affan berangkat lebih dulu menuju lombok, ada misi mendaki gunung rinjani. “katanya sedang jenuh dengan gunung?” batinku. Berarti kami berangkat secara terpisah, nantinya kami akan bertemu di Ende, Flores.
Tiket KA sri tanjung dan KM Awu tujuan Benoa – Ende sudah di tangan, tak lupa aku memberikan list barang-barang apa saja yang perlu dibawa termasuk peralatan standar mendaki gunung (jika nantinya jadi ke Gunung Tambora) kalau misalnya gak jadi kan juga lumayan berguna untuk camping.
23 Agustus 2014
Aku dan Dedy start dari Purwodadi,
kota tempat tinggalku. Sore itu kami berangkat menuju Solo, karena kami naik
kereta dari Stasiun Purwosari. Beginilah rasanya naik bus di jam-jam menjelang
senja, semua penumpang diangkut ke dalam bus walaupun sudah tak ada ruang
gerak. Penumpang juga terpaksa naik karena setelah ini tidak ada bus lagi. Bus
yang berjalan lambat membuat kenyamanan semakin berkurang, karena tak ada angin
segar yang melintas dari jendela yang terbuka. Tapi, aku tetap menyukai bus
ekonomi karena ada hal yang bisa direnungkan. Ah ini hanya soal rasa dan selera
saja.
Selepas adzan maghrib sampailah
kami di Terminal Tirtonadi. Lalu nyambung naik bus menuju halte di dekat Solo Square,
kemudian jalan kaki menuju Stasiun Purwosari dan kami bermalam di bangku klasik
stasiun.
Rincian biaya:
Bus Purwodadi – Solo :
15.000
Terminal Tirtonadi – Halte : 5.000
24 Agustus 2014
Pukul 08.12 Kereta api sri
tanjung berangkat menuju Stasiun Banyuwangi Baru. Sudah 5 kali aku naik kereta
ini. Selalu menjadi andalan ketika bepergian menuju ke timur. Serunya naik
kereta ekonomi ya bisa berbincang dengan para penumpang di hadapanku yang tak
tahu asal-usulnya dan memiliki berbagai karakter. Terkadang ada yang cuek,
namun ada juga yang mudah bergaul bahkan terkadang ada adek-adek gemes. Paling
bahaya kalau satu bangku dengan ibu-ibu rempong yang menganggap remeh kegiatan
mendaki gunung, untuk apa sih mas capek-capek naik gunung buang-buang duit.
Kalau ketemu yang seperti ini solusinya sih pura-pura ketiduran baelah. Mau
dijelasin panjang lebar tetap saja pandangannya adalah kegiatan yang sia-sia.
Sekitar jam 21.00 kami sampai di
stasiun banyuwangin baru. Isi perut dulu karena selama di dalam kereta kami
menahan lapar. Rupanya penjual nasi bungkus dengan sepeda bututnya masih ingat
denganku. 4 bulan yang lalu, beliau jadi teman bicara sekaligus mencari info
tentang transportasi di banyuwangi saat aku melakukan solo traveling. “Nasi
bungkus 2 pak, ayam dan telur pak” ujarku. Selain cocok di lidah, harga yang
murah juga jadi pertimbangan hahahahaha cukup lima ribu per bungkusnya. Selesai
makan, kami menuju Pelabuhan Ketapang dan menuju pulau dewata.
Rincian biaya:
Tiket KA Sri tanjung :
50.000/orang
Kapal feri :
6.500/orang
25 Agustus 2014
Dinihari waktu setempat, kami
sampai di Pelabuhan Gilimanuk. Disana kami melihat ada sebuah posko bekas pelayanan
arus mudik lebaran. Lumayan bisa jadi tempat menginap malam ini, tidur dengan
keadaan was-was karena tidak ada pintunya.
Suara bising knalpot kendaraan
yang melintas membangunkan tidurku. Jarum jam menunjukkan pukul 08.00 WITA.
Segera kami berkemas, jalan kaki menuju Terminal Gilimanuk. Tujuan kami
selanjutnya adalah Terminal Ubung, Denpasar. Memakan waktu tempuh 4-5 jam dari
sini. Lumayan, bisa untuk tidur lagi.
Jam 14.00 kami sampai di Terminal
Ubung. Memikul 2 tas ukuran besar, kami langsung dikerumuni tukang ojek, sopir
angkot, maupun calo terminal. Inilah situasi yang membuat kami tidak nyaman. 40
ribu untuk tarif angkot dari ubung ke benoa yang jaraknya hanya 13 km menurutku
itu terlalu mahal. Bulatkan tekad, ayo jalan kaki saja. Kami juga masih
memiliki banyak waktu karena kapal berangkat jam 22.00. Ada kenikmatan
tersendiri menikmati bali dengan jalan kaki, sepanjang trotoar yang kami lewati
hampir bebas dari pedagang kaki lima. Capek pasti, inilah perjuangan kami
mengamankan ongkos 40 ribu heheheehe
Jam 19.00 kami sampai di
pelabuhan. Selama jalan kaki tadi, banyak yang menyangka kami dari mancanegara.
Weeiiss aku wong jowo bli. Menunggu kapal sandar, kami membuka obrolan dengan
orang-orang sekitar kami. Kami berkenalan dengan Novinna. Penduduk asli Desa
Moni, yang terletak di lereng Kelimutu. Rupanya dia tidak ikut pulang ke
Flores, dia cuma mengantar. Kalau nanti di Desa Moni, kami disarankan menginap
di homestay jhon. Kami gali beberapa informasi tentang Desa Moni, untuk
menambah referensi.
Tak lama kami pun berpisah,
karena stom kapal sudah berbunyi pertanda kapal sudah sandar. Lautan manusia
memenuhi dermaga, pemandangan yang baru pertama kali kulihat. Menaiki tangga
dengan berdesak-desakan, deck 2 masih banyak yang kosong, segera kami menempati
kasur yang tak berpenghuni. Kesan pertama masuk KM Awu kelas ekonomi bagiku
tidak terlalu buruk.
Meninggalkan pelabuhan benoa,
kapal bergoyang dengan hebat. Gelombang laut memberikan sambutan yang kurang
ramah. Pintu-pintu toilet kamar mandi menghasilkan bunyi benturan yang tiada
henti, para penumpang pun banyak panik. Ah nikmati saja, kan ada life jacket di
almari. Goyangan kapal berlangsung sekitar enam puluh menit. Gelombang laut
mulai ramah, dan selama 3 hari ke depan kami tak menginjak daratan. Menu makan
selama di kapal untuk kelas ekonomi hanya nasi ikan dan nasi telur rebus. Dalam
sehari, kami mendapatkan jatah makan selama 3 kali. Disinilah kami harus
pandai-pandai mensyukuri yang namanya “makanan”.
Rincian biaya:
Bus Gilimanuk – Denpasar :
30.000/orang
Tiket KM Awu Benoa – Ende :
350.000/orang
27 Agustus 2014
Jam 23.00 kami sampai di
Pelabuhan Ende. Malam itu kami menginap di rumah Mamak Annisa, kami kenal
beliau saat di kapal. Kami sering berbincang-bincang ketika berada di kamar
penumpang. Keberuntungan kami di mulai dari sini. Affan baru bisa datang ke
Ende 2 hari kemudian. Hari pertama di Ende, kami mengeksplor rumah pengasingan
Bung Karno. Bersih, rapi, dan terawat. Biaya masuk kesini juga seikhlasnya.
Beberapa benda milik Bung Karno menghiasi rak kaca. Lalu kami berjalan-jalan ke
segala arah, untuk membunuh waktu. Siang itu, kami berteduh di taman renung
bung karno. Terdapat pohon sukun, di bawah pohon inilah Bung Karno merumuskan
nilai-nilai pancasila. Namun, pohon aslinya sudah mati dan beberapa kali
diganti dengan replika. Setiap malam tiba, kami tak beranjak kemana-mana.
Menikmati suasana ruang tamu yang sederhana dengan Mamak Annisa beserta ketiga
anaknya.
29 Agustus 2014
Siang itu kami berpamitan dengan
Mamak Annisa, tak lupa aku meninggalkan cinderamata berupa kain batik yang
sengaja kubawa dari rumah. Terimakasih Mamak Annisa, telah memberikan kami
penginapan selama di Ende. Lalu aku menemui seorang kawanku. Berawal dari
komentarnya di jejaring sosial facebook, kami janjian bertemu di warung es buah
depan gereja katedral. Namanya Fia, rupanya dia sudah hampir satu tahun
mengajar disini. 5 hari terakhirnya disini, karena programnya akan berakhir.
Mamak Annisa |
Pertemuan yang singkat, karena
sore itu Fia sedang ada urusan. Semoga sukses ya kawan. Lalu, aku dan Dedy
melangkah menuju pantai ende. Pemilik cafe mulai menata bangku di depan
lapaknya, di tengah keramaian para pemuda yang asik memperebutkan bola.
Sesekali terlihat ekspresi kegembiraan dari seorang pemuda, karena dia berhasil
mencetak gol. Hari mulai gelap, bola tak lagi bergulir. Keramaian berpindah
menuju cafe-cafe disekitar pantai.
Malam itu, Affan sampai di Ende
dan segera menyusul kami yang sedang duduk manis menikmati angin malam dan
gigitan nyamuk pantai. Jarum jam menunjukkan sepuluh malam, segera kami menuju
Kodim di dekat pantai dan kami diijinkan menginap disana. Pak tentara yang
gagah mengantarkan kami menuju aula, tak lupa kami mengucapkan terimakasih
ketika beliau akan kembali ke pos jaga.
30 agustus 2014
Pagi-pagi sekali kami bangun
karena kami tidur di tempat militer, tidak lucu kalau kami nanti disiram air
hahahahaaa. Petualangan di mulai!!
Kami berjalan menuju sebuah
perempatan jalan, menuju angkot jurusan Terminal Roworeke. Kesan pertama
memasuki angkot kota ende adalah wangi parfum, bersih, dan full musik. Para
sopir disini berlomba-lomba menghias angkotnya sebagus mungkin. Tak pernah ku
temukan angkot seperti ini di Jawa.
Sampai di Terminal Roworeke, kami
naik mobil elf yang akan melewati desa moni. Kami memilih duduk di atap, agar
lebih leluasa menikmati suguhan pemandangan dari bumi Flores. Jalan yang kami
lalui mulus sekali, bahkan jalan Purwodadi - Semarang saja kalah. 2 jam perjalanan,
kami sampai di Homestay Jhon. Letaknya di pinggir jalan raya, dan para sopir
rupanya sudah hafal dengan nama-nama homestay di Desa Moni. Opa jhon ini
ternyata kakenya Novinna, selalu tertawa dengan gigi ompongnya. Besok
rencananya jam 03.00 dinihari kami jalan kaki menuju kawah kelimutu, jarak yang
kami tempuh kira-kira 14 Km. Sebenarnya bisa saja naik ojek dengan ongkos 120
ribu PP, tapi bagi kami uang sebesar itu sangatlah berharga mengingat
perjalanan kami masih panjang.
Rincian biaya:
Angkudes ke Moni :
20.000/orang
Homestay :
50.000/malam/orang
31 Agustus 2014
Alarm handphone menggelitik di
telinga, memaksa kami bangkit dari zona nyaman. Packing cooking set, lalu
berangkat menembus udara dingin lereng kelimutu. Setapak demi setapak kaki ini
melahap aspal jalanan, mobil-mobil mpv lalu lalang namun tak ada yang memberi
kami tumpangan. Kami masih mempunyai 2 kaki yang sanggup melawan lelah, kami
yakin semua akan terbayarkan ketika melihat danau 3 warna. Melewati pemukiman
yang sepi, anjing menggonggong tiada henti, padahal kami bukan maling. Kami
hanya pemburu keindahan alam yang telah Tuhan ciptakan.
Setelah 4 jam berjalan, sampailah
kami di kawasan kawah Tiwu Nuwa Muri Koo Fai & Tiwu Ata Polo. Pagi itu
kawah berwarna biru dan hitam kemerahan. Kepuasan menghapus rasa lelah kami.
itung-itung pemanasan sebelum menyapa Tambora.
Ketika turun, kami memilih jalur
pintas menuju air terjun desa moni. Kalau lewat ini juga waktu tempuhnya lebih
singkat, melewati perkebunan warga. Menjelang senja, kami pamitan sama Opa Jhon
dan kembali menuju ke kota Ende.
Sampainya di kota Ende tepatnya
di Terminal Ndao, kami merasa kondisi fisik kami mulai menurun. Mungkin karena
kami kelelahan, lalu dalam perjalanan pulang ke Ende kami duduk di atap mobil
travel karena memang tidak ada lagi tempat duduk yang kosong. Makan yang
banyak, minum obat, dan maksimalkan istirahat. Kami berharap esok hari kondisi
fisik sudah membaik.
Taman Nasional Kelimutu, Ende - Flores |
(dari kiri) Dedy si takut lemak, Affan si tukang lapar, Dyas Tuna Berkelana |
Rincian biaya:
Tiket masuk kelimutu :
2.500/orang
Travel Moni - Ende :
25.000/orang
01 September 2014
Jam 08.00 bus jurusan Ende –
Ruteng berangkat dari Terminal Ndao. Kondisi fisik kami belum pulih sepenuhnya.
Mau istirahat di dalam bus pun juga susah, karena medan jalan yang berliku-liku
selama 8 jam perjalanan. Sampainya di Ruteng, kami di rekomendasikan salah
seorang penumpang untuk menginap di Losmen Karya, karena harganya yang murah.
Pak sopir pun mengantarkan kami menuju
lokasi penginapan. Letak losmen yang tepat dipinggir jalan raya tidak membuat
kami kesulitan untuk mencari warung makan. Kami tak banyak menghabiskan waktu
di luar ruangan, karena kami perlu banyak istirahat agar kembali fit 100%.
Mobil kayu (otokol) jurusan Ruteng – Denge dalam sehari hanya berangkat sekali,
yaitu jam 10.00 dari Terminal Mena. Sedangkan dari Denge – Ruteng hanya
berangkat sekali yaitu jam 04.00 dinihari.
Rincian biaya:
Bus Ende – Ruteng :
110.000/orang
Losmen karya :
50.000/malam/orang
02 September 2014
Jam 08.00 kami check-out dari
losmen, lalu naik ojek menuju terminal mena. “Wae rebo??” tanya salah seorang
sopir otokol. “iya pak” jawabku. Lalu barang-barang kami masukkan ke dalam bak
truk yang sudah di modifikasi, sehingga mampu mengankut barang maupun penumpang.
Benar saja, jam 10.00 mobil kayu berangkat menuju desa denge. Perjalanan tak
akan terasa membosankan, karena sepanjang jalan menawarkan keindahan alam.
Mendekati desa Denge, kami melewati pinggiran pantai. Ditengah lautan berdiri
gagah pulau mules, terlihat indah dari kejauhan dengan di kelilingi savanna dan
pasir putih.
Jam 14.30 kami sampai di homestay
pak blasius, namun kebetulan pak blasius sedang di kebun jadi kami di
persilakan untuk istirahat dulu di kamar. Info yang saya dapat, harga per orang
per malam yaitu 150.000 sudah termasuk makan. Namun, malam itu kami terkejut.
Harganya sekarang menjadi 175.000/orang/malam (sudah termasuk makan). Malam
kedua kami menginap di rumah adat, sedangkan malam ketiga rencananya kami mau
mendirikan tenda di sekitar homestay. Namun, pak blasius tidak mengijinkan kami
mendirikan tenda di sekitar homestay maupun di tanah lapang sekitar. Mengingat
dana kami pas-pasan, lalu kami mencoba nego untuk malam ketiga. Malam ketiga,
kami di beri harga spesial hehehehee.
Rincian biaya:
Otokol ruteng – denge :
25.000/orang
Homestay :
175.000/malam/orang
03 September 2014
Jam 08.00 kami trekking menuju
desa wae rebo. Kami berangkat bersama 4 orang lain, yaitu 2 turis mancanegara
dan 2 orang turis lokal dari jakarta yaitu Pak agus dan putrinya yaitu miranti.
Kami berangkat menggunakan jasa 2 guide. Sebenarnya satu guide untuk satu
rombongan trekking sudah cukup, namun ada sebuah insiden. 2 turis mancanegara
ini datang ke wae rebo diantar oleh agen perjalanan. Lalu dia menolak memakai
guide yang dibawa agen perjalanan tersebut karena tidak bisa berbahasa inggris.
Kemudian, kami dimintai pertolongan sama pak blasius untuk memakai guide
tersebut, supaya tidak merasa kecewa. Akhirnya kami menyetujui karena kami
dalam situasi yang sulit, dan 2 bule tersebut nebeng pak agus karena putrinya
miranti sangat fasih berbahasa inggris. Bingung ya? Pokoke ngonolah heuheuu
Membutuhkan 3 jam perjalanan
jalan kaki untuk sampai di kampung adat wae rebo. Setelah sampai disana, kami
tidak boleh memotret sebelum memasuki rumah induk dan melakukan upacara
penyambutan. Obrolan antara guide dan ketua adat menggunakan bahasa manggarai
membuat kami kebingungan. Intinya kami telah selesai menjalani prosesi upacara
penerimaan tamu, kami sudah dianggap seperti warga wae rebo yang lain dan
diperbolehkan melakukan segala aktivitas namun tetap harus menjaga kesopanan.
Satu lagi, jangan sekali-kali duduk di sebuah panggung batu melingkar yang
terletak di depan rumah induk karena sangat sakral.
nginang, tradisi makan sirih pinang |
wae rebo |
sahabatku, ronald dan obi |
Menjelang sore, kabut mulai turun
membuat dingin suasana. Dedy sedang asik hunting photo sama pak agus dan
putrinya, mungkin mau dijodohkan. Sedangkan aku dan affan memilih untuk bermain
ke dapur, bercengkrama dengan para mamak yang sedang sibuk memasak untuk makan
malam para tamu. Kami berdua luamayan dikenal dikalangan para mamak, karena
hanya kami berdua yang sering minta di buatkan kopi. Sore itu kami sudah habis
6 gelas heheheee rasanya ada yang kurang kalau ngobrol tanpa nyruput kopi.
Mamak-mamak disini cukup ramah, ada pembagian jadwal untuk menyiapkan hidangan
para tamu.
Selepas santap malam, kami
kembali berkunjung ke dapur. Apalagi kalau bukan meminta secangkir kopi. Kali
ini ada yang berbeda, kami diberi ukuran gelas yang lebih besar. Kata para
mamak, ini spesial sambil tertawa lepas. Hangatnya suasana di dapur malam itu,
bukan karena tungku tapi rasa kekeluargaan. Malam itu hanya kami bertiga yang
menikmati malam lebih panjang, yaitu aku, affan, dan pak agus. Kami bertiga
larut dalam permainan catur. Pak agus ini mempunyai rasa penasaran yang tinggi,
tentunya yang berhubungan dengan petualangan. Beliau suka dengan hal yang
aneh-aneh, malam itu aku sukses di buat iri. Bukan karena hartanya, tapi karena
petualangannya.
Rincian biaya:
Menginap di wae rebo :
250.000/orang (sudah termasuk makan)
Guide :
150.000/group. 150.000/3 = 50.000/orang
04 September 2014
Pagi itu kami harus meninggalkan
wae rebo. Tak lupa kami berpamitan dengan sahabat-sahabat kecil dari wae rebo
diantaranya ronald, obi, onez, andri, dan beberapa anak yang lain. Namun mereka
berempatlah yang tak malu-malu dengan kami, mereka mudah bergaul. Semoga
diantara mereka ada yang menjadi ketua adat wae rebo di masa mendatang. Lalu
kami berpamitan dengan para mamak, dan tak lupa membeli beberapa oleh-oleh kopi
dari wae rebo.
Saat perjalanan turun, kami
bertemu dengan mas danny pejalan dari aceh. Setelah ini dia juga berencana ke
pulau komodo, lumayan kalau barengan bisa share cost. Nanti malam bisa
dibicarakan di homestay, tim kami menuju pulau komodo menjadi 5 orang dengan
bertambahnya mas danny dan temannya, Fia.
Rincian biaya:
Homestay :
100.000/orang
05 September 2014
Jam 03.00 dinihari kami harus
segera beranjak dari tempat tidur, karena mobil otokol sudah membunyikan
klaksonnya di depan homestay. Menembus dinginnya embun pagi, dengan keadaan
yang masih ngantuk aku beberapa kali tertidur dalam perjalanan. Kami tidak
perlu turun di ruteng, cukup turun di pela karena disini hampir setiap jam ada
kendaraan jurusan labuan bajo yang lewat. Tak perlu menunggu, begitu sampai di
pela sudah ada mobil travel yang lagi ngetem. Membutuhkan waktu 4 jam untuk
sampai di labuan bajo, lagi-lagi medan jalan yang kami lalui berliku-liku. Jam
13.00 kami sampai di labuan bajo, langsung menuju warung es teller komodo untuk
membasahi tenggorokan yang mulai tandus. Mas danny dan fia sudah mendapatkan
losmen untuk menginap. Sedangkan kami? kalau ada yang gratis, kenapa harus
bayar. Mengingat dana kami yang pas-pasan. Awalnya aku berencana membeli tiket
pelni KM Tilongkabila yang berangkat dari labuan bajo tanggal 11 agustus 2014
dengan tujuan pelabuhan benoa. Aku melihat ada kantor Polair, aku melangkah
kesana untuk mencari informasi. “Kantor Pelni letaknya tidak jauh dari sini,
mungkin sekitar 500 meter” kata mas indra. Lalu kami sempat ngobrol-ngobrol,
ternyata kemarin sempat ada beberapa mahasiswa yang menginap disini. Pertanda
bagus ini, lalu aku pamit untuk membeli tiket. Aku terkejut begitu sampai di
kantor Pelni, karena ini terlihat seperti agen. “mas, tiket KM Tilongkabila dari
bima ke benoa ada?” tanyaku. “gak ada mas, harus beli di Bima” jawabnya.
Harusnya tiket kan bisa di beli darimana saja, hmm yasudahlah gak usah ambil
pusing. Toh kami masih punya sisa waktu beberapa hari. Lalu aku kembali ke
warung es, membicarakan rencana kami berlima selanjutnya. Kami pun berpisah,
nanti sore ketemuan di Pos Polair. Kami bertiga menuju kantor Polair untuk
meminta ijin bermalam di kantor, dan ternyata diperbolehkan. Lumayan, berulang
kali dapat penginapan gratis.
Menjelang gelap, mas danny dan
fia menemui kami di kantor Polair. Tiba-tiba ada seorang abdi negara yang
menghampiri kami, sebut saja “dermawan”. Beliau menawarkan perahu kayu untuk
kami gunakan ke pulau komodo. Setelah berulang kali nego, akhirnya kami sepakat
di harga 850.000 (sudah termasuk makan siang dan alat snorkeling). Sebagai
bonusnya, sore itu kami di traktir gorengan “tau saja pak kalau kami lapar”
batinku. Keberuntungan belum berhenti sampai disitu. Sebenarnya Pak dermawan
ingin ikut juga ke pulau komodo, namun karena besok pagi ada acara mendadak,
jadi ya cancel. Yaaaah, pak. Demi menghapus kekecewaan kami, pak dermawan
mengajak kami makan malam bersama di kawasan kuliner labuan bajo. Selama
perjalanan, baru kali ini merasakan makanan enak. Favorit kami disini yaitu cumi
goreng tepung, selalu jadi rebutan jari-jari kami ketika sedang menyantap
hidangan. Kenyang, tidurpun nyenyak. Terimakasih banyak ya pak.
Rincian biaya:
Otokol denge – pela :
25.000/orang
Travel pela – labuan bajo :
50.000/orang
06 September 2014
Jam 06.00 kami start dari pasar
ikan di samping pelabuhan, tepatnya di depan kantor Polair. Pak dermawan
memberi bekal ikan tongkol dan beras untuk di masak di atas perahu nanti. Kami
berlima berangkat dengan didampingi 2 orang temannya pak dermawan.
Kapal berjalan pelan namun pasti,
melewati beberapa gugusan pulau-pulau tandus yang dipenuhi savanna. 4 jam
perjalanan, akhirnya kami sampai di loh liang yang merupakan gerbang masuk
Taman Nasional Komodo. Menyelesaikan registrasi dan melunasi administrasi, lalu
salah seorang guide yang bernama pak haryono mendampingi perjalanan kami. kami
memilih short trek, karena kami tak memiliki banyak waktu. Setelah puas melihat
komodo, lalu kami berlayar menuju pink beach. Byuuuuurrrrrr saya takjub ketika
membuka mata. Keindahan bawah lautnya membuat kami enggan berkedip. Sejauh ini,
pink beach jadi tempat snorkeling terbaik yang pernah saya kunjungi. Sayangnya,
di labuan bajo sulit sekali mencari tempat persewaan kamera underwater. Tidak
seperti di karimunjawa maupun kepulauan seribu yang sangat mudah menemukan
rental kamera underwater. Kami mengabadikannya di memori otak kami, kalau
kalian penasaran ya langsung saja berkunjung ke pink beach.
Taman Nasional Komodo |
Pink Beach, Taman Nasional Komodo. Rekomendasi untuk Snorkeling |
Taman Bawah Laut Pink Beach |
perjalanan pulang ke labuan bajo |
sunset (ku) |
kapal pinisi |
Jam 18.30 kami sampai di labuan bajo. Selesai trip, mandi, dan makam malam bersama pak dermawan lagi. Tuhan bersama orang-orang pejalan, percayalah bahwa orang Indonesia itu ramah-ramah. Malam ini kami berlima menginap di Polair, menyusun rencana untuk hari esok.
Rincian biaya:
Sewa perahu :
850.000/unit >> 850.000/5= 170.000/org
Tiket masuk taman nasional :
2.500/orang
Retribusi daerah :
20.000/orang
Kamera :
5.000/unit
Ranger komodo :
80.000/group >> 80.000/5= 16.000/org
07 September 2014
Kami pamit sama orang-orang di
Polair, dan yang terakhir kami pamit dengan pak dermawan. pak dermawan menolak
jabat tangan kami. beliau mempunyai filosofi bahwa jabat tangan itu tanda
perpisahan, nanti gak ketemu lagi dong?. Kami tak akan lupa atas kebaikan
beliau. Kami berjalan menuju pelabuhan, membeli tiket penyeberangan fery tujuan
pelabuhan sape. Waktu tempuh sekitar 5 jam.
Sampai di pelabuhan sape, kami
lanjut naik elf menuju terminal dara. Mobil elf telah berhenti, pertanda kami
sudah sampai. Kebersamaan kami berlima hanya sampai disini. Mas danny dan fia
melanjutkan perjalanan darat menuju sumbawa besar. Dedy melanjutkan perjalanan
darat menuju denpasar, karena ada urusan mendadak. Sedangkan aku dan affan
masih bertahan di Bima, kebetulan affan punya kawan yang tinggal di daerah
Sila.
Sampailah kami berdua di rumah
mas agus, dia dulunya adalah tetangganya affan. Kini dia sudah menikah dengan
orang Sila dan telah dikaruniai seorang putri. Malam itu kami menyusun rencana
selanjutnya untuk menyapa gunung tambora.
Rincian biaya:
Labuan bajo – pelabuhan sape :
54.000/orang
Pelabuhan sape – terminal dara : 25.000/orang
Terminal dara – Sila :
10.000/orang
08 September 2014
Bus berukuran sedang mengantarkan
kami menuju terminal ginte, dompu. Info yang aku dapat, bus jurusan dompu –
calabai hanya berangkat 2 kali dalam sehari yaitu pagi dan sore. Lebih
jelasnya, aku menghampiri petugas di terminal ginte. Bus berangkat jam 7.00 dan
jam 15.00. bus jam 7.00 hanya sampai calabai, sedangkan bus 15.00 bisa sampai
desa pancasila. Kami masih harus menunggu 4 jam, karena arloji menunjukkan
pukul 11.00. Mendingan ngopi-ngopi dulu di warung, sembari ngadem dan mencari
info lebih banyak tentang gunung tambora. Tiba-tiba saja ada pemuda yang
menghampiri kami, bang Ebin namanya. Kami diajak main ke kampus, menuju
sekretariat mapastie yapis dompu. Barangkali nanti ada teman-teman yang bisa
menemani dalam pendakian. Kami pun mengiyakan ajakannya. Sesampainya di kampus,
sambutan hangat serta karamahan membuat kami nyaman. Kami disarankan untuk
berangkat besok saja, gak perlu buru-buru. Yasudah, rencana kami pulang ke jawa
hari kamis sepertinya pupus. Kami berganti ke plan B yaitu pulang hari senin
menggunakan KM Awu. Malam ini kami menginap di kampus stie yapis.
Rincian biaya:
Bus sila – dompu :
10.000/orang
09 September 2014
Bus berangkat pukul 15.00 dari
terminal ginte menju desa pancasila. Perjalanan sore ini melewati hamparan luas
padang savanna dan tepian teluk saleh. Jam 19.00 kami sampai di desa pancasila.
Kami diantar oleh mas dian, liem dan acil. Hanya mas dian yang sudah sering
mencapai puncak tambora. Mas dian ini menjual trip ke Gunung Tambora dan Pulau
Satonda. Kalau tertarik bisa menghubungi nomer ini 081918077103.
Rincian biaya:
Bus dompu – pancasila :
35.000/orang
Registrasi pendakian :
10.000/orang
10 September 2014
Jam 08.00 kami memulai trekking
melewati jalur 19. Melewati pemukiman penduduk, kemudian memasuki pintu rimba.
Hutan yang lebat menaungi perjalanan kami. Aku merasa seperti berada di hutan
lumut gunung argopuro, probolinggo. Duri pakis beberapa kali menggores kulit,
dan terasa perih ketika mulai berkeringat. Jam 11.00 sampailah kami di pos 1.
Terdapat shelter yang kondisinya masih bagus. Disini juga terdapat pipa air. 30
menit kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju pos 2. Melewati hutan yang
lebih rapat dan banyak pohon-pohon tumbang di jalur pendakian. 2 jam kemudian
kami sampai di pos 2. Terdapat shelter dan sungai yang airnya bisa diminum.
Jika musim penghujan, pos 2 merupakan sarang pacet. Jam 14.00 kami melanjutkan
perjalanan menuju pos 3. Jalur mulai menanjak, tapi juga banyak bonus. Jam
16.00 kami sampai di pos 3. Disini terdapat mata air. Tempat mendirikan tenda
yang paling ideal, karena di pos 4 dan pos 5 tidak ada sumber air dan banyak
babi hutan.
11 September 2014
Jam 02.00 kami summit attack. Mas
dian tidak ikut, dia mau menyiapkan hidangan untuk pagi nanti sehingga kami
turun dari puncak bisa langsung makan. Jarak pos 3 ke pos 4 dan pos 5 sangatlah
dekat. 60 menit berjalan kami sampai di pos 5. Sampainya di pos 5, kami melihat
tenda. Aku kira hanya kami berlima yang melakukan pendakian. Dari pos 5,
terdengar suara angin yang berhembus sangat kencang. Kami memutuskan untuk
istirahat dulu di pos 5, ngopi-ngopi dulu bersama teman-teman baru sembari
menunggu situasi membaik. Jam 04.00 kami melanjutkan perjalanan bersama
teman-teman baru. Melewati sungai yang kering, lalu melewati pohon-pohon cemara
yang tak terlalu rapat. Lalu kami melewati sebuah makam. Puncak mulai terlihat,
namun angin kembali berhembus kencang. Aku, affan, dan liem memilih berlindung
dibalik pohon-pohon yang tak terlalu tinggi, sedangkan acil dan 4 orang lainnya
tetap melanjutkan perjalanan. Matahari mulai nampak, kami keluar dari tempat
perlindungan dan kembali melanjutkan perjalanan menuju puncak. Angin kencang
masih terus berhembus membawa pasir-pasir halus. Melihat bendera merah putih
yang berkibar menambah semangat kami. akhirnya kami semua sukses mencapai
puncak tambora. “199 Tahun Tambora Menyapa Dunia”.
Pulau Moyo di lereng barat Tambora |
Affan 2851 mdpl |
2851 mdpl Tuna Berkelana |
Gunung Tambora |
Kaldera Gunung Tambora |
Singkat cerita, jam 18.00 kami
sampai di basecamp yaitu rumahnya bang ipul.
12 September 2014
Jam 10.00 kami pulang ke dompu
dengan menumpang bus kodim dompu. Kebetulan saat itu sedang ada acara peresmian
pura bali yang dihadiri oleh Kepala Satuan TNI – AU. Malam ini kami tidak
menginap di kampus melainkan menginap dirumah mas dian.
14 September 2014
Kemarin kami sudah pamitan sama anak-anak mapastie yapis
dompu, beberapa diantaranya adalah mas dewa, mas bob, acil, shanty, mas budi. Pagi
ini kami harus segera kembali ke sila.
Rincian biaya:
Bus dompu – sila :
10.000/orang
15 September 2014
Jam 09.00 kami meninggalkan meninggalkan rumah mas agus, bergegas
menuju pelabuhan bima. Jam 17.00 kapal berangkat menuju pelabuhan benoa.
Setelah memasuki kapal, sudah jelas kami gak bakal mendapatkan kamar karena
kami naik dari 3 pelabuhan terakhir kapal ini sandar. Kami naik ke deck kapal
paling atas, gelar jas hujan lalu masuk ke dalam sleeping bag. Kami tidur
beratapkan langit dan bintang, angin sepoi-sepoi menjadi pendingin ruangan yang
alami, dan suara musik klasik ala mesin kapal menjadi pengantar tidur yang
syahdu.
Rincian biaya:
Sila – terminal dara :
10.000/orang
Ojek ke pelabuhan :
5.000/orang
Tiket KM Awu :
190.000/orang
16 September 2014
Jam 13.00 kami sampai di
pelabuhan benoa. Lalu, kami dijemput dedy dan singgah sebentar ke rumah makan
di kawasan denpasar. Selesai makan, kami menuju terminal ubung dan melanjutkan
perjalanan menuju banyuwangi. Kami bermalam di stasiun banyuwangi baru.
Rincian biaya:
Ubung – Gilimanuk :
30.000/orang
Gilimanuk – Ketapang :
8.000/orang
17 September 2014
Pulang pulang pulang. KA sri
tanjung menemani perjalanan dari stasiun banyuwangi baru ke Stasiun Purwosari Solo.
Jam 20.00 kami sampai di Solo. Lalu naik bus ekonomi AC Solo – Semarang.
Setelah sampai di semarang, kami pun berpisah. Aku masih ingin menghabiskan
malam di coffeeshop. Beruntunglah malam itu pasky dan farid bersedia
menemaniku.
Rincian biaya:
Tiket KA Sritanjung :
50.000/orang
Bus solo – semarang :
15.000/orang
18 September 2014
Aku meninggalkan tembalang,
menuju halte bus trans semarang. Lalu aku turun di halte SMA 5 Semarang. Jalan
kaki menuju stasiun poncol, melanjutkan perjalanan ke purwodadi menggunakan
kereta blora jaya turun di stasiun ngrombo. lalu biarlah angkot A mengantarkan
ku sampai ke rumah. Finish!!
Rincian biaya:
BRT :
3.500
KA Blora Jaya :
15.000
Angkot A :
4.000
tahun depan kalo ada rencana kesana lagi ane ikut gabung dong gan.. hehe
BalasHapusKalau kesana lagi kayaknya enggak gan, karena masih banyak tempat yg harus dikunjungi #SalamRansel
BalasHapusTrip edann keren abis..
BalasHapusMatursuwun gan #SalamLestari
HapusNext journey mo kemana nih gan? ane join hahaha
BalasHapusTour kalimantan+sulawesi gan hehehe luangkan waktu sebulan. Prioritas jalur laut
Hapustrip yg fantastis bro,
BalasHapusitu kalau boleh tau selama 27 hari tersebut perlatan/perlintilan ap saja yg dibawa tuh :D
biasa aja gan printilannya. Sleeping bag, tenda, jaket, cooking set.
HapusKapan ke kalimantan bang
BalasHapusMenunggu waktu yg tepat
HapusMas bisa minta tolong lebih di perinci lagi dari ende ke tambora terus ke rinjani via jalur darat dan lautnya ? Saya sedikit bingung soalnya. Ditunggu infonya mas. Saya ada rencana kesana sekitar agustus 2015 selama 30hari. Mohon bantuannya mas..
BalasHapusBrooo kalo di labuan bajo nyewa kamera underwater dmna ya?
BalasHapusKurang tau gan. Dulu alat snorkeling sudah disiapkan pak komandan, jadi gak sempat survey tempat rental peralatan laut
HapusMas, bisa minta kontak pak komandanya sama jadwal penyebrangan dari bajo ke sape adanya jam berapa aja ya?
BalasHapusKalo CP pak komandan maaf dirahasiakan ya, lagian beliau sekarang bertugas di kupang. Untuk jadwal kapal bajo-sape ada tiap hari, 2-3 kali penyeberangan. Untuk jamnya aku kurang tau,, biasanya pagi dan sore
HapusKalo CP pak komandan maaf dirahasiakan ya, lagian beliau sekarang bertugas di kupang. Untuk jadwal kapal bajo-sape ada tiap hari, 2-3 kali penyeberangan. Untuk jamnya aku kurang tau,, biasanya pagi dan sore
Hapusgan kalo dari benoa ke ende itu masi ada kan rutenya
BalasHapusCoba cek dulu aja di website resmi pelni gan
HapusWah kayanya seru yah. Ga rame tapi tetep seru.. untuk bisa ke sana backpack itu perlu persiapan berapa lama? atau langsung jalan aja?
BalasHapusPengen banget ke sana tapi yaa travel ke Jogja aja ditelponin ortu mulu gimana di sana yang susah sinyal -_-
Kalo mendaki gunung di skip, tentu perlengkapannya lebih simple. Namun karena sekalian nyicip tambora, ada beberapa perlengkapam mendaki yg sekalian dibawa. Persiapan sekitar satu bulan sebelum berangkat karena kami naik kapal dan berangkatnya juga beda-beda jadi harus sesuaikan waktu biar efisien. Wah, ijin orang tua bagi kami adalah hal yg paling penting hehehehe disana sinyal lancar kok terutama kalo pake si merah. Kalo anda minim waktu tapi punya banyak budget bisa naik pesawat aja. Karena kami punya banyak waktu dan mau jalan hemat ya pilihannya ke kapal. Awas bahaya ketagihan naik kapal penumpang pelni
HapusWah menginspirasi banget nih. Kebetulan habis lebaran mau kesana juga, rutenya Labuan bajo - wae rebo - kelimutu semoga sampai ke kupang heheh :D
BalasHapus