Akhirnya rasa penasaranku akan
keunikan kapal pinisi dan kerbau toraja (tedong saleko) terjawab sudah. Tak
hanya itu, aku juga berkesempatan bersua dengan puncak tertinggi di Pulau Sulawesi
yang menjadi bagian dari The 7 Summits of
Indonesia. Ditambah lagi dapat melihat kemegahan karst terluas kedua di
dunia. Selain itu, lidah juga dimanjakan dengan kenikmatan coto makassar,
konro, pallubasa, kopi, saraba, dan tentunya buroncong yang menjadi jajanan favoritku.
Perjalananku selama 34 hari ini menghabiskan biaya Rp 1.970.500,00. Masih dengan cara ekonomis, beginilah kisah solotrip pertamaku ke luar Pulau Jawa.
Yeeaahh ini merupakan perjalanan
sendiri (solotrip) pertamaku ke luar
Pulau Jawa. Ide yang muncul pertengahan bulan Desember lalu saat aku melakukan
penelitian di kawasan lereng Gunung Slamet tepatnya di daerah Tenjo, Baturraden
– Purwoerto (Jawa Tengah) . Kerap aku merasa gelisah dengan imajinasiku saat
sedang tidak ada kegiatan. Mungkin memang sudah waktunya untuk melakukan perjalanan lagi ke penjuru nusantara. Aku mulai membuat perencanaan, hhmmm sasaranku kali ini
adalah pulau-pulau besar. Dengan anggaran yang sama, aku menyiapkan 2
buah plan. Plan A yaitu menyisir sisi barat Indonesia, meliputi Medan, Sabang,
Aceh, Takengon, dan Gunung Kerinci. Sedangkan Plan B yaitu Bulukumba,
Bawakaraeng, Toraja, Latimojong, Pare-pare, dan Banjarmasin.
Bulan Februari telah usai,
berarti penelitianku harus diakhiri. Kini waktunya menyembuhkan kegelisahan yang
sering muncul tiba-tiba. Aku
memutuskan untuk memilih plan B karena keadaannya jalur pendakian Gunung
Kerinci masih ditutup, mungkin Tuhan memang belum mengijinkan untuk bersua
dengan atapnya Pulau Sumatera.
Masih ada waktu satu minggu untuk
menggali informasi tentang Sulawesi Selatan, sekaligus membuat perencanaan yang
lebih matang karena aku kembali memprioritaskan jalur laut, sehingga waktu harus
dimanfaatkan secara maksimal agar sesuai dengan jadwal kapal PELNI. Pelayaran
Surabaya – Makassar, kemudian Pare-pare – Balikpapan, dan Banjarmasin –
Surabaya perlu aku garis bawahi, jangan sampai salah jadwal atau ketinggalan
kapal hehehehe
Perjalanan dimulai!
18 Maret 2015
Beberapa hari yang lalu aku sudah
mengantongi tiket kapal KM Labobar tujuan Surabaya – Makassar yang kubeli di
Kantor Pelni Cabang Semarang. Kalau di agen-agen tentu harganya sudah melambung
kan?. Beberapa peralatan yang dibutuhkan selama perjalanan maupun pendakian
sudah rapih masuk ke dalam carrier, pukul 20.00 aku berangkat menuju Stasiun
Ngrombo yang jaraknya sekitar 4-5 kilometer dari rumahku. Aku menuju Kota
Surabaya dengan kereta api ekonomi Kertajaya gerbong 6 kursi 10C yang berangkat
pukul 21.58 dan malam ini aku bermalam di Stasiun Surabaya Pasar Turi.
Rincian biaya
KA Kertajaya: 50.000
19 Maret 2015
Pukul 10.00 aku beranjak menuju
Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, kali ini aku memilih menggunakan ojek karena
aku mau mampir sejenak ke minimarket untuk membeli beberapa kebutuhan selama
perjalanan. Tak lama berselang, sampailah aku di Pelabuhan. Memasuki ruang
tunggu khusus penumpang, di dekat pintu masuk sempat ditawari beberapa penyedia
jasa asuransi. Tentu saja aku menolaknya karena tiket Pelni ini sudah ada
asuransinya. Walaupun KM Labobar berangkat sore hari, namun pukul 12.00 para
penumpang sudah diperkenankan naik ke kapal. Alhamdulillah aku masih
mendapatkan kamar, tepatnya di deck 5. Interiornya lumayan mewah! Oh ya,
terkadang ada beberapa oknum nakal yang sengaja menjual kamar kelas ekonomi
dengan harga yang bervariasi. Tolaklah dengan tegas, karena fasilitas kamar ini
gratis untuk penumpang kelas ekonomi.
Pukul 15.00 KM Labobar mulai
berlayar meninggalkan pelabuhan. beberapa penumpang di sekelilingku berasal
dari Solo, Sragen, Probolinggo sehingga aku tak terlalu kesulitan untuk
berinteraksi dengan mereka. Salah satu hal yang menarik saat naik kapal Pelni
kelas ekonomi yaitu ketika jam makan tiba kami seringkali bertukar lauk pauk
yang memang sengaja dibawa sebagai bekal perjalanan. Kalau aku terbiasa membawa
abon daging dari rumah, untuk meningkatkan nafsu makan hehehehe. Namun menu
makanan di KM Labobar ini tidak terlalu buruk, pagi lauknya telur, siang
lauknya ayam, malam lauknya ikan. Tak seperti KM Awu yang aku naiki beberapa
waktu lalu, atau bisa jadi Pelni memang sudah berbenah memperbaiki
pelayanannya.
Rincian biaya
Ojek Stasiun - Pelabuhan: 25.000
20 Maret 2015
Menjelang senja kapal mulai
menepi di Pelabuhan Makassar, selamat petang bumi celebes! Malam ini aku
menginap di Wisma Hostel, Jalan Jampea. Mengapa?? Karena letaknya sekitar 2
kilometer dari pelabuhan jadi masih bisa dijangkau dengan jalan kaki. Selain
itu di Jalan Jampea juga berdiri kedai kopi phoenam yang sudah cukup tersohor
itu. Esok hari aku berencana menikmati pagi di kedai itu, yang letaknya tepat
disebelah tempatku bermalam.
Rincian biaya
21 Maret 2015
Bangun tidur ku terus mandi,
tidak lupa menggosok gigi, habis mandi kubantu Ibu membersihkan tempat tidurku.
Wah salah salah, habis gosok gigi maksudnya bergegas menikmati suasana pagi di
kedai kopi. Setelah keluar wisma, ternyata benar saja sudah ramai pengunjung
apalagi ini akhir pekan. Lukisan-lukisan tempo dulu yang menghiasi dinding-dinding kedai membawa nuansa masa lampau. Lalu wanita paruh baya
menghampiriku.
“Mau pesan apa?” Tanya wanita
itu.
“Aku pesan kopi susu dan roti
bakar selai sirkaya, mbak” jawabku.
Beberapa menit kemudian pesananku
datang. ssrrrrpppp sungguh nikmat menyruput kopi di pagi hari, apalagi di
tempat baru. Konon katanya, kopi memiliki kasta di Makassar. Sesibuk apapun anda,
sempatkanlah jika di tawari kopi walaupun hanya satu sruputan. Tak baik
menolaknya.
Tiba-tiba ponselku berdering, oh
ternyata dari Ibuku yang memberi kabar bahwa aku punya Om yang sekarang dinas
di Makassar. Setelah mendapatkan nomer ponselnya, lalu aku menghubungi Om ku.
Siang ini aku akan dijemput, dan wajib singgah dulu di rumahnya untuk
silaturahmi. Berarti aku harus menunda keberangkatanku menuju Bulukumba.
23 Maret 2015
Pukul 10.00 pagi aku sudah berada
di Terminal Malengkeri Makassar, suasana terminal yang agak kacau karena
tergenang air di beberapa titik. Bus Makassar-Selayar yang jadwal keberangkatan
pagi hari ternyata sudah berangkat, akhirnya aku menjatuhkan pilihan untuk naik
panther. Sebutan untuk kendaraan-kendaraan minibus yang dijadikan transportasi
umum. Satu jam kemudian, aku berangkat menuju Bulukumba dengan 3 penumpang
lainnya. Keberuntungan kembali menyelimutiku. Ternyata penumpang yang berada di
kursi depan berdomisili Purwodadi juga, namanya Pak Darto yang baru saja
merintis usaha bengkel ketok magic di Bulukumba bersama 2 rekannya. Pak Darto
menawariku untuk menginap di bengkelnya saja kalau mau, tapi ya gitu dengan
kondisi seadanya. Bagiku keadaan seperti apapun gak masalah, lumayan kan dapat gratisan.
Aku pun mengiyakan tawaran beliau.
Setelah menempuh 4 jam
perjalanan, akhirnya kami sampai di bengkelnya yang letaknya tak jauh dari
Terminal Bulukumba. Ya kira-kira sekitar 300 meter. Aku disana diperkenalkan
dengan 2 rekan kerjanya yaitu Pak Cipto dan Pak Man.
Makan malam terasa sangat nikmat
meski dengan menu alakadarnya. Banyak hal yang bisa dipetik dari pengalaman
hidup dari bapak-bapak energik ini. Secuil kisah tentang keluarga baruku di
Bulukumba.
Rincian biaya
Transportasi Makassar – Bulukumba:
50.000
24 Maret 2015
Keunikan Perahu Pinisi
Pagi-pagi sekali aku berpamitan
untuk melanjutkan perjalanan, mengulik berbagai keunikan tentang perahu pinisi.
Rencananya, kamis sore nanti aku akan kembali bermalam di bengkel ini.
Pete-pete warna putih mengantarkanku menuju Tanah beru yang menjadi pusatnya
pembuatan perahu-perahu pinisi. Tapi nanti dulu, aku ingin menuju Tanjung Bira
dan Panrangluhu yang kabarnya juga ada pembuatan perahu pinisi disana. Dari
Tanah beru aku melanjutkan perjalanan menuju Tanjung Bira menggunakan
pete-pete. Saat hampir memasuki pintu masuk pantai bira, pak sopir memintaku
untuk menggeser tas carrier menghimpit jendela agar tidak dikira wisatawan,
jadi gak perlu bayar ongkos 10.000. Wah ini, keberuntungan yang sedikit jahat.
Kemudian aku mulai mencari-cari
penginapan disana, aku akan menginap selama 2 malam. Pilihanku jatuh pada wisma
nur azifa, setelah nego-nego harga akhirnya aku dapat 180.000. Bira panasnya
memang luar biasa, katanya disini masih jarang turun hujan. Siang-siang begini
memang cocoknya cari tempat teduh pinggir pantai, lalu pasang hammock.
Rincian biaya
Pete-pete Bulukumba – Tanah beru:
10.000
Pete-pete Tanah beru – Bira:
15.000
25 Maret 2015
Mau sewa motor tapi kok sayang
duit yaa, karena setelah cek GPS jarak penginapan ke Panrangluhu lumayan dekat,
kurang lebih 3 kilometer saja. Yawes jalan kaki saja ya. Eh belum ada setengah
jalan, tiba-tiba dapat tumpangan kesana. Lumayan menghemat energi. Sesampainya
disana, waah ternyata lagi sepi produksi pinisi. Hanya ada 3 perahu pinisi
ukuran kecil yang sedang di garap. Pantai Panrangluhu banyak ditumbuhi pohon
kelapa, tak seperti di Pantai Bira yang lumayan sulit cari spot untuk
gelantungan. Berdiam diri diterpa angin sempribit.
Pantai Panrangluhu |
Ada beberapa hal yang membuat
miris di sepanjang bibir pantai ini, banyak sekali sampah plastik yang
menumpuk. Sampah di dominasi kemasan minuman yang terbuat dari plastik dan
sepertinya masih layak di jual. Aku berimajinasi gimana kalau kawasan ini yang
mayoritas warganya berprofesi sebagai nelayan disulap menjadi kawasan kuliner
laut dengan memanfaatkan ikan hasil tangkapan sendiri. Lokasinya juga cukup strategis, dekat dengan
Pelabuhan Bira dan Jalan Poros Bulukumba.
Sedangkan di Tanjung
Bira sedang banyak aktivitas pembangunan terutama penginapan, mulai dari
yang sederhana hingga yang mewah. Hasil jalan kaki masuk gang-gang sempit, aku
menemukan sekumpulan sampah menumpuk di beberapa titik maupun menyumbat di
saluran air yang kering. Kalau tidak ada tindakan dari pengelola wisata serta
masyarakat sekitar, di khawatirkan gradasi warna laut pantai bira ini tak mampu
lagi menarik perhatian pengunjung yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi dari
sektor pariwisata menjadi terhambat. Selain sampah, air bersih juga menjadi
masalah karena mayoritas warga disini airnya itu beli. Tak heran jika setiap
hari banyak mobil bak terbuka yang lalu-lalang mengangkut tangki air.
“Bagaimana kalau setiap kawasan
wisata di seluruh wilayah nusantara itu diwajibkan memiliki Bank Sampah yang
dikelola masyarakat sekitar??”
26 Maret 2015
Pukul 10.00 aku meninggalkan Bira
untuk melanjutkan perjalanan menuju Tanah beru. Sedikit berjalan kaki 300 meter
dari Jalan Poros Bira, perahu-perahu pinisi berukuran besar berjajar rapi
sepanjang bibir pantai. Setelah meminta ijin pada pemilik bengkel pinisi, lalu
aku diperkenankan untuk naik ke atas kapal. Konon katanya 2 buah tiang dan 7
buah layar itu memiliki filosofi yaitu 2 buah tiang berasal dari 2 kalimat
syahadat dan 7 buah layar berasal dari jumlah surat al-fatihah. Selain itu, 7
buah layar juga menjadi saksi bahwa nenek moyang kita telah berhasil mengarungi
7 samudera besar dunia. Keunikan lain dari perahu pinisi yaitu pada proses
pembuatannya yang tiap tahapannya harus dilakukan upacara adat yang
berbeda-beda. Mulai dari pencarian kayu, pemotongan, perakitan, peluncuran ke
laut hingga pemasangan layar. Pembuatan perahu pinisi tidak memerlukan pola
gambar ki, hanya bermodalkan kearifan lokal warisan nenek moyang saja toh?
Semoga tradisi ini masih berlanjut hingga masa-masa mendatang.
Perahu yang aku naiki ini
harganya tembus sampai 3 Milyar ki, bahannya menggunakan kayu besi yang
terkenal kokoh dan kuat. Sebelum kembali ke Bulukumba, santai-santai dulu lah
ya di tepian pantai sambil gelantungan. Syahduuu! Sore harinya aku kembali ke
bengkelnya Pak Darto, berbagi cerita tentang perjalananku ke Bira dan Tanah
beru.
Rincian biaya
Tanjung Bira – Tanah beru: 15.000
27 Maret 2015
Perjalanan Menuju Lembah Ramma,
Lereng Gunung Bawakaraeng
Pagi ini aku harus meninggalkan
Bulukumba, tujuan berikutnya yaitu Desa Lembanna yang terletak di kaki Gunung
Bawakaraeng. Aku tidak kembali ke Makassar, melainkan melewati jalur Kabupaten
Sinjai. Setelah itu nyambung panther menuju Manipi, lalu Manipi – Malino –
Lembanna. Perjalanan yang lumayan panjang dan buta informasi tentunya hahahahaa
biar naluriku yang menjalankan tugasnya.
Pukul 10.00 aku mulai
meninggalkan Terminal Bulukumba, setelah menempuh perjalanan selama 90 menit
aku turun di pertigaan ke arah Malino. Nah, ketika turun disini mulai buta
informasi karena ternyata tidak ada transportasi yang langsung ke Malino, harus
turun di Manipi dulu. Setelah agak lama menunggu, akhirnya ada mobil panther
arah Manipi yang melintas. Kebetulan sekali penumpang sebelahku di masa mudanya
sering mendaki ke Gunung Bawakaraeng, jadi aku bisa mendapatkan informasi
sebanyak-banyaknya.
60 menit menempuh perjalanan,
tiba-tiba saja mobil berhenti karena banyak antrean mobil di depan. Kutengok dari
kaca jendela rupanya ada bekas longsoran. Kata pak sopir, longsoran ini sudah
terjadi 2 tahun silam namun sampai saat ini belum juga ada perbaikan. Tidak
heran, banyak sekali mobil-mobil yang rodanya selip apalagi selepas turun
hujan. Setelah sampai di Manipi, tak berapa lama melintas mobil APV yang akan
ke Makassar. Memang beginilah wajah transportasi di Sulawesi, mobil-mobil
pribadi berplat kuning maupun hitam digunakan untuk mengangkut penumpang. Belum
pernah aku melihat bus ukuran kecil melintas di jalanan.
Kemudian aku turun di Pintu
Gerbang menuju Desa Lembanna, lalu dilanjutkan dengan naik ojek. Aku sempat
merasa bingung.
“Bang, nanti mau menginap di
tempat siapa?” tanya abang tukang ojek.
“Basecamp bang” jawabku
“Disini gak ada basecamp bang,
menginap di rumah kakak saya saja ya?” balasnya.
“Oke bang, boleh” jawabku lagi.
Setelah sampai di depan rumah,
lalu kubayar ongkos ojeknya eh si abang langsung pergi begitu saja tanpa
memperkenalkan dulu dengan yang punya rumah. Wah aku jadi sedikit merasa
canggung hehehehe bercampur bingung kepayang.
Barang-barang aku taruh di rumah
Kak Vika, lalu jalan-jalan keliling kampung sekalian belanja beberapa logistik
untuk keperluan selama di Lembah Ramma. Semakin malam semakin ramai saja para
pendaki yang berdatangan, ada yang langsung trekking namun ada juga yang
singgah dulu di beberapa rumah warga. Kali ini aku tidak akan pergi ke puncak
bawakaraeng karena sesuatu hal sstttt rahasia ya.
Rincian biaya
Bulukumba – Sinjai: 25.000
Sinjai – Manipi: 30.000
Manipi – Poros Malino: 15.000
Ojek Poros Malino – Lembanna:
10.000
28 Maret 2015
Perjalanan Menuju Lembah Ramma
Sabtu pagi yang cerah di kaki
Gunung Bawakaraeng, pukul 08.00 aku memulai pendakian melewati jalan setapak di
belakang sekolah dasar lalu melintasi kebun sayur-sayuran. Setelah itu
pemandangan berganti dengan hutan pinus, melewati aliran air. Sesampainya di
Pos 1 akhirnya aku baru bertemu dengan yang namanya manusia. Jika ingin ke
Lembah Ramma, dari pos 1 ini ambil jalur yang ke kanan. Melewati beberapa
aliran sungai (kalau tidak salah 5 sungai) dan naik turun bukit, sampailah di
puncak Bukit Talung. Darisinilah Lembah Ramma mulai terlihat, padang rumput
luas dengan sapi-sapi berkeliaran. 3,5 jam trekking, akhirnya aku sampai di
tempat tujuan.
Dalam perjalanan tadi, aku sempat
beberapa saat jalan bareng Bang Rizal yang merupakan mahasiswa alumnus
Universitas Negeri Makassar. Lelaki ini menarik untuk diikuti karena pernah
mendaki Pegunungan Jaya Wijaya di Papua, Ia sempatkan main-main kesana sewaktu
menjadi relawan pengajar di Kota Sorong. Tentu saja aku ingin mendengar kisah
pendakiannya, yaa barangkali dengan menyimak kisahnya suatu saat nanti aku bisa
tertular meninggalkan jejak juga di salju abadi yang kabarnya akan menghilang
beberapa tahun mendatang.
Di Lembah Ramma juga terdapat
sumber air, jadi yang ingin berlama-lama disini tak perlu khawatir. Saat sabtu
malam, ada juga beberapa warga sekitar yang mencoba menambah penghasilan dengan
berjualan snack maupun kebutuhan lainnya disini. Mereka menenteng 2 ransel
handmade yang berisi barang dagangan, biasanya menjelang petang mereka baru
berangkat dari Desa Lembanna.
29 Maret 2015
Waktunya kembali ke Desa Lembanna,
malam ini aku bermalam lagi di rumah Kak Vika barulah esok harinya aku kembali
ke Makassar karena disuruh mampir lagi ke rumah Om Sugi.
Rincian biaya
Uang sukarela: 50.000 (jangan
menolak jika ditawari makan ya, gak baik menolak rejeki apalagi lauknya opor
ayam wkwkwkwkwk)
Transportasi Lembanna – Makassar:
40.000
Pete-pete: 5.000
02 April 2015
Menengok Kemegahan Karst Maros
Beberapa hari lalu aku sudah
janjian dengan seorang kawan yang kini sedang bekerja di wilayah Maros, namanya
Dimas. Langsung saja pagi ini aku berangkat menuju kesana. Tidak sulit menuju
kesana, cukup naik pete-pete ke arah Terminal Daya. Lalu sambung pete-pete lagi
arah Pangkep. Aku turun di Macopa, tepatnya sebelum kota Maros. Karena Dimas
baru selesai kerja jam 4 sore, maka aku mencari warung kopi untuk membunuh
waktu.
Sore itu Dimas datang menjemputku, dan malam ini aku menginap di Mess-nya. Nah keesokan harinya barulah menjelajahi
kemegahan alam Maros yang bertabur nuansa masa lampau. Pasukan bertambah lagi
dengan bergabungnya Yudha yang merupakan rekan kerjanya, lumayan bisa share
cost.
Rincian biaya
Pete-pete Central – Terminal
Daya: 5.000
Pete-pete Terminal Daya – Macopa:
7.000
03 April 2015
Lokasi pertama yang kami kunjungi
adalah Leyang-leyang yang masih termasuk kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung. Disini terdapat lukisan tangan purba di dinding goa yang konon
tertua di dunia. Tak hanya itu, karst membentang luas di berbagai sudut.
Setelah keliling-keliling, waktunya berwisata rohani menjalankan kewajiban
sholat jum’at di masjid terdekat.
(dari kiri) dimas, aku, yudha |
Usai menjalankan ibadah, kami
beranjak ke destinasi berikutnya yaitu Rammang-rammang. Akses menuju kesana
juga sangat mudah, baik menggunakan transportasi umum maupun kendaraan pribadi
karena sangat dekat dengan Jalan Poros Pangkep. Perjalanan yang menyenangkan
menyusuri sungai pute berpagar karst-karst raksasa yang konon katanya terluas
kedua di dunia. Perjalanan semakin seru ketika gerimis mulai turun, tak ada
payung apalagi jas hujan. Cukup mempercayakan pada caping dengan diameter yang
tak terlalu besar. Perahu kayu dengan mesin tempel perlahan semakin mendekati Kampung
Berua yang boleh dibilang seperti rest area berpagar hutan batu. Kalau
berpapasan dengan perahu lain, goyangannya aduhai mantablah kalau nyebur.
Orangnya gakpapa, tapi kameranya itu hahahaha.
Kemudian kami menuju ke destinasi
berikutnya yaitu Telaga Bidadari, konon katanya dulu tempat ini sering menjadi
jatuhnya ujung pelangi yang menjadi jembatan para bidadari untuk mandi disini.
Membutuhkan jalan kaki sekitar 20 menit, jangan malu bertanya ya agar tidak
tersesat di jalan. Mungkin kedepannya disini perlu di beri petunjuk arah menuju
telaga.
Hari mulai gelap, badan mulai dingin karena pakaian yang agak basah. PTB menjadi tempat yang cocok untuk menikmati senja. Apa itu PTB? Katanya Pantai Tak Berombak yang letaknya di pusat kota Maros. Kawasan kuliner yang ramai pengunjung saat sore hingga malam hari. Wedang saraba cukup ampuh ini untuk mengusir dingin.
pantai tak berombak, maros |
Malam ini aku tidak langsung
menuju Rantepao karena lagi-lagi aku harus kembali ke Makassar ke rumah Om
Sugi. Tak perlu khawatir, transportasi Maros – Makassar masih tersedia walaupun
hari sudah gelap. Aku cukup terpesona dengan perilaku jujur sopir-sopir
transportasi di kawasan Sulawesi Selatan. Mereka tak pernah menaikkan tarif
angkot secara sepihak meskipun terlihat dari tampilanku adalah pelancong. Kalau
5.000 ya 5.000 ribu. Selalu sesuai dengan data yang ku kantongi. Transportasi
Sulawesi Selatan Jujur dan Terpercaya!!
Rincian biaya
Tiket Masuk Leyang-leyang: 10.000
Parkir motor: 2.000
Sewa perahu 200.000/3 orang:
50.000
Pather Maros – Makassar: 20.000
Pete-pete: 5.000
05 April 2015
Aku mendengar kabar bahwasannya
setiap minggu pagi jalanan di kawasan Pantai Losari ini ditutup untuk acara car
free day, banyak juga orang-orang yang berjualan. Wiih menarik! Pantang
dilewatkan suasana semacam ini. Pagi ini sekitar pukul 06.30 aku berangkat dari Cendrawasih menuju kawasan Pantai Losari, tentu saja dengan armada favoritku
yaitu pete-pete. Jauh dekat cukup lima ribu saja toh, bonusnya musik bugis yang
tak ku mengerti. Karena jalan sudah ditutup jadi aku turun di sekitaran jalan
utama. Suasana yang ramai layaknya car free day di kota lain pada umumnya.
Beberapa komunitas berkumpul, pedagang makanan maupun barang-barang lainnya
berjajar rapi, mahasiswa pun tak mau kalah lalu-lalang berjualan biasanya dalam
rangka mencari dana untuk sebuah event.
Ku jejaki jalanan sepanjang
anjungan losari, namun beberapa saat langkahku terhenti mencium aroma jajanan
favoritku. Ahaaa di depan sana ada penjual kue buroncong, langsung saja aku
menuju kesana. Tapi antree dulu ya, banyak dikepung pembeli ki.
Sebelum pulang, aku menyempatkan
diri untuk donor darah karena dari kejauhan tampak mobil PMI sedang parkir di
taman kota. Sudah lama juga bolos donor darah, mungkin sekitar satu tahunan
hehehe maklum saja jarang banget ke kampus (tua di jalanan).
Malam ini terasa sangat panjang
karena ngobrol-ngobrol dengan Om Sugi sembari ngopi di ruang tamu hingga larut
malam, bercerita tentang keluarga dari Ibuku. Namun ada topik yang membuatku
cuma bisa mrenges yaitu tentang sarjana dan pernikahan. Hahaha campur aduk
rasanya, padahal rencanku akan menikah di usia 27 tahun. “24 tahun sebenarnya
kamu sudah terlambat” sahut Om Sugi. “Wah gimana ya Om, aku masih ingin
meninggalkan jejak di Borneo, Maluku, dan Papua” balasku sambil tertawa. Waktunya
tidur ya, nanti rahasiaku terbongkar.
Rincian biaya
Pete-pete: 5.000
06 April 2015
Malam ini aku akan meninggalkan
Makassar beserta nikmatnya kue buroncong, tidak lupa berpamitan pada Om Sugi
sekeluarga karena rencananya aku tidak akan kembali ke Makassar lagi tapi
melakukan pelayaran dari Pare-pare ke Balikpapan lalu menuju Banjarmasin dan
Palangkaraya. Aku sangat tertarik dengan pasar terapung lok baintan maupun
martapura serta penangkaran orang utan.
Waktu berjalan begitu cepat,
rupanya aku di beri gratisan tiket ke Rantepao sama Om Sugi alhamdulillah
makasih om. Kami berpisah di Pool Bus Litha & Co. Bus berangkat pukul
22.00. Tak banyak yang bisa aku rekam selama perjalanan, karena aku manfaatkan
untuk istirahat agar tetap fit sebagai bekal mendaki atapnya pulau sulawesi.
Rincian biaya
Bus Makassar – Rantepao 150.000
(Gratis)
07 April 2015
Pagi-pagi sekali sekitar pukul
06.00 aku sampai di Pool Bus Litha & Co Rantepao, tepatnya di kawasan
pertokoan. Browsing dulu penginapan
yang murah tapi letaknya strategis, beberapa nama sudah aku kantongi. Tapi
sebaiknya aku cari sarapan dulu, biar kecerdasan dan ketangkasan tidak menurun
karena lapar. Samar-samar terdengar penjual bubur ayam berbicara dengan
kosakata jawa, sarapan bubur saja sudah. Benar saja, beliau asli Solo. Yah
lumayan dekatlah dengan Purwodadi kota kelahiranku. Iseng-iseng aku photo
kawasan sekitar lalu aku tweet ke sebuah akun resmi milik Pemerintah Kabupaten
Toraja Utara (sebelum melakukan trip ini, aku sudah sempat saling berbalas email
untuk mencari tahu info hari pasar di Pasar Bolu). Weladalah langsung di respon
dan adminnya akan segera menemuiku. Terimakasih twitter!!
Pengendara Mio putih berhenti di
hadapanku, Bang Zul namanya. Usut punya usut ternyata Bang Zul ini anak Kaskus OANC.
Kebetulan akhir pekan ini Dia mau ke Latimojong juga dalam rangka mengantar
teman dari Semarang yang kabarnya akhir pekan ini akan sampai di Rantepao,
perjalanan dari Palu. Hari pasar juga jatuh di hari sabtu, wah sepertinya aku
harus berlama-lama di Toraja. Aku pun memutuskan untuk membatalkan Jelajah Borneo.
Keberuntunganku belum berhenti sampai disitu, rencana aku mau di drop menginap
di rumah kawannya. Namun karena pagi ini sang empunya rumah lagi sibuk, aku
menginap satu malam dulu di Wisma Maria 1. Setelah selesai check-in, Bang Zul
bergegas menuju kantornya dan aku memanfaatkan waktu untuk beristirahat.
Sore ini, aku di ajak Bang Zul
main-main ke Maleo Outdoor Shop yang tak lain adalah rumah Bang Jeckri yang
juga sering dijadikan tempat ngumpul para pemuda penggiat alam Rantepao. Disini
aku bertemu dengan Bang Jeckri dan Bang Allink, katanya aku lagi di carikan
kuota untuk rafting hari minggu besok di sungai sa’dan bersama pemerintah
setempat dalam rangka menghimbau masyarakat agar tidak membuang sampah di
sungai. Wew! Menarik sekali tawarannya! Kalau masih ada waktu, sebelum ke
Latimojong mau di ajak nanjak ke Gunung Sesean yang menjadi tempat favorit
pemuda disini kala pindah tidur.
Rincian biaya
08 April 2015
Selesai sarapan, aku bergegas
packing lalu check-out dari wisma. Lalu berjalan kaki menuju rumah Bang Jeckri
yang jaraknya sekitar 1 kilometer dari wisma. Setelah sampai di rumah Bang
Jeckrie, tampak ramai sekali siang ini. Oh rupanya anak-anak PPAI Rajawali sedang
sibuk mempersiapkan acara Kebut Bersih Gunung Sesean 2015 yang akan
dilaksanankan tanggal 23-25 April 2015 menyambut hari ulangtahun PPAI Rajawali
ke-25.
09 April 2015
Tadi malam, Bang Jeckri
kedatangan tamu yang tak lain adalah kakak iparnya yaitu Om Iwan bersama 2
kawannya Bang Doni dan Bang Mamat. Aku jadi mudah kenal dengan mereka karena
kebetulan Om Iwan juga tinggal di daerah Cendrawasih, Makassar. Kalau Bang Doni
ini asli Flores, ya aku lumayan tahu tentang beberapa hal di Flores berkat
perjalanan kesana bersama Affan dan Dedi beberapa bulan yang lalu.
Pagi ini Om Iwan mengajakku
jalan-jalan ke Bukit Tambolang, disana merupakan gardu pandang untuk
menyaksikan pemandangan Kota Rantepao dari ketinggian. Tak hanya itu, di
Tambolang terdapat kuburan batu juga. Akses menuju kesana tidaklah sulit,
jalannya sudah bagus. Kemudian setelah membayar tiket, kami mulai menaiki anak
tangga sampai ke atas bukit. Bang Doni yang bertubuh ekstra gempal tampak
kewalahan, kehabisan nafas. Semangat bang, sampai puncak di jamin langsung
kurus hehehehe
Lalu kami berjalan-jalan di
kawasan pertokoan karena Bang Doni ingin membeli beberapa oleh-oleh. Kemudian
kami berpisah, Om Iwan dkk akan melanjutkan perjalanan ke Makassar, sedangkan
aku siang ini ingin mengunjungi kedai kopi yang sudah direkomendasikan oleh
Marcel tadi malam, jaraknya lumayan membuat badan berkeringat yaitu sekitar 2,5
kilometer dari Kota Rantepao. Jalan kaki biar sehat hehehehe
Tak disangka-sangka, setelah
beberapa menit berjalan ada motor vario yang berhenti mendadak di hadapanku. Oh
rupanya Marcel, akhirnya dia mengantarkanku menuju kedai kopi tersebut. Ku
tawari dia untuk ngopi bersama, tapi sayang dia ada urusan harus mengantar
adiknya cukur rambut. Oke terimakasih tumpangannya kawan. Warung Kopi Toraja
nama kedainya, terkenal dengan Kopi Arabika Awan dan Sapan. Kopi Lanang juga
tentunya. Pemiliknya adalah Pak Sulaiman, atau biasa dipanggil Bapa Eric.
Begitulah budaya masyarakat Toraja, Eric adalah nama anak tertua dari Pak
Sulaiman. Dipanggil Bapa Eric memiliki maksud selalu mengingatkan bahwa Pak
Sulaiman ini sudah memiliki tanggungjawab untuk menghidupi anak dan
keluarganya. Sekiranya begitulah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Bapa Eric ini asyik di ajak
ngobrol-ngobrol, tentang kopi maupun alam karena sebelum pensiun beliau bekerja
di Lingkungan Hidup. Kopi Arabika Awan dan Sapan? Ya, Awan dan Sapan adalah
nama sebuah desa dimana kopi itu di tanam. Dengan topografi yang berbeda
tentunya menciptakan rasa kopi yang berbeda pula. Apalagi Bapa Eric masih
mengolah bijih kopi dengan cara tradisional, produksinya juga masih sedikit
hanya sekitar 3-4 kilogram saja per hari karena tungku handmade untuk
menyangrai kopi hanya berkapasitas 1 kilogram saja. Ini juga bermaksud untuk
tetap mempertahankan kualitas kopinya. Kalau ingin tahu lebih dalam, cek saja
Facebooknya: Warung Kopi Toraja atau datang langsung ke Toraja biar lebih
greget.
10 April 2015
Aku bersama Marcel diajak Bang
Jeckri cari bambu untuk kayu bakar di daerah Sombe tepatnya. Setelah mobil
muatan terparkir, kami berjalan menyusuri persawahan. Wow,, mengambil bambu di
kemiringan ini sepertinya membutuhkan tenaga Superman. Benar saja, berat
bener ki. Kami bertiga berusaha sekuat tenaga namun bambu tak goyah sedikitpun.
Namun ada pemuda sekitar yang masih kerabat Bang Jeckri, diangkat sendirian itu
bambu. Aiihh aku dibuat heran sekaligus geleng-geleng kepala. Akihrnya kami
cuma mampu mengambil bambu yang posisinya tidak sulit, lalu dipotong-potong
menjadi beberapa bagian kemudian diangkut ke dalam mobil. Sebelum pulang, kami
makan bersama di rumah pemuda yang kuat tadi (aku lupa namanya, maklum saja
sepanjang perjalanan aku harus menghafal banyak nama. Yang tidak tercatat ya
dijamin 90% lupa). Nikmatnya, nasi yang masih mengepul panas dengan lauk ikan
sambal ijo. Tenaga kembali pulih ini.
Kabar kurang menyenangkan,
ternyata acara rafting ditunda minggu depan dan kawan Bang Zul menunda
kedatangannya ke Rantepao menjadi hari selasa. Berarti aku harus segera
menyusun strategi baru.
Sore ini ada salah satu
anggota Komunitas Pecinta Alam (KPA) dari Kota Kendari main-main ke basecamp
maleo, Bang Silva namanya. Aku di tawari untuk mampir ke Kendari, nanti diajak
nanjak ke Gunung Mekongga yang medannnya cukup asik. Lain kali ya Bang, semoga
suatu hari nanti ada waktu main kesana. Mendengar kisah menarik dari para
sesepuh disini seperti Bang Zul dan Bang Allink tentang Gunung Gandang Dewata,
Gunung Baliase, Gunung Sinaji membuatku suatu saat ingin kembali lagi ke
Sulawesi. Semoga Tuhan mengijinkan amiiiin
Malam ini aku dikenalkan dengan
sesepuh KPA Sikolong dari Desa Bontongan Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang,
Bang Wiwin namanya. Aku berkomunikasi lewat ponsel dengan maksud kira-kira ada
yang bisa mengantarkan mendaki latimojong. Nah kebetulan sekali, esok hari ada
anak-anak dari KPA Sikolong yang berencana camping di Gunung Sesean, aku
diminta menemui mereka dan salah satu dari mereka yang nantinya akan menemaniku
ke latimojong.
11 April 2015
Hari Pasar!!
Hari yang telah ku nanti-nanti,
tentu saja tujuan pertama hari adalah main-main ke Pasar Bolu mengulik beberapa
keunikan tentang Tendong Saleko. Untuk kerbau biasa, ternyata beberapa ada juga
yang didatangkan dari daerah Kupang, Nusa Tenggara Timur. Namun untuk si Tedong
belang, hanya ada di Toraja saja ki. Ada beberapa hal yang masih menjadi
misteri mengapa tidak bisa dikembangkan di daerah lain (aku yang mahasiswa
peternakan saja juga bingung).
Setelah puas mengulik Pasar Bolu,
kini waktunya mengulik beberapa lokasi lain. Kali ini aku akan sewa sepeda motor.
Daripada rental sepeda motor di tempat lain, mending aku sewa kendaraan
anak-anak kan lumayan tuh uangku bisa untuk tambah-tambah acara Kebut Gunung
Sesean 2015. Eh aku malah mau di gratisi, tentu saja aku menolak tawaran
menarik itu karena aku tahu kawan-kawan sedang berusaha keras melakukan
pencarian dana.
Aku kemudikan motor menuju Kete
Kesu, kemudian Londa, dan pulangnya aku berlomba dengan gerimis hujan. Momen
seperti ini paling enak ya nunut ngiyup di warung kopi seputaran Kota Rantepao.
Kete Kesu |
Sesampainya di basecamp, aku
disuruh packing sama Bang Jeckri karena malam ini akan di ajak nanjak Gunung
Sesean sama Bang Allink dan Bang Zul sekalian menemui anak-anak dari KPA
Sikolong yang sudah nanjak duluan sore hari tadi.
Jam 21.00 kami berangkat menuju kampung
terakhir lereng Gunung Sesean, namun baru beberapa menit meninggalkan kota eh
hujan turun lebat. Kami bertiga singgah dulu di sebuah bengkel. Setelah satu
jam berteduh, kami kembali melanjutkan perjalanan. Lagi-lagi hujan kembali
mengguyur dalam perjalanan kami, kini kami berteduh lagi di sebuah pos ronda
tepi jalan.
Rincian biaya
Sewa motor: 100.000
Tiket masuk Kete Kesu: 10.000
Tiket masuk Londa: 10.000
12 April 2015
Kami sempat tidur di pos ronda
hingga jam 2.30 dinihari kami melanjutkan perjalanan karena hujan sudah
benar-benar reda. 3.30 kami memulai pendakian dengan mata yang tak bisa terbuka
sempurna heuheuu 60 menit berlalu, kami mendirikan tenda di pos 5. Sebelum
tidur, kami memasak dulu untuk mengganjal perut supaya tidur pagi ini semakin
lelap.
Suasana didalam tenda yang panas
membangunkan tidur kami, oh rupanya sudah jam 08.00 pagi. Cuaca cukup cerah
sekali, hingga dengan jelas kami dapat melihat Kota Rantepao. Masak-masak lagi
sembari mendongeng tentang gunung-gunung sulawesi yang mayoritas jalurnya masih
liar. Usai sarapan, kami bertemu dengan kawan-kawan dari KPA Sikolong.
Rencananya saat ke latimojong nanti aku akan diantar oleh Bang Adar. Tentu saja
doi mudah sekali diingat karena memiliki rambut gimbal, tak akan lupa ini mah walaupun
namanya tidak dicatat. Okee sampai jumpa lagi nanti di Enrekang ya pren!
Sore itu kami turun dengan
keadaan menerobos hujan ringan, sebelum kembali ke kota aku diajak Bang Allink
dan Bang Zul mampir ke Loko’mata dan Bori’.
Loko' Mata |
Bori' |
13 April 2015
Pagi ini aku akan meninggalkan
Rantepao dengan diantar Bang Allink ke sebuah pool bus yang armadanya melintasi
Pasar Cakke, Enrekang. Terimakasih banyak untuk Bang Jeckri yang memberiku
tempat bermalam. Terimakasih juga untuk Bang Allink, sayang aku tak sempat berpamitan
dengan Bang Zul yang sudah keburu ke kantor. Jam 09.00 bus berangkat, Bang
Wahab salah satu sesepuh dari KPA Sikolong sudah menungguku di Pasar Cakke.
120 menit berlalu, aku turun di
Pasar Cakke. Bang Wahab sudah menunggu disana, langsung saja kami menuju Desa
Bontongan di Kecamatan Baraka menggunakan KLX miliknya. Beberapa saat kemudian
singgahlah aku di rumah Bang Wiwin.
Sore ini kami jalan-jalan ke
basecamp KPA Sikolong yang belum selesai pembangunannya, tapi menurutku begini
saja sudah cukup unik. Mengapa? Bayangkan saja, basecamp yang dikelilingi pohon
durian, salak, mangga, kelapa, rambutan, dengan halaman rumput hijau yang
lumayan luas dan cukup untuk 10 tenda kapasitas 3. Belah durian di sore hari
dengan hawa sejuk angin yang menerpa basecamp dari segala penjuru. Benar-benar
syahduu.
Malam harinya aku dikenalkan
dengan sesepuh yang lain macam Bang Capung, Bang Ardi, Bang Awan, Bang Heman,
dan beberapa veteran maupun junior di KPA Sikolong. Sekalian packing dengan
Bang Adar mempersiapkan pendakian ke gunung latimojong esok hari. Tidak ada
kata darurat apabila kita siap.
Rincian biaya
Rantepao – Enrekang: 50.000
14 April 2015
Pendakian Gunung Latimojong
Pagi-pagi aku sudah stanby di
basecamp, karena rencananya kami akan berangkat pukul 9. Tiba-tiba saja Bang
Wahab memutuskan untuk ikut (mungkin penasaran dengan masakan jawa), asiiik jadinya aku mendaki bareng veteran dan sesepuh.
Tentunya banyak hal yang bisa dipelajari dari pengalaman mereka. Beberapa
logistik perlu ditambah, oke jam 10 kami berangkat menggunakan motor menuju
Desa Karangan, desa terakhir sebelum melakukan pendakian. Jalur menuju kesana?
Katanya ini sudah lumayan bagus lho. Silakan disimak videonya, mantab!
Pos 1 |
Sungai Pos 2 |
Pos 2 |
Sesuai janjinya, Bang Adar
membuatkanku gelang rotan di Pos 2 yang konon sejarahnya dulu para pendaki yang
baru pertama kali mendaki gunung latimojong diberikan gelang rotan oleh warga
sekitar agar tidak tersesat.
15 April 2015
Bang Wahab subuh-subuh sudah
sibuk menyiapkan hidangan untuk sarapan pagi, dan juga bekal untuk santap siang
di Pos 5 sehingga kami tinggal santap saja di perjalanan, hemat waktu karena
hari ini target kami ngecamp persis di bawah puncak (Pos 8/triangulasi).
Jam 08.15 kami melanjutkan
perjalanan, baru beberapa langkah meninggalkan Pos 2 hahahaha aku tersenyum
lebar. Tanjakannya sadis ini karena Bang Adar sudah melaju duluan di barisan
depan, sedangkan Bang Wahab sebagai sweeper di belakangku. Nikmati selangkah
demi selangkah, tetap fokus dan konsentrasi karena salah langkah sedikit bisa
terjun bebas ke jurang. Akar-akar pohon sangatlah membantu, akhirnya sampailah
di Pos 3. Kami terus melanjutkan perjalanan. Diantara Pos 4-5 kami sibuk
mencari yang namanya kalpataru sehingga membuat lupa dengan rasa letih yang
menyergap. Buahnya mirip sekali dengan kedondong, namun bijinya seperti piala penghargaan kalpataru. Tapi harus tetap fokus dan konsentrasi ya, jangan sampai terlalu
asik mencari kalpataru malah tersesat keluar jalur. Jam 11.30 kami sampai di
Pos 5, wuuh waktunya makan siang. Di Pos 5 terdapat sumber air yang letaknya
agak jauh.
Pos 3 |
Pos 4, Bang Wahab in frame |
Bang Adar Gimbal |
Kalpataru |
12.20 kami melanjutkan perjalanan
dengan tenaga yang tersisa namun semangat masih ekstra. Sampai di Pos 6 hujan
mulai mengguyur, perlu lebih hati-hati melahap setiap tanjakan karena medan
menjadi licin. Sampai di Pos 7 kami membawa air lumayan banyak mengingat
disinilah tempat terakhir adanya sumber air.
Dari kejauhan tugu atap sulawesi
sudah terlihat samar-samar karena masih terhalang satu bukit lagi. Aku meminta
untuk ditinggalkan, silakan Bang Wahab melesat duluan mengejar Bang Adar di
barisan depan. Perlahan namun pasti aku melangkah, cuaca yang kembali cerah
membuatku mempercepat langkah kaki yang mulai letih.
16.30 akhirnya aku sampai di
titik tertinggi pulau celebes, alhamdulillah matur sembah nuwun Gusti kulo
saget pinarak ting mriki. Kulihat Bang Adar dan Bang Wahab sudah cukup sibuk menyiapkan
minuman hangat dan membuat perapian. Segera aku pasang tenda, dan bergegas
ganti baju agar tidak kedinginan. Menjelang petang, rombongan yang juga ngecamp
di Pos 2 bersama kami akhirnya datang juga. Lumayan kan nambah-nambah teman
ngobrol. Malam ini langit sangat cerah, sama sekali tidak ada yang menutupi
sekumpulan gemintang.
16 April 2015
Jam 10.00 kami mulai turun
gunung, hujan mulai mengguyur semenjak di Pos 7. Jalanan menjadi licin, hingga
beberapa kali aku hampir terjatuh. Menuruni Pos 3 ke Pos 2 dengan trek basah??
Wow sekali hehehehe jam menunjukkan pukul 13.00 sampailah kami Pos 2. Istirahat
sejenak untuk makan siang. Jangan lupa makan ya biar gak tipes.
Malam itu jam 19.00 kami sudah
kembali sampai di basecamp KPA Sikolong, tadi di jalanan berlumpur aku sama
Bang Wahab sempat jatuh karena ban motor yang kurang menggigit tanah (untung
gak ada yang melihat, jadi cukup kami berdua saja yang menertawakan toh hahaha)
17 April 2015
Hari terakhirku di Desa Bontongan
Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang bersama keluarga besar KPA Sikolong, memang
tak ada pesta yang tak berakhir. Malam ini rencananya akan ada acara
buroncongan karena usut punya usut ternyata kawan-kawan disini pada jago bikin
buroncong.
Malam ini tiba-tiba saja mendadak
demam senam maumere, di prakarsai oleh Bang Wiwin. Lantas Bang Ardi seorang
guru olahraga mempunyai ide bagaimana kalau gerakannya diganti dengan gerakan
kegiatan outdoor macam caving, hiking, snorkeling, climbing, rafting, dll.
Langsung saja di eksekusi, momen seperti tentu saja sayang kalau tidak di
abadikan.
18 April 2015
Jam 9 pagi mobil panther tujuan
Makassar sudah parkir di depan basecamp, akupun berpamitan dengan Keluarga
Besar KPA Sikolong meski tidak semuanya karena beberapa memiliki kesibukan di
pagi hari. Terimaksih telah menemani dalam pendakian ke Gunung Latimojong
dengan Cuma-cuma tanpa dipungut biaya. Terimakasih juga atas jamuan yang
istimewa, semoga suatu hari nanti aku bisa kembali lagi kesini amiiiin.
KPA Sikolong |
Jam 16.30 aku telah sampai di
Terminal Daya, Makassar. Lalu aku naik ojek karena aku ingin segera sampai di
wisma untuk istirahat. Beruntung aku mendapatkan tukang ojek yang masa mudanya
juga penggiat alam, jadi aku mendapatkan harga nego.
Malam ini aku mencoba menginap di
Wisma Jampea yang letaknya tepat di depan Wisma Hostel tempat menginapku dahulu
kala waktu baru sampai di Makassar.
Rincian biaya
Transportasi Baraka – Makassar:
100.000
Ojek Terminal Daya – Jampea:
35.000
Wisma Jampea: 120.000 (termasuk
breakfast, free wifi, Ac, Televisi)
19 April 2015
Jam 09.00 aku check-out dari
wisma, bergegas jalan kaki menuju pelabuhan karena jadwal KM Tidar akan
berangkat pukul 12.00 WITA. Setelah sampai di pelabuhan, rupanya sekarang sudah
tidak bisa lagi beli di bawah tangga kapal resmi dari petugas Pelni. Apa boleh
buat, terpaksa aku harus membeli di agen yang letaknya tidak jauh dari
pelabuhan. Harga yang ditawarkan? 350.000. Aiih mahal sekali karena di website
pelni harganya 280.000. Setelah nego, kami sepakat di harga 325.000. Waktunya
kembali ke tanah jawa!
Alhamdulillah masih mendapatkan
kamar, kali ini penumpang sekitarku berasal dari Salatiga, Bandung, Purwokerto,
dan Purwodadi. Beruntunglah bertemu dengan perantauan dari kota asalku.
Menu makanan KM Tidar ini lebih
hebat lagi, paginya lauk telur, siang lauk nugget ikan dan daging ayam,
malamnya lauk nugget ikan dan daging sapi. Mewah sekali.
Rincian biaya
20 April 2015
Pukul 14.00 aku telah sampai di
Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Bergegas aku menuju Stasiun Surabaya Pasar
Turi menggunakan angkot. Setibanya di stasiun, langsung saja menuju loket tiket
dan membeli tiket KA Kertajaya tujuan Stasiun Ngrombo yang berangkat pukul
21.00.
Lumayan masih memiliki banyak
waktu, malam ini aku ngopi-ngopi di minimarket halaman stasiun bersama sesepuh
Tim Rawon yang tak lain adalah Master Eko. Rindu rasanya, sudah satu tahun tak
jumpa. Aku masih menyimpan keinginan untuk camping ceria di Lembah Kidang.
Sedikit membincangkan Gunung Latimojong, karena Mas Eko sudah lebih dulu
kesana.
Kereta hampir berangkat, aku pun
berpamitan dengan Mas Eko. Semoga bisa main-main ke alam lagi bersama sesepuh.
Masih ada yang menarik selama di gerbong 2, karena penumpang di hadapanku juga turun
di Stasiun Ngrombo, tentu saja pasti putra daerah. Aku cukup serius menyimak
ceritanya tentang Raja Ampat yang Ia kunjungi beberapa bulan lalu sewaktu
mendapatkan tugas proyek di Sorong. Aiih sabar sabar, belum waktunya
meninggalkan jejak di pulau ujung timur Indonesia.
Pukul 00.30 kereta berhenti di
Stasiun Ngrombo, tidak enak rasanya membangunkan orang rumah jam segini. Lebih
baik bermalam dulu di stasiun, barulah esok hari naik angkot menuju ke rumah.
FINISH!!
Rician biaya
Angkot Pelabuhan – Stasiun:
10.000
KA Kertajaya: 90.000
"Aku selalu yakin bahwa dengan membawa niat yang baik maka selama perjalanan juga akan dipayungi kebaikan. Tetaplah melangkah dengan bijaksana, menjangkau gerbang-gerbang nusantara."
ikhsaaaan aku terharu sekali baca tulisan2mu :'(
BalasHapussemoga hobimu membawa berkah y nak,
setiap perjalanan slalu menyisakan crita yg mendalam, tetaplah berpetualang :)
Tentunya masih dengan cara ekonomis
BalasHapusTravelling satu bulan penuh (termasuk lodging, tiket/bea masuk, konsumsi dll) di tahun 2015, total hanya Rp 2 juta? Wah, hebat sekali! Sukses Dyas dengan jalan-jalan Nusantaranya. :D
BalasHapusHeuheuu mendoktrin pelan-pelan bahwasannya melakukan perjalanan ke luar jawa gak harus mahal. Asalken punya banyak waktu :)
Hapus