Rabu, 26 Desember 2018

Bikepacking ke Bali, Mendaki Menara Suci Pulau Dewata



Dyas, begitulah beberapa teman memanggilanya. Namun ditanah kelahirannya dia lebih dikenal dengan nama Ikhsan. Semenjak duduk dibangku kuliah, dia memang mulai akrab disapa dengan nama dyas. Baiklah, langsung to the point saja karena dia mulai kesulitan mencari waktu “nyuwung” untuk mengabadikan catatan perjalanannya. Ya, fenomena semenjak lulus dari bangku kuliah (akhirnya dia lulus juga hehehe).

3 tahun belakangan ini dia mulai aktif bersepeda setiap hari “ngepit saben dinten”, perjalanan demi perjalanan yang dilaluinya telah membentuk karakter cinta lingkungan. Tinggal di kota kecamatan dengan mobilitas rendah, membuatnya memilih untuk bike to kamanawae. Wujud mencintai lingkungan dengan cara mengurangi polusi, tidak sulit namun juga tidaklah mudah.

Semester empat belas, dia kembali ke kampus Undip Tembalang untuk menyelesaikan tanggung jawabnya sebagai mahasiswa. Mulai terbiasa degan gaya hidup ramah lingkungan membuatnya merantau tanpa kendaraan bermotor. Dia memutuskan untuk menggunakan sepeda lipat sebagai moda transportasi sehari-hari. Memang sepeda ini terbilang paling praktis, karena bisa dibawa naik ke gerbong kereta tanpa dipungut biaya. Sehingga kalau hendak pulang kampung tinggal mix commuting dengan KA kedungsepur, blora jaya, maupun kereta lainnya.

Tahun dua ribu tujuh belas dia mulai merencanakan sebuah perjalanan dengan menggunakan sepeda kesayangannya. Lumayan, kali ini dia mendapatkan jatah libur selama seminggu. Setelah ngulik sana-sini akhirnya dia memutuskan pulau bali sebagai tujuannya. Jika full gowes jelas waktu yang dimilikinya tidaklah cukup, paling efektif adalah mix commuting dengan kereta api. Namun dia juga ingin melakukan pendakian ke Gunung Agung untuk melengkapi kepingan perjalanannya mendaki gunung-gunung di kawasan selatan nusantara.





Berdasarkan referensi sana-sini dari berbagi sumber bloger, dia menarik kesimpulan bahwa gunung agung ini cukup efektif jika dilalui dengan tektok (naik langsung turun) karena minim lokasi campground dan tidak adanya sumber air untuk jalur pura besakih. Oke rencana sudah cukup matang, lagi-lagi dia memutuskan untuk pergi seorang diri. H-1 dia mulai packing, dengan keril 32L kesayangannya. Peralatan pendakian dan perlengkapan sepeda mulai dikemas. Keril sudah penuh, namun barang bawaan belum semuanya dikemas. Mau menggunakan keril 60L tapi dirasa terlalu besar. Perbekalan mulai disortir, barang-barang yang minim fungsi mulai di eliminasi. Sleeping bag dia tinggalkan, peralatan tidur hanya hammock dan sleeping pad. Sepatu trekking juga Ia tinggalkan, pake sepatu running sepertinya masih mumpuni. Cooking set bawa yang simple saja, yang penting cukup untuk seduh kopi. Semuanya sudah dalam pertimbangan yang cukup matang, berangkat!.




07 Mei 2017

Sepeda mulai dikayuh dari rumah menuju tempat transit pertama yaitu stasiun ngrombo. Jaraknya cuma 3 kilometer, kemudian bertolak ke Surabaya dengan kereta api Maharani. Disana dia sudah janjian dengan seniornya, bahaya jika tidak sungkem sama beliau wkwkwkw. Pendakian bersamanya waktu ke arjuno – welirang mengajarkan banyak hal, terutama tentang “gear adalah nyawa kedua”. Sore menjelang malam dia telah sampai di Stasiun Surabaya Pasar Turi, kemudian malam harinya dia ngopi-ngopi syahdu bersama seniornya di minimarket kawasan Gubeng, tepat disamping stasiun.




Pukul 22.00 mereka berpisah, dia mulai melanjutkan perjalanan menuju Banyuwangi dengan kereta api mutiara malam. Tak banyak yang bisa diceritakan dalam perjalanan ini karena dia benar-benar full tidur agar besok pagi fit melahap rute 125 kilometer pesisir selatan pulau dewata.

08 Mei 2017

Adzan subuh menandai kedatangannya di Stasiun Banyuwangi Baru. Stasiun yang cukup berkesan baginya. Pertama kalinya dia naik kereta yaitu finish disana, tidur disana. Ini merupakan kali ketujuh dia singgah disana, kurang lengkap rasanya jika belum makan nasi bungkus yang dijajakan diatas sepeda onthel. Pejualnya ternyata belum tergantikan, masih sama seperti 4 tahun yang lalu. Ingatanya seakan dibuka kembali, samar-samar melihat teman-temannya berada disekelilingnya.



Perjalanan kembali dilanjutkan menuju Pelabuhan Ketapang, selangkah lagi akan sampai di garis start. Dia merasa ini semacam perjalanan nostalgia, mengenang kembali lembaran lama. Akhirnya dia sampai di Gilimanuk, perjalanan dimulai. Baru beberapa kayuhan dia melihat sebuah posko mudik tak berpenghuni, dua tahun lalu dia pernah bermalam disana. Sepedanya masih terus dikayuh, memasuki kawasan taman nasional bali barat perasaanya mulai agak cemas. Banyak kera-kera liar dipinggir jalan. Belum lagi anjing, sempat ada insiden dikejar seekor anjing yang mambuat nafasnya tak berirama. Setelah kejadian tersebut, dia istirahat sejenak sambil mengatur nafas.




Perjalanan kembali dilanjutkan, perlahan namun pasti aln-alon waton kelakon. Check point kedua berhenti di warung masakan padang sepertinya pilihan yang tepat. Dia pun sampai di pusat keramaian kawasan Negara, tepatnya di Kelurahan Tegalcangkring. Namun dia masih enggan memarkir sepedanya. Warung padang pertama terlewati, kedua juga terlewati, begitu pun seterusnya. Sebenarnya dia tak terlalu paham dengan rute gilimanuk – denpasar karena perjalanan-perjalanan sebelumya dia selalu tertidur didalam bus. Lepas dari kawasan Negara, mulai menyusuri area persawahan. Cukup sulit menjumpai warung makan, yang ada hanya warung-warung klontong. Seakan-akan dia mendapatkan ganjaran atas sikpanya yang kerap menunda-nunda itu hahahaa. Setiap melihat warung, hampir pasti dia singgah. Sekedar menyantap roti untuk mengusir rasa lapar dan minum agar terhindar serangan dehidrasi. Jalan naik turun nikmati saja, sungguh ini diluar perkiraannya. 125 kilometer yang menurut google maps sanggup ditempuh dengan waktu 8 jam sepertinya meleset. Start yang Ia mulai dari pukul 08.00  tadi perkiraan akan sampai denpasar sekitar pukul 4 sore, meskipun tak memasang target khusus. Yang penting sampai di Ibukota Provinsi sebelum hari gelap.

Memasuki kawasan Pulukan, pemandangan laut disebelah kanan cukup membawa angin sejuk untuk terus mengayuh. Namun didepan sana mendung gelap telah menanti. Dalam perjalanan dia melihat sebuah posko di seelah kiri badan jalan, singgah sejenak untuk berpikir. Arlojinya sudah menunjuk pukul empat sore dan kota denpasar masih sekitar 40 kilometer lagi. Mulai ragu, ditambah lagi kurang paham kondisi daerahnya. Lepas dari Negara tak kunjung menemui pusat keramaian mempengaruhi mentalitasnya. Sempat muncul pikiran untuk mengakhiri perjalanan kemudian dilanjutkan dengan naik bus. Tapi, kapan lagi ke Bali? mungkin perjalanan ini tak akan bisa diulang kembali. Semangatnya kembali berkobar, sambil berdoa semoga tidak turun hujan. Memasuki kawasan Tabanan, dia kembali teguh pada tekadnya karena menjumpai keramaian. Hendak berhenti di warung padang tapi dalam hatinya berkata “tanggung, hajar terus. hari juga hampir gelap”. Dia hiraukan rasa lapar (Jangan ditiru, berbahaya. Namun dia merasa kondisi tubuhnya memang masih sanggup untuk jalan terus. Hanya anda sendiri yang tahu batas kemampuan anda).

Akhirnya pukul 20.00 Waktu Indonesia Tengah dia sampai di Denpasar, lalu finish di warung nasi padang. Langsung saja pesan nasi padang double serta rendangnya dua. Itu merupakan nasi padang ternikmat yang pernah Ia santap. Mungkin karena perjuangannya hehehe. Selepas bersantap ria, kemudian Ia bergegas  mencari penginapan untuk recovery sembari memikirkan rencana esok hari menuju pura besakih.






Lumayan sulit mencari penginapan sesuai budget yang diinginkan melalui aplikasi, akhirnya dia melipir ke kawasan sanur. Nah disana dia mendapatkan penginapan yang sesuai. Setelah check in, bergegas mandi agar segala macam kotoran bercampur keringat serta polusi menghilang dari badan. Badan kembali rileks, mulai menyusun strategi esok hari. Dia mulai mengurungkan niat untuk bersepeda ke Pura Besakih, karena menurut perkiraannya internal gir sram 3 speed tak akan mampu melahap tanjakan menuju kesana. Oke berarti besok dia harus mencari rental motor. Lalu mencari guide dalam pendakian karena ada aturan wajib porter per tim. Cari sana-sini tarifnya tidak masuk di budget karena rata-rata diatas 500k. Akhirnya ada satu guide yang pasang tarif 300k, dengan catatan dia digabungkan dengan rombongan dari Jakarta. Okelah tidak masalah baginya. Plan untuk besok sudah rapi, waktunya dia istirahat agar tubuhnya kembali bugar.




09 Mei 2017

Cuaca cukup cerah pagi itu, membuat dirinya kembali bersemangat melanjutkan perjalanan menuju kaki gunung agung. Sarapan warteg di Bali, penjualnya orang jawa. Semacam warung makan lintas budaya. Hari ini dia agak santai, tidak terlalu diburu waktu. yang penting sore hari sudah sampai di besakih. Waktu tempuh dari denpasar menuju besakih sekitar dua jam menggunakan sepeda motor. Sampai di tempat rental motor, dia menitipkan sepeda kesayangannya. Benar saja, beruntung dia mengurungkan niat bersepeda menuju besakih karena tanjakannya lumayan membuat matic beat rentalan ini “ngeden”. Sekitar pukul 18.00 dia tiba di kawasan parkir wisata pura besakih. Kebetulan guide yang akan mendampinginya dalam pendakian juga memiliki warung di area parkir wisata jadi cukup mudah untuk bertemu dengan beliau.

Rombongan dari Jakarta perkiraan akan tiba dinihari nanti dan meraka direncanakan memulai trekking pukul 03.00 dinihari. Wasting time yang cukup lama baginya, udara besakih yang lumayan dingin berhasil merangsang rasa kantuknya. Dia pun menggelar sleeping pad dan bermalam di warung. Tidur dengan rasa was-was karena cukup banyak anjing disana.

10 Mei 2017

Pendakian dimulai, tak ada sedikitpun keraguan dalam dirinya bersama teman-teman barunya yang berjumlah enam orang. Beberapa peralatan sepeda dia tinggalkan di bagasi motor beserta barang-barang yang kurang berguna dalam pendakian. Logistik yang dia bawa adalah yang siap santap. Roti, coklat, snack, sesuai perhitungannya. Dua jam perjalanan Ia mulai ragu, dia melihat bahwasannya rombongan tersebut ada yang membawa tenda. Lalu yang membawa keril justru diisi beban berat sedangkan yang membawa daypack hanya diisi baju ganti yang bobtnya cukup ringan. Menurut sudut pandangnya jelas manajemen packing tersebut kurang efektif. Sampai di POS 1 keraguannya makin bertambah karena rombongan tersebut ternyata tidak membawa gas. Beruntunglah dia membawa gas yang rencanya hanya untuk seduh kopi. Kesabarannya benar-benar diuji.

Arloji menunjukkan pukul 08.00 namun POS 2 belum juga berhasil di capai. Puncaknya adalah ketika guide berbicara empat mata dengannya “mas, jika seperti ini terus tidak akan berhasil sampai top”. Nah, disini dia mulai mencari solusi terbaik baik bagi dirinya dan teman-teman barunya. Akhirnya setelah berkumpul semua, dia mengusulkan untuk beberapa barang bawaan rombongan tersebut sedikit dikurangi. Dengan kondisi tersebut, jelas tidak mungkin mendirikan tenda. Sebaiknya ditinggal di semak-semak. Apabila terjadi kondisi darurat, ternyata guide mereka sudah meninggalkan tenda kapasitas 4 tepat di kori agung (POS 3).

logistik yang rumit sebaiknya juga ditinggal, toh rombongan tersebut juga tidak membawa gas. Baju ganti juga sebaiknya ada yang ditinggal karena melihat kondisi alam cukup cerah. Namun mereka masih enggan mengurangi barangnya karena di khawatirkan hilang. Dia kembali meyakinkan teman-teman barunya bahwa di lokasi parkir tadi tak terlalu banyak kendaraan jadi kemungkinan yang mendaki satu atau dua orang. Prediksinya juga pasti pendaki WNA, hampir pasti meraka tidak suka mencuri. Akhirnya usulannya disepakati dan perjalanan kembali dilanjutkan. Irama langkah kakinya lebih cepat, tidak seperti tadi.


Pos 3 telah dicapai, mereka memutuskan istirahat untuk masak mie instan. Tabung gas ia keluarkan dari ransel, lalu ia pinjamkan ke rombongan lain. Dia cukup menikmati dua potong beng-beng dan kopi hangat. Cukup ampuh menurunkan tingkat emosinya. Dia ditawari mie instan namun ditolaknya secara halus karena dia sedang mengukur kemampuannya. Mencoba memaksimalkan perhitungan logistik yg sudah dia bawa.



Sembari istirahat sruput-sruput kopi yang mulai dingin, dia dibuat takjub dengan rapatnya hutan di sekeliling Gunung Agung dan Gunung Batur benar-benar masih terjaga. Memang aturan adat dan sanksi adat masih berlaku disana, jadi jika hendak tebang pohon maka mereka juga harus tanam. Samar-samar dari kejauhan juga Ia melihat Gunung Raung gagah menjulang, salah satu gunung yang Ia impikan pula.








Tepat pukul 12.00 mereka semua berhasil mencapai atapnya pulau dewata. Dibawah matahari yang cukup terik, tak perlu berlama-lama diatas sana karena kabut mulai beranjak naik ke atas. Dalam perjalanan turun, dia sengaja berada di paling belakang. Ada sesuatu hal yang dirasakannya. Entahlah, dia merasa enjoy meski tertinggal jauh dari rombongan. Berbeda dengan gunung-gunung lainnya. Pukul 18.00 dia sampai kembali di pura besakih, setelah menyelesaikan kewajiban dia langsung berpamitan dan bergegas kembali ke Denpasar. Pendakian yang mengajarkan banyak hal, terutama tentang manajemen packing.


Plan berikutnya adalah bertolak kembali ke jawa, untuk mempersingkat waktu perjalanan denpasar – gilimanuk sepedanya dilipat dan diangkut menggunakan bus. Rencana selanjutnya adalah melanjutkan perjalanan Banyuwangi – Surabaya – lalu lanjut ke Kutoarjo mengunjungi kawan lama. Kemudia sebelum pulang tak lupa untuk singgah semalam di Jogja.







Nikmat Bersepeda. . . . . .

Kamis, 11 Oktober 2018

Kalimantan, Pasar Terapung Lok Baintan hingga Derawan


Borneo, Pengalaman Pertama Naik Pesawat


25 November 2016, merupakan kali pertama aku berpetualang menggunakan transportasi udara. Biasanya untuk lintas pulau aku lebih memilih meggunakan kapal Pelni, lamanya jarak tempuh menjadi suatu kenikmatan tersendiri. Namun kali ini tak ada pilihan lain, mengingat waktu yang ku miliki hanya 10 hari. Rencana ke Maluku harus ditunda lagi, dengan waktu luang hanya10 hari rasanya terlalu dipaksakan. Alasan lainnya adalah salah seorang temanku hendak melangsungkan pernikahan, yang mungkin hanya terjadi sekali seumur hidupnya jadi tak ada alasan untuk tidak hadir. Undangan yang secara langsung Ia sampaikan di sebuah kedai kopi kawasan Jakarta Selatan, setelah sekian lama kami tak berjumpa. Teman yang melengkapi perjalananku ke lawu, rinjani, prau, argopuro, serta ciremai gunung api tertinggi di ranah sunda.

Akhirnya aku memilih kalimantan sebagai tempat untuk merayakan tamatnya masa studi sebagai mahasiswa peternakan undip program sarjana. Sebenarnya banyak tempat yang ingin aku kunjungi di pulau terbesar seantero nusantara ini, salah satunya adalah Bukit Raya yang terletak di Kalimantan Barat. Namun demi efisiensi waktu serta budget, aku memutuskan hanya mengunjungi Kalimantan bagian selatan dan timur.

Sore hari menjelang maghrib aku mendaratkan kaki di kota seribu sungai. Jadi begini rasanya naik pesawat terbang hhmmm begitu keluar bandara aku sangat tergesa-gesa lalu aku mengiyakan tawaran sopir taksi bandara. Selama perjalanan di dalam taksi, aku termenung.”mengapa tadi aku tidak mencari info terlebih dahulu? barangkali ada alternatif transportasi macam ojek atau angkot menuju kecamatan sungai tabuk? tapi tak apalah, langit juga mulai tampak gelap. sekitar satu jam perjalanan, aku tiba di desa lok baintan. Panggung festival untuk acara besok pagi belum tersusun rapi (padahal rencanaku sejak awal mau tidur di disana hehehe). Kali ini perjudianku cukup meleset. Cari warung makan pun susah, untung masih ada satu potong roti di ransel. Cukuplah untuk ganjal perut malam ini. Akhirnya aku memutuskan untuk tidur di warung semi permanen yang tak jauh dari lokasi acara, yang penting ada atapnya jadi cukup aman jika turun hujan.

Aku merasa waktu berjalan sangat lama, mata juga agak susah terpejam. Tiba-tiba ada seseorang tukang tambal ban menghampiri.”Nunggu siapa?” tanya beliau. “Gak nunggu siapa-siapa pak, memang mau tidur disini. Besok pagi ada acara festival 1000 jukung dibawah jembatan” jawabku. “ Lho, disini itu rawan mas” sahutnya. Aku tidak terlalu paham apa yang beliau maksud, rawan kriminal atau rawan hal mistis. Memang desa lok baintan ini terlihat sepi selepas isya. Akhirnya aku diajak pindah ke bengkel tambal ban milik beliau, yang letaknya tepat di halaman depan rumahnya. Gelagat beliau ini penuh keraguan, hendak mengajak ke rumahnya tapi belum tahu siapa. Kalau dibiarkan tidur di bengkel juga kasihan. Banyak pertanyaan yang ia layangkan padaku, aku pun menjawab dengan santai. Kelihatannya beliau jarang bertemu dengan para pejalan yg sedikit nekat demi memangkas budget selama berpetualang.

Aku pun memutuskan untuk tidur di bengkel saja, kemudian aku mulai mengeluarkan sleeping bag, sleeping pad, serta flysheet untuk melindungi dari terpaan angin. Beliau semakin heran, mungkin dalam hatinya penuh pertanyaan. Akhirnya beliau masuk ke rumah, dan aku mulai menikmati malam pertamaku di borneo. Tidur tak terlalu nyenyak, karena banyak sekali nyamuk yang menghampiri tanpa permisi. Masuk ke dalam sleeping bag pun kurang nyaman karena suhu tubuh menjadi meningkat. Seringkali aku terbangun, tengak-tengok jam yang tak kunjung menunjukan waktu subuh.


26 November 2016

Satu persatu jukung mulai berdatangan, berkumpul di dermaga lok baintan jalan gubernur sarkawi. Masing-masing jukung berisi dengan barang dagangan, didominasi hasil kebun seperti buah-buahan dan sayuran. Beberapa pedagang juga menjajakan menu sarapan pagi. Arus sungai martapura yang lumayan kencang tak menyurutkan semangat mereka, dayung terus lawan arus. Betapa terampilnya tangan-tangan perempuan banjar dengan wajah dilapisi bedak dingin. Pasar terapung lok baintan memang tidak asing bagi generasi 90an, karena menjadi ikon salah satu televisi swasta saat pergantian jam tayang. Beranjak dewasa aku mulai penasaran dan ingin melihatnya secara langsung, sebuah alasan mengapa aku ingin mengunjungi Borneo. Pasar tradisional bagiku memiliki daya tarik tersendiri, ada nilai-nilai tentang perjalanan hidup disana. Bukan sekedar transaksi jual beli semata.





Pengunjung yang datang mayoritas justru dari luar daerah, bahkan dari luar kalimantan. Padahal acara semacam ini hanya setahun sekali, mungkin saja bagi masyarakat lokal sudah menjadi pemandangan yang biasa. Atau pasar terapung mulai tergerus zaman yang kian modern ditambah fasilitas darat di kalimantan selatan yang kian membaik. Berdasarkan info yang aku dapat, ada beberapa pasar terapung selain lok baintan yaitu pasar terapung muara kuin dan pasar terapung siring. Pasar terapung siring letaknya tepat di jantung kota, berada di hulu sungai barito. Semoga pasar terapung warisan nenek moyang suku banjar ini masih sanggup melawan kemajuan zaman.

Menjelang siang, aku bergegas untuk melanjutkan perjalanan ke kota banjarmasin. Hendak merebahkan badan yang kurang tidur ini diatas kasur agar tetap fit karena perjalanan masih panjang (balas dendam tidur tadi malam hahaha). Kebetulan juga malam ini tim sepakbola kesayanganku juga bertanding, jadi aku membutuhkan fasilitas televisi. Selain itu, aku juga ingin mengamati suasana car free day kota seribu sungai.Sedari tadi tak ada tumpangan yg berhenti, apalagi transportasi umum. Setelah 2 jam menanti, akhirnya aku pun meminta tolong pada seorang montir untuk menjadi tukang ojek dadakan. Aku minta tolong diantar sampai pasar sungai tabuk, karena kabarnya disana banyak angkot menuju banjarmasin. Ternyata transportasi disini lumayan sulit, ojek masih menjadi unggulan. Salah satu pekerjaan rumah bagi pemerintah setempat jika ingin meningkatkan kunjungan wisatawan.

27 November 2016

Pelajaran berharga pagi ini, kukira jika booking tiket pesawat saat hari H tarifnya akan lebih murah. Namun ternyata justru sebaliknya, penerbangan banjarmasin – balikpapan rupanya cukup padat dan menjadi primadona dibandingkan transportasi darat. Alhasil aku tidak mendapatkan tiket untuk penerbangan sore ini, baiklah berarti nanti malam menginap di airport dan esok pagi baru melanjutkan perjalanan udara banjarmasin – balikpapan – berau. Kegiatan hari ini hanya bermalas-malasan di penginapan, sambil browsing mencari info-info penting seputar derawan. Kesalahan, aku jadi ingin menambah destinasi lagi ke biduk-biduk andai budget dan waktu masih cukup.

Tak ada pilihan untuk trasportasi ke airport selain ojek. Angkot harus beberapa kali berganti armada, tak banyak info yang kudapatkan. Tak ingin mengambil resiko, akhirnya aku memilih ojek dengan ongkos empat puluh ribu rupiah yang awalnya memasang tarif lima puluh ribu rupiah. Driver tersebut mengira aku akan ikut penerbangan sore ini, kecepatan mulai dikurangi setelah mengetahui bahwa aku tak terburu-buru dengan waktu.




28 November 2016

Pagi-pagi belum mandi hanya sempat gosok gigi, aku melanjutkan perjalanan ke Balikpapan dengan jadwal penerbangan pagi. Cuaca terlihat kurang bagus ditambah penerbangan ini menggunakan pesawat ATR membuatku sedikit cemas, terasa lebih buruk dari penerbangan pertamaku. Ditambah lagi penumpang sebelah yang membungkukkan badannya, tak mampu lagi menopang kepalanya. Suasana kabin semakin harmoni dengan lagu menunggang badai dari barasuara yang sedang kudengarkan dari smartphone.

Balikpapan – Berau kembali lagi menggunakan pesawat ATR dari maskapai yang namanya mirip sabun colek, hanya saja kondisinya jauh lebih bagus seperti baru bila dibandingkan dengan yang tadi. Tiba di Bandara Kalimarau disambut hujan rintik-rintik, sejuk suasana karena lokasinya memang di kepung hutan yang masih cukup lebat. Gerimis kuterjang segera meninggalkan lingkungan airport untuk mencari kendaraan menuju tanjung batu, tempat pemberhentian terakhir sebelum ke pulau derawan. Tiba-tiba ada angkot yang melintas, ku berhentikan dengan melambaikan tangan. Bisa antar sampai tepian sentral tanjung redeb? tanyaku. Ooh bisa bang jawab pak sopir. Perjalanan tak berlangsung lama, mungkin sekitar 15 menit. Pak sopir minta ongkos 50k, aih mahal sekali. Maka terjadilah tawar menawar dan sedikit perdebatan. Akhirnya aku kasih ongkos duapuluh ribu dengan muka kusut kalang kabut plus bonus omelan sopir angkot. Kemudian disebrang jalan sudah banyak kendaraan travel yang berjajar mengantri menunggu penumpang. Kata pak usup salah satu sopir tanjung redep – tanjung batu, tarif angkot jauh dekat itu kisaran 5-10k saja. Naah kan, praktek perkentelan mengingat tarif menuju tanjung batu hanya 100k dengan lama perjalanan kira-kira 4 jam.




Sebentar lagi hari beranjak gelap, langit dipenuhi awan mendung dan gelombang laut kurasa tak terlalu bersahabat karena boat yang saya tumpangi goyangannya lumayan liar. Tak butuh waktu lama untuk menyebrang dari tanjung batu ke pulau derawan, ya sekitar 30 menit saja. Banyak sekali boat yang lalu lalang, jadi tak perlu khawatir. Penuh atau tidak, berangkat sudah terserah sang nahkoda hehehe. Sebelum sandar di pulau, saya diantar keliling dulu mencari penginapan diatas laut. Tarifnya lumayan sih tapi semuanya tidak cocok dengan budgetku. Sudah pak, sandar saja dulu biar nanti aku cari sendiri. kalo di perkampungan mungkin harganya akan lebih murah. Akhirnya aku menginap di Ilham losmen, dengan tarif seratus ribu per malam.


 Malam pertama di derawan, tak banyak yang aku lakukan. Selesai mandi, aku coba pesan makanan ke pemilik losmen karena memang menyediakan aneka menu hasil laut. Pilihan jatuh pada ikan bakar, cari amannya saja sih wkwkwk. Begitu hidangan dimeja habis disantap, ketika aku hendak membayar namun ditolak. Nanti saja sekalian pas mau pulang, jawab bu ilham. Perasaanku mulai gak enak nih hihihihi. Selepas isya, aku jalan-jalan sebentar ke dermaga cari angin dan barangkali bisa dapet temen yang bisa diajak sharecost keliling pulau.


29 November 2016

Sepertinya aku akan tinggal lebih lama berada di derawan, tidak sesuai rencana awal. Sesuai perkiraanku, resiko berkunjung ke derawan di saat weekday yaitu sulit mencari barengan (share cost) untuk hoping island. Jika berkeliling pulau sendirian rasanya terlalu over budget karena tiba-tiba aku memiliki ide setelah meninggalkan derawan hendak melanjutkan perjalanan ke biduk-biduk atau kawah ijen. Ijen, karena opsi termurah rute pulang adalah penerbangan berau – surabaya. Tak terlalu sulit menjangkau kawah ijen dari ibukota jawa timur.




 Hari kedua hanya aku habiskan untuk menyepi di pinggir pantai, merebahkan badan di hammock yang terbentang diantara kedua pohon, dengan irama lagu dari beberapa playlist yang sengaja disiapkan. Menjelang sore ketika sinar mentari tak lagi menyengat kulit, aku kembali menyisir perkampungan sekedar bercengkrama dengan warga lokal serta mencari sesama pejalan yang bisa diajak untuk share cost. Aktivitas di dermaga semakin ramai ketika hari mendekati gelap, yang bekerja di luar pulau kembali pulang sedangkan para nelayan mulai berangkat melaut menuju keramba-keramba ikan miliknya.

01 Desember 2016

Sehabis subuh waktu Indonesia tengah aku bersama firman mulai berkumpul di dermaga. Firman adalah temen share cost dalam perjalanan mengelilingi pulau disekitar derawan. Seandainya kemarin tidak berjumpa dengan firman, mungkin hari ini aku akan meninggalkan derawan karena saldo di kantong kian hari kian menipis. Cuaca pagi ini tidak sebaik hari-hari kemarin, semoga kami diberi keselamatan. Awan mendung dan hujan rintik menemani perjalanan dalam mengarungi laut, dengan boat kecepatan tinggi. Goncangan cukup keras karena gelombang laut lumayan tinggi. Hasilnya nihil kala kami hendak melihat gerombolan hiu paus maupun ikan pari manta, tak satupun spot yang nampak. Akhirnya kami memutuskan melanjutkan perjalanan ke pulau kakaban. Pulau ini memiliki daya tarik dengan habitat ubur-ubur yang tidak menyengat. Suasana sangat sepi, hanya kami berdua beserta guide dan petugas penjaga pulau. Nampaknya kami datang terlampau pagi, apalagi ini bukan weekend. Aku jadi sedikit kurang enjoy berenang di danau karena merasakan hawa-hawa agak mistis. Terlebih cahaya mentari terhalang oleh gumpalan awan mendung sehingga gradasi permukaan danau menjadi kurang bercahaya.






Untuk menghemat budget, malam ini aku memutuskan untuk bermalam di pinggir pantai dekat kantor polisi air. Setelah bertanya-tanya pada warga sekitar, cukup aman dari tindakan kriminal apabila hendak gelar hammock. Sepi itu indah bagi beberapa manusia yang bisa merayakannya. Perenunganku berakhir bersamaan dengan daya baterai smartphone yang mulai menipis. Tengah malam aku terbangun karena mendengar suara kendaraan roda dua yang berhenti di piggir pantai,tak jauh dari keberadaanku. Cukup menarik perhatianku, semoga bukan preman kampung. Mereka berdua semakin mendekat kearahku, aku mengintip dari celah-celah antara flysheet dan hammock. Aku berinisiatif untuk menyapa mereka lebih dulu, setelah berkenalan ternyata mereka berdua adalah petugas dari konservasi penyu. Mereka sedang memantau keberadaan telur penyu yang sudah ditemukan beberapa hari yang lalu.




02 Desember 2016

Hari ini aku meninggalkan pulau derawan, meskipun pesawat menuju ke Surabaya berangkat hari sabtu sore. Hari ini aku akan membunuh waktu di airport, batal rencana ke biduk-biduk karena faktor budget. Penerbangan paling murah untuk tujuan ke Surabaya hanya pada hari sabtu esok. Baiklah, plan berikutnya aku berencana mengunjungi kawah ijen. Surabaya – Banyuwangi akan aku tempuh dengan kereta api, kemudian setibanya di stasiun karangasem aku berencana rental motor karena berdasar info banyak penyewaan kendaraan roda dua disana.

Pukul tiga sore waktu setempat aku sudah sampai di bandara, nyaris tak ada pertokoan di sekitar bandara. Beruntunglah tadi di kota sempat berbelanja kue dan air minum cukuplah untuk bekal seharian. Bandara Kalimarau memang letaknya di kelilingi hutan belantara, hanya ada satu warung dan hanya buka pagi sampai sore hari. Semakin gelap, semakin sepi suasana. Menyisakan 3 calon penumpang termasuk aku. Malam itu aku mendapat teman baru, Pak Aswin namanya. Pria asal surabaya yang sedang sial hari itu. Ia menceritakan musibah yang sedang menimpa dirinya. Semakin berat bebannya karena Ia tak membawa bekal sedikitpun. Akhirnya aku berbagi bekal dengan beliau, serta berbagi tawa untuk meringankan masalah yang sedang beliau hadapi.


03 Desember 2016

Aiiihh hari terakhir di borneo, pukul sepuluh kami sarapan di warung tepat di muka bandara sebrang jalan raya. Ternyata pemilik warungnya juga orang jawa, asli jombang. Pukul 12.00 WITA Pak Aswin pamit pulang lebih dahulu. Sedangkan aku masih menuggu 3 jam lagi, itu pun bila tidak delay. Maskapai Sriwijaya Air mengantarku pulang kembali ke Jawa. Setibanya di Bandara Juanda, bertepatan dengan kick off timnas Indonesia berlaga. Aku pun bersantai dulu menikmati laga via streaming.

Pertandingan berakhir, muncul keraguan untuk pergi ke kawah ijen. Ada firasat tidak enak di hati, ditambah bulan desember dengan cuaca kurang baik. Akhirnya aku memutuskan untuk menunda plan ke kawah ijen, dan malam ini aku kembali menikmati rute klasik jalur surabaya – solo dengan bus. Bus patas eka menjadi pilihan karena aku ingin tidur didalam bus, naik eknomi terlalu beresiko dengan barang bawaan. pulang.....
 


rincian biaya:

Semarang – Banjarbaru Lion air 543k
Taksi Bandara 135k
Penginapan di Banjarmasin 160k
Ojek Banjarmasin – Bandara 55k
Banjarmasin – Berau Wings air ATR 834k
Kalimarau – Pangkalan travel derawan 30k
Tanjung redeb -  Tanjung batu 100k
Boat Tanjung Batu – Derawan 100k
Penginapan di Derawan 100k/Night
Hoping island + Camera Underwater 800k
Berau – Surabaya Sriwijaya air 575k


Kontak transportasi:

Boat Derawan 085249971740
Losmen Ilham Derawan 085246046740
Travel Tj Redeb – Tj Batu Usup 085246810885