Selasa, 28 April 2015

34 Hari Jelajah Celebes, Gunung - Laut - Budaya

Akhirnya rasa penasaranku akan keunikan kapal pinisi dan kerbau toraja (tedong saleko) terjawab sudah. Tak hanya itu, aku juga berkesempatan bersua dengan puncak tertinggi di Pulau Sulawesi yang menjadi bagian dari The 7 Summits of Indonesia. Ditambah lagi dapat melihat kemegahan karst terluas kedua di dunia. Selain itu, lidah juga dimanjakan dengan kenikmatan coto makassar, konro, pallubasa, kopi, saraba, dan tentunya buroncong yang menjadi jajanan favoritku. Perjalananku selama 34 hari ini menghabiskan biaya Rp 1.970.500,00. Masih dengan cara ekonomis, beginilah kisah solotrip pertamaku ke luar Pulau Jawa.


Yeeaahh ini merupakan perjalanan sendiri (solotrip) pertamaku ke luar Pulau Jawa. Ide yang muncul pertengahan bulan Desember lalu saat aku melakukan penelitian di kawasan lereng Gunung Slamet tepatnya di daerah Tenjo, Baturraden – Purwoerto (Jawa Tengah) . Kerap aku merasa gelisah dengan imajinasiku saat sedang tidak ada kegiatan. Mungkin memang sudah waktunya untuk melakukan perjalanan lagi ke penjuru nusantara. Aku mulai membuat perencanaan, hhmmm sasaranku kali ini adalah pulau-pulau besar. Dengan anggaran yang sama, aku menyiapkan 2 buah plan. Plan A yaitu menyisir sisi barat Indonesia, meliputi Medan, Sabang, Aceh, Takengon, dan Gunung Kerinci. Sedangkan Plan B yaitu Bulukumba, Bawakaraeng, Toraja, Latimojong, Pare-pare, dan Banjarmasin.
Bulan Februari telah usai, berarti penelitianku harus diakhiri. Kini waktunya menyembuhkan kegelisahan yang sering muncul tiba-tiba. Aku memutuskan untuk memilih plan B karena keadaannya jalur pendakian Gunung Kerinci masih ditutup, mungkin Tuhan memang belum mengijinkan untuk bersua dengan atapnya Pulau Sumatera.

Masih ada waktu satu minggu untuk menggali informasi tentang Sulawesi Selatan, sekaligus membuat perencanaan yang lebih matang karena aku kembali memprioritaskan jalur laut, sehingga waktu harus dimanfaatkan secara maksimal agar sesuai dengan jadwal kapal PELNI. Pelayaran Surabaya – Makassar, kemudian Pare-pare – Balikpapan, dan Banjarmasin – Surabaya perlu aku garis bawahi, jangan sampai salah jadwal atau ketinggalan kapal hehehehe

Perjalanan dimulai!

18 Maret 2015

Beberapa hari yang lalu aku sudah mengantongi tiket kapal KM Labobar tujuan Surabaya – Makassar yang kubeli di Kantor Pelni Cabang Semarang. Kalau di agen-agen tentu harganya sudah melambung kan?. Beberapa peralatan yang dibutuhkan selama perjalanan maupun pendakian sudah rapih masuk ke dalam carrier, pukul 20.00 aku berangkat menuju Stasiun Ngrombo yang jaraknya sekitar 4-5 kilometer dari rumahku. Aku menuju Kota Surabaya dengan kereta api ekonomi Kertajaya gerbong 6 kursi 10C yang berangkat pukul 21.58 dan malam ini aku bermalam di Stasiun Surabaya Pasar Turi.

Rincian biaya

KA Kertajaya: 50.000

19 Maret 2015

Pukul 10.00 aku beranjak menuju Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, kali ini aku memilih menggunakan ojek karena aku mau mampir sejenak ke minimarket untuk membeli beberapa kebutuhan selama perjalanan. Tak lama berselang, sampailah aku di Pelabuhan. Memasuki ruang tunggu khusus penumpang, di dekat pintu masuk sempat ditawari beberapa penyedia jasa asuransi. Tentu saja aku menolaknya karena tiket Pelni ini sudah ada asuransinya. Walaupun KM Labobar berangkat sore hari, namun pukul 12.00 para penumpang sudah diperkenankan naik ke kapal. Alhamdulillah aku masih mendapatkan kamar, tepatnya di deck 5. Interiornya lumayan mewah! Oh ya, terkadang ada beberapa oknum nakal yang sengaja menjual kamar kelas ekonomi dengan harga yang bervariasi. Tolaklah dengan tegas, karena fasilitas kamar ini gratis untuk penumpang kelas ekonomi.

Pukul 15.00 KM Labobar mulai berlayar meninggalkan pelabuhan. beberapa penumpang di sekelilingku berasal dari Solo, Sragen, Probolinggo sehingga aku tak terlalu kesulitan untuk berinteraksi dengan mereka. Salah satu hal yang menarik saat naik kapal Pelni kelas ekonomi yaitu ketika jam makan tiba kami seringkali bertukar lauk pauk yang memang sengaja dibawa sebagai bekal perjalanan. Kalau aku terbiasa membawa abon daging dari rumah, untuk meningkatkan nafsu makan hehehehe. Namun menu makanan di KM Labobar ini tidak terlalu buruk, pagi lauknya telur, siang lauknya ayam, malam lauknya ikan. Tak seperti KM Awu yang aku naiki beberapa waktu lalu, atau bisa jadi Pelni memang sudah berbenah memperbaiki pelayanannya.

Rincian biaya

Ojek Stasiun - Pelabuhan: 25.000
Kapal Pelni KM Labobar: 276.500


KM Labobar


20 Maret 2015

Menjelang senja kapal mulai menepi di Pelabuhan Makassar, selamat petang bumi celebes! Malam ini aku menginap di Wisma Hostel, Jalan Jampea. Mengapa?? Karena letaknya sekitar 2 kilometer dari pelabuhan jadi masih bisa dijangkau dengan jalan kaki. Selain itu di Jalan Jampea juga berdiri kedai kopi phoenam yang sudah cukup tersohor itu. Esok hari aku berencana menikmati pagi di kedai itu, yang letaknya tepat disebelah tempatku bermalam.

Rincian biaya

Wisma Hostel: 100.000 (Harga nego hehehehe)



21 Maret 2015

Bangun tidur ku terus mandi, tidak lupa menggosok gigi, habis mandi kubantu Ibu membersihkan tempat tidurku. Wah salah salah, habis gosok gigi maksudnya bergegas menikmati suasana pagi di kedai kopi. Setelah keluar wisma, ternyata benar saja sudah ramai pengunjung apalagi ini akhir pekan. Lukisan-lukisan tempo dulu yang menghiasi dinding-dinding kedai membawa nuansa masa lampau. Lalu wanita paruh baya menghampiriku.

“Mau pesan apa?” Tanya wanita itu.

“Aku pesan kopi susu dan roti bakar selai sirkaya, mbak” jawabku.

Beberapa menit kemudian pesananku datang. ssrrrrpppp sungguh nikmat menyruput kopi di pagi hari, apalagi di tempat baru. Konon katanya, kopi memiliki kasta di Makassar. Sesibuk apapun anda, sempatkanlah jika di tawari kopi walaupun hanya satu sruputan. Tak baik menolaknya.


Tiba-tiba ponselku berdering, oh ternyata dari Ibuku yang memberi kabar bahwa aku punya Om yang sekarang dinas di Makassar. Setelah mendapatkan nomer ponselnya, lalu aku menghubungi Om ku. Siang ini aku akan dijemput, dan wajib singgah dulu di rumahnya untuk silaturahmi. Berarti aku harus menunda keberangkatanku menuju Bulukumba.

23 Maret 2015

Pukul 10.00 pagi aku sudah berada di Terminal Malengkeri Makassar, suasana terminal yang agak kacau karena tergenang air di beberapa titik. Bus Makassar-Selayar yang jadwal keberangkatan pagi hari ternyata sudah berangkat, akhirnya aku menjatuhkan pilihan untuk naik panther. Sebutan untuk kendaraan-kendaraan minibus yang dijadikan transportasi umum. Satu jam kemudian, aku berangkat menuju Bulukumba dengan 3 penumpang lainnya. Keberuntungan kembali menyelimutiku. Ternyata penumpang yang berada di kursi depan berdomisili Purwodadi juga, namanya Pak Darto yang baru saja merintis usaha bengkel ketok magic di Bulukumba bersama 2 rekannya. Pak Darto menawariku untuk menginap di bengkelnya saja kalau mau, tapi ya gitu dengan kondisi seadanya. Bagiku keadaan seperti apapun gak masalah, lumayan kan dapat gratisan. Aku pun mengiyakan tawaran beliau.

Setelah menempuh 4 jam perjalanan, akhirnya kami sampai di bengkelnya yang letaknya tak jauh dari Terminal Bulukumba. Ya kira-kira sekitar 300 meter. Aku disana diperkenalkan dengan 2 rekan kerjanya yaitu Pak Cipto dan Pak Man.


Makan malam terasa sangat nikmat meski dengan menu alakadarnya. Banyak hal yang bisa dipetik dari pengalaman hidup dari bapak-bapak energik ini. Secuil kisah tentang keluarga baruku di Bulukumba.

Rincian biaya

Transportasi Makassar – Bulukumba: 50.000

24 Maret 2015

Keunikan Perahu Pinisi

Pagi-pagi sekali aku berpamitan untuk melanjutkan perjalanan, mengulik berbagai keunikan tentang perahu pinisi. Rencananya, kamis sore nanti aku akan kembali bermalam di bengkel ini. Pete-pete warna putih mengantarkanku menuju Tanah beru yang menjadi pusatnya pembuatan perahu-perahu pinisi. Tapi nanti dulu, aku ingin menuju Tanjung Bira dan Panrangluhu yang kabarnya juga ada pembuatan perahu pinisi disana. Dari Tanah beru aku melanjutkan perjalanan menuju Tanjung Bira menggunakan pete-pete. Saat hampir memasuki pintu masuk pantai bira, pak sopir memintaku untuk menggeser tas carrier menghimpit jendela agar tidak dikira wisatawan, jadi gak perlu bayar ongkos 10.000. Wah ini, keberuntungan yang sedikit jahat.

Kemudian aku mulai mencari-cari penginapan disana, aku akan menginap selama 2 malam. Pilihanku jatuh pada wisma nur azifa, setelah nego-nego harga akhirnya aku dapat 180.000. Bira panasnya memang luar biasa, katanya disini masih jarang turun hujan. Siang-siang begini memang cocoknya cari tempat teduh pinggir pantai, lalu pasang hammock.

Rincian biaya

Pete-pete Bulukumba – Tanah beru: 10.000
Pete-pete Tanah beru – Bira: 15.000
Penginapan 2 Malam: 180.000 (Harga nego)

Pantai Bira


25 Maret 2015

Mau sewa motor tapi kok sayang duit yaa, karena setelah cek GPS jarak penginapan ke Panrangluhu lumayan dekat, kurang lebih 3 kilometer saja. Yawes jalan kaki saja ya. Eh belum ada setengah jalan, tiba-tiba dapat tumpangan kesana. Lumayan menghemat energi. Sesampainya disana, waah ternyata lagi sepi produksi pinisi. Hanya ada 3 perahu pinisi ukuran kecil yang sedang di garap. Pantai Panrangluhu banyak ditumbuhi pohon kelapa, tak seperti di Pantai Bira yang lumayan sulit cari spot untuk gelantungan. Berdiam diri diterpa angin sempribit.

Pantai Panrangluhu

Ada beberapa hal yang membuat miris di sepanjang bibir pantai ini, banyak sekali sampah plastik yang menumpuk. Sampah di dominasi kemasan minuman yang terbuat dari plastik dan sepertinya masih layak di jual. Aku berimajinasi gimana kalau kawasan ini yang mayoritas warganya berprofesi sebagai nelayan disulap menjadi kawasan kuliner laut dengan memanfaatkan ikan hasil tangkapan sendiri.  Lokasinya juga cukup strategis, dekat dengan Pelabuhan Bira dan Jalan Poros Bulukumba.

Sedangkan di Tanjung Bira sedang banyak aktivitas pembangunan terutama penginapan, mulai dari yang sederhana hingga yang mewah. Hasil jalan kaki masuk gang-gang sempit, aku menemukan sekumpulan sampah menumpuk di beberapa titik maupun menyumbat di saluran air yang kering. Kalau tidak ada tindakan dari pengelola wisata serta masyarakat sekitar, di khawatirkan gradasi warna laut pantai bira ini tak mampu lagi menarik perhatian pengunjung yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi dari sektor pariwisata menjadi terhambat. Selain sampah, air bersih juga menjadi masalah karena mayoritas warga disini airnya itu beli. Tak heran jika setiap hari banyak mobil bak terbuka yang lalu-lalang mengangkut tangki air.

“Bagaimana kalau setiap kawasan wisata di seluruh wilayah nusantara itu diwajibkan memiliki Bank Sampah yang dikelola masyarakat sekitar??”

26 Maret 2015

Pukul 10.00 aku meninggalkan Bira untuk melanjutkan perjalanan menuju Tanah beru. Sedikit berjalan kaki 300 meter dari Jalan Poros Bira, perahu-perahu pinisi berukuran besar berjajar rapi sepanjang bibir pantai. Setelah meminta ijin pada pemilik bengkel pinisi, lalu aku diperkenankan untuk naik ke atas kapal. Konon katanya 2 buah tiang dan 7 buah layar itu memiliki filosofi yaitu 2 buah tiang berasal dari 2 kalimat syahadat dan 7 buah layar berasal dari jumlah surat al-fatihah. Selain itu, 7 buah layar juga menjadi saksi bahwa nenek moyang kita telah berhasil mengarungi 7 samudera besar dunia. Keunikan lain dari perahu pinisi yaitu pada proses pembuatannya yang tiap tahapannya harus dilakukan upacara adat yang berbeda-beda. Mulai dari pencarian kayu, pemotongan, perakitan, peluncuran ke laut hingga pemasangan layar. Pembuatan perahu pinisi tidak memerlukan pola gambar ki, hanya bermodalkan kearifan lokal warisan nenek moyang saja toh? Semoga tradisi ini masih berlanjut hingga masa-masa mendatang.

Perahu yang aku naiki ini harganya tembus sampai 3 Milyar ki, bahannya menggunakan kayu besi yang terkenal kokoh dan kuat. Sebelum kembali ke Bulukumba, santai-santai dulu lah ya di tepian pantai sambil gelantungan. Syahduuu! Sore harinya aku kembali ke bengkelnya Pak Darto, berbagi cerita tentang perjalananku ke Bira dan Tanah beru.

Rincian biaya

Tanjung Bira – Tanah beru: 15.000
Tanah beru – Bulukumba: 10.000







27 Maret 2015

Perjalanan Menuju Lembah Ramma, Lereng Gunung Bawakaraeng

Pagi ini aku harus meninggalkan Bulukumba, tujuan berikutnya yaitu Desa Lembanna yang terletak di kaki Gunung Bawakaraeng. Aku tidak kembali ke Makassar, melainkan melewati jalur Kabupaten Sinjai. Setelah itu nyambung panther menuju Manipi, lalu Manipi – Malino – Lembanna. Perjalanan yang lumayan panjang dan buta informasi tentunya hahahahaa biar naluriku yang menjalankan tugasnya.

Pukul 10.00 aku mulai meninggalkan Terminal Bulukumba, setelah menempuh perjalanan selama 90 menit aku turun di pertigaan ke arah Malino. Nah, ketika turun disini mulai buta informasi karena ternyata tidak ada transportasi yang langsung ke Malino, harus turun di Manipi dulu. Setelah agak lama menunggu, akhirnya ada mobil panther arah Manipi yang melintas. Kebetulan sekali penumpang sebelahku di masa mudanya sering mendaki ke Gunung Bawakaraeng, jadi aku bisa mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya.

60 menit menempuh perjalanan, tiba-tiba saja mobil berhenti karena banyak antrean mobil di depan. Kutengok dari kaca jendela rupanya ada bekas longsoran. Kata pak sopir, longsoran ini sudah terjadi 2 tahun silam namun sampai saat ini belum juga ada perbaikan. Tidak heran, banyak sekali mobil-mobil yang rodanya selip apalagi selepas turun hujan. Setelah sampai di Manipi, tak berapa lama melintas mobil APV yang akan ke Makassar. Memang beginilah wajah transportasi di Sulawesi, mobil-mobil pribadi berplat kuning maupun hitam digunakan untuk mengangkut penumpang. Belum pernah aku melihat bus ukuran kecil melintas di jalanan.

Jalan Poros Sinjai - Manipi

Kemudian aku turun di Pintu Gerbang menuju Desa Lembanna, lalu dilanjutkan dengan naik ojek. Aku sempat merasa bingung.

“Bang, nanti mau menginap di tempat siapa?” tanya abang tukang ojek.

“Basecamp bang” jawabku

“Disini gak ada basecamp bang, menginap di rumah kakak saya saja ya?” balasnya.

“Oke bang, boleh” jawabku lagi.

Setelah sampai di depan rumah, lalu kubayar ongkos ojeknya eh si abang langsung pergi begitu saja tanpa memperkenalkan dulu dengan yang punya rumah. Wah aku jadi sedikit merasa canggung hehehehe bercampur bingung kepayang.

Barang-barang aku taruh di rumah Kak Vika, lalu jalan-jalan keliling kampung sekalian belanja beberapa logistik untuk keperluan selama di Lembah Ramma. Semakin malam semakin ramai saja para pendaki yang berdatangan, ada yang langsung trekking namun ada juga yang singgah dulu di beberapa rumah warga. Kali ini aku tidak akan pergi ke puncak bawakaraeng karena sesuatu hal sstttt rahasia ya.

Rincian biaya

Bulukumba – Sinjai: 25.000
Sinjai – Manipi: 30.000
Manipi – Poros Malino: 15.000
Ojek Poros Malino – Lembanna: 10.000

28 Maret 2015

Perjalanan Menuju Lembah Ramma

Sabtu pagi yang cerah di kaki Gunung Bawakaraeng, pukul 08.00 aku memulai pendakian melewati jalan setapak di belakang sekolah dasar lalu melintasi kebun sayur-sayuran. Setelah itu pemandangan berganti dengan hutan pinus, melewati aliran air. Sesampainya di Pos 1 akhirnya aku baru bertemu dengan yang namanya manusia. Jika ingin ke Lembah Ramma, dari pos 1 ini ambil jalur yang ke kanan. Melewati beberapa aliran sungai (kalau tidak salah 5 sungai) dan naik turun bukit, sampailah di puncak Bukit Talung. Darisinilah Lembah Ramma mulai terlihat, padang rumput luas dengan sapi-sapi berkeliaran. 3,5 jam trekking, akhirnya aku sampai di tempat tujuan.




Lembah Ramma


Bukit Talung
Dalam perjalanan tadi, aku sempat beberapa saat jalan bareng Bang Rizal yang merupakan mahasiswa alumnus Universitas Negeri Makassar. Lelaki ini menarik untuk diikuti karena pernah mendaki Pegunungan Jaya Wijaya di Papua, Ia sempatkan main-main kesana sewaktu menjadi relawan pengajar di Kota Sorong. Tentu saja aku ingin mendengar kisah pendakiannya, yaa barangkali dengan menyimak kisahnya suatu saat nanti aku bisa tertular meninggalkan jejak juga di salju abadi yang kabarnya akan menghilang beberapa tahun mendatang.

Di Lembah Ramma juga terdapat sumber air, jadi yang ingin berlama-lama disini tak perlu khawatir. Saat sabtu malam, ada juga beberapa warga sekitar yang mencoba menambah penghasilan dengan berjualan snack maupun kebutuhan lainnya disini. Mereka menenteng 2 ransel handmade yang berisi barang dagangan, biasanya menjelang petang mereka baru berangkat dari Desa Lembanna.

29 Maret 2015

Waktunya kembali ke Desa Lembanna, malam ini aku bermalam lagi di rumah Kak Vika barulah esok harinya aku kembali ke Makassar karena disuruh mampir lagi ke rumah Om Sugi.

Rincian biaya

Uang sukarela: 50.000 (jangan menolak jika ditawari makan ya, gak baik menolak rejeki apalagi lauknya opor ayam wkwkwkwkwk)
Transportasi Lembanna – Makassar: 40.000
Pete-pete: 5.000

02 April 2015

Menengok Kemegahan Karst Maros

Beberapa hari lalu aku sudah janjian dengan seorang kawan yang kini sedang bekerja di wilayah Maros, namanya Dimas. Langsung saja pagi ini aku berangkat menuju kesana. Tidak sulit menuju kesana, cukup naik pete-pete ke arah Terminal Daya. Lalu sambung pete-pete lagi arah Pangkep. Aku turun di Macopa, tepatnya sebelum kota Maros. Karena Dimas baru selesai kerja jam 4 sore, maka aku mencari warung kopi untuk membunuh waktu.

Sore itu Dimas datang menjemputku, dan malam ini aku menginap di Mess-nya. Nah keesokan harinya barulah menjelajahi kemegahan alam Maros yang bertabur nuansa masa lampau. Pasukan bertambah lagi dengan bergabungnya Yudha yang merupakan rekan kerjanya, lumayan bisa share cost.

Rincian biaya

Pete-pete Central – Terminal Daya: 5.000
Pete-pete Terminal Daya – Macopa: 7.000

03 April 2015

Lokasi pertama yang kami kunjungi adalah Leyang-leyang yang masih termasuk kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Disini terdapat lukisan tangan purba di dinding goa yang konon tertua di dunia. Tak hanya itu, karst membentang luas di berbagai sudut. Setelah keliling-keliling, waktunya berwisata rohani menjalankan kewajiban sholat jum’at di masjid terdekat.



(dari kiri) dimas, aku, yudha

Usai menjalankan ibadah, kami beranjak ke destinasi berikutnya yaitu Rammang-rammang. Akses menuju kesana juga sangat mudah, baik menggunakan transportasi umum maupun kendaraan pribadi karena sangat dekat dengan Jalan Poros Pangkep. Perjalanan yang menyenangkan menyusuri sungai pute berpagar karst-karst raksasa yang konon katanya terluas kedua di dunia. Perjalanan semakin seru ketika gerimis mulai turun, tak ada payung apalagi jas hujan. Cukup mempercayakan pada caping dengan diameter yang tak terlalu besar. Perahu kayu dengan mesin tempel perlahan semakin mendekati Kampung Berua yang boleh dibilang seperti rest area berpagar hutan batu. Kalau berpapasan dengan perahu lain, goyangannya aduhai mantablah kalau nyebur. Orangnya gakpapa, tapi kameranya itu hahahaha.







Kemudian kami menuju ke destinasi berikutnya yaitu Telaga Bidadari, konon katanya dulu tempat ini sering menjadi jatuhnya ujung pelangi yang menjadi jembatan para bidadari untuk mandi disini. Membutuhkan jalan kaki sekitar 20 menit, jangan malu bertanya ya agar tidak tersesat di jalan. Mungkin kedepannya disini perlu di beri petunjuk arah menuju telaga.


Hari mulai gelap, badan mulai dingin karena pakaian yang agak basah. PTB menjadi tempat yang cocok untuk menikmati senja. Apa itu PTB? Katanya Pantai Tak Berombak yang letaknya di pusat kota Maros. Kawasan kuliner yang ramai pengunjung saat sore hingga malam hari. Wedang saraba cukup ampuh ini untuk mengusir dingin.


pantai tak berombak, maros

Malam ini aku tidak langsung menuju Rantepao karena lagi-lagi aku harus kembali ke Makassar ke rumah Om Sugi. Tak perlu khawatir, transportasi Maros – Makassar masih tersedia walaupun hari sudah gelap. Aku cukup terpesona dengan perilaku jujur sopir-sopir transportasi di kawasan Sulawesi Selatan. Mereka tak pernah menaikkan tarif angkot secara sepihak meskipun terlihat dari tampilanku adalah pelancong. Kalau 5.000 ya 5.000 ribu. Selalu sesuai dengan data yang ku kantongi. Transportasi Sulawesi Selatan Jujur dan Terpercaya!!

Rincian biaya

Tiket Masuk Leyang-leyang: 10.000
Parkir motor: 2.000
Sewa perahu 200.000/3 orang: 50.000
Pather Maros – Makassar: 20.000
Pete-pete: 5.000

05 April 2015

Aku mendengar kabar bahwasannya setiap minggu pagi jalanan di kawasan Pantai Losari ini ditutup untuk acara car free day, banyak juga orang-orang yang berjualan. Wiih menarik! Pantang dilewatkan suasana semacam ini. Pagi ini sekitar pukul 06.30 aku berangkat dari Cendrawasih menuju kawasan Pantai Losari, tentu saja dengan armada favoritku yaitu pete-pete. Jauh dekat cukup lima ribu saja toh, bonusnya musik bugis yang tak ku mengerti. Karena jalan sudah ditutup jadi aku turun di sekitaran jalan utama. Suasana yang ramai layaknya car free day di kota lain pada umumnya. Beberapa komunitas berkumpul, pedagang makanan maupun barang-barang lainnya berjajar rapi, mahasiswa pun tak mau kalah lalu-lalang berjualan biasanya dalam rangka mencari dana untuk sebuah event.


Ku jejaki jalanan sepanjang anjungan losari, namun beberapa saat langkahku terhenti mencium aroma jajanan favoritku. Ahaaa di depan sana ada penjual kue buroncong, langsung saja aku menuju kesana. Tapi antree dulu ya, banyak dikepung pembeli ki.

Sebelum pulang, aku menyempatkan diri untuk donor darah karena dari kejauhan tampak mobil PMI sedang parkir di taman kota. Sudah lama juga bolos donor darah, mungkin sekitar satu tahunan hehehe maklum saja jarang banget ke kampus (tua di jalanan).

Malam ini terasa sangat panjang karena ngobrol-ngobrol dengan Om Sugi sembari ngopi di ruang tamu hingga larut malam, bercerita tentang keluarga dari Ibuku. Namun ada topik yang membuatku cuma bisa mrenges yaitu tentang sarjana dan pernikahan. Hahaha campur aduk rasanya, padahal rencanku akan menikah di usia 27 tahun. “24 tahun sebenarnya kamu sudah terlambat” sahut Om Sugi. “Wah gimana ya Om, aku masih ingin meninggalkan jejak di Borneo, Maluku, dan Papua” balasku sambil tertawa. Waktunya tidur ya, nanti rahasiaku terbongkar.

Rincian biaya

Pete-pete: 5.000

06 April 2015

Malam ini aku akan meninggalkan Makassar beserta nikmatnya kue buroncong, tidak lupa berpamitan pada Om Sugi sekeluarga karena rencananya aku tidak akan kembali ke Makassar lagi tapi melakukan pelayaran dari Pare-pare ke Balikpapan lalu menuju Banjarmasin dan Palangkaraya. Aku sangat tertarik dengan pasar terapung lok baintan maupun martapura serta penangkaran orang utan.

Waktu berjalan begitu cepat, rupanya aku di beri gratisan tiket ke Rantepao sama Om Sugi alhamdulillah makasih om. Kami berpisah di Pool Bus Litha & Co. Bus berangkat pukul 22.00. Tak banyak yang bisa aku rekam selama perjalanan, karena aku manfaatkan untuk istirahat agar tetap fit sebagai bekal mendaki atapnya pulau sulawesi.

Rincian biaya

Bus Makassar – Rantepao 150.000 (Gratis)

07 April 2015

Pagi-pagi sekali sekitar pukul 06.00 aku sampai di Pool Bus Litha & Co Rantepao, tepatnya di kawasan pertokoan. Browsing dulu penginapan yang murah tapi letaknya strategis, beberapa nama sudah aku kantongi. Tapi sebaiknya aku cari sarapan dulu, biar kecerdasan dan ketangkasan tidak menurun karena lapar. Samar-samar terdengar penjual bubur ayam berbicara dengan kosakata jawa, sarapan bubur saja sudah. Benar saja, beliau asli Solo. Yah lumayan dekatlah dengan Purwodadi kota kelahiranku. Iseng-iseng aku photo kawasan sekitar lalu aku tweet ke sebuah akun resmi milik Pemerintah Kabupaten Toraja Utara (sebelum melakukan trip ini, aku sudah sempat saling berbalas email untuk mencari tahu info hari pasar di Pasar Bolu). Weladalah langsung di respon dan adminnya akan segera menemuiku. Terimakasih twitter!!

Pengendara Mio putih berhenti di hadapanku, Bang Zul namanya. Usut punya usut ternyata Bang Zul ini anak Kaskus OANC. Kebetulan akhir pekan ini Dia mau ke Latimojong juga dalam rangka mengantar teman dari Semarang yang kabarnya akhir pekan ini akan sampai di Rantepao, perjalanan dari Palu. Hari pasar juga jatuh di hari sabtu, wah sepertinya aku harus berlama-lama di Toraja. Aku pun memutuskan untuk membatalkan Jelajah Borneo. Keberuntunganku belum berhenti sampai disitu, rencana aku mau di drop menginap di rumah kawannya. Namun karena pagi ini sang empunya rumah lagi sibuk, aku menginap satu malam dulu di Wisma Maria 1. Setelah selesai check-in, Bang Zul bergegas menuju kantornya dan aku memanfaatkan waktu untuk beristirahat.

Sore ini, aku di ajak Bang Zul main-main ke Maleo Outdoor Shop yang tak lain adalah rumah Bang Jeckri yang juga sering dijadikan tempat ngumpul para pemuda penggiat alam Rantepao. Disini aku bertemu dengan Bang Jeckri dan Bang Allink, katanya aku lagi di carikan kuota untuk rafting hari minggu besok di sungai sa’dan bersama pemerintah setempat dalam rangka menghimbau masyarakat agar tidak membuang sampah di sungai. Wew! Menarik sekali tawarannya! Kalau masih ada waktu, sebelum ke Latimojong mau di ajak nanjak ke Gunung Sesean yang menjadi tempat favorit pemuda disini kala pindah tidur.

Rincian biaya

Wisma Maria 1: 115.000 (termasuk sarapan, free wifi)





08 April 2015

Selesai sarapan, aku bergegas packing lalu check-out dari wisma. Lalu berjalan kaki menuju rumah Bang Jeckri yang jaraknya sekitar 1 kilometer dari wisma. Setelah sampai di rumah Bang Jeckrie, tampak ramai sekali siang ini. Oh rupanya anak-anak PPAI Rajawali sedang sibuk mempersiapkan acara Kebut Bersih Gunung Sesean 2015 yang akan dilaksanankan tanggal 23-25 April 2015 menyambut hari ulangtahun PPAI Rajawali ke-25.

09 April 2015

Tadi malam, Bang Jeckri kedatangan tamu yang tak lain adalah kakak iparnya yaitu Om Iwan bersama 2 kawannya Bang Doni dan Bang Mamat. Aku jadi mudah kenal dengan mereka karena kebetulan Om Iwan juga tinggal di daerah Cendrawasih, Makassar. Kalau Bang Doni ini asli Flores, ya aku lumayan tahu tentang beberapa hal di Flores berkat perjalanan kesana bersama Affan dan Dedi beberapa bulan yang lalu.

Pagi ini Om Iwan mengajakku jalan-jalan ke Bukit Tambolang, disana merupakan gardu pandang untuk menyaksikan pemandangan Kota Rantepao dari ketinggian. Tak hanya itu, di Tambolang terdapat kuburan batu juga. Akses menuju kesana tidaklah sulit, jalannya sudah bagus. Kemudian setelah membayar tiket, kami mulai menaiki anak tangga sampai ke atas bukit. Bang Doni yang bertubuh ekstra gempal tampak kewalahan, kehabisan nafas. Semangat bang, sampai puncak di jamin langsung kurus hehehehe






Lalu kami berjalan-jalan di kawasan pertokoan karena Bang Doni ingin membeli beberapa oleh-oleh. Kemudian kami berpisah, Om Iwan dkk akan melanjutkan perjalanan ke Makassar, sedangkan aku siang ini ingin mengunjungi kedai kopi yang sudah direkomendasikan oleh Marcel tadi malam, jaraknya lumayan membuat badan berkeringat yaitu sekitar 2,5 kilometer dari Kota Rantepao. Jalan kaki biar sehat hehehehe

Tak disangka-sangka, setelah beberapa menit berjalan ada motor vario yang berhenti mendadak di hadapanku. Oh rupanya Marcel, akhirnya dia mengantarkanku menuju kedai kopi tersebut. Ku tawari dia untuk ngopi bersama, tapi sayang dia ada urusan harus mengantar adiknya cukur rambut. Oke terimakasih tumpangannya kawan. Warung Kopi Toraja nama kedainya, terkenal dengan Kopi Arabika Awan dan Sapan. Kopi Lanang juga tentunya. Pemiliknya adalah Pak Sulaiman, atau biasa dipanggil Bapa Eric. Begitulah budaya masyarakat Toraja, Eric adalah nama anak tertua dari Pak Sulaiman. Dipanggil Bapa Eric memiliki maksud selalu mengingatkan bahwa Pak Sulaiman ini sudah memiliki tanggungjawab untuk menghidupi anak dan keluarganya. Sekiranya begitulah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.



Bapa Eric ini asyik di ajak ngobrol-ngobrol, tentang kopi maupun alam karena sebelum pensiun beliau bekerja di Lingkungan Hidup. Kopi Arabika Awan dan Sapan? Ya, Awan dan Sapan adalah nama sebuah desa dimana kopi itu di tanam. Dengan topografi yang berbeda tentunya menciptakan rasa kopi yang berbeda pula. Apalagi Bapa Eric masih mengolah bijih kopi dengan cara tradisional, produksinya juga masih sedikit hanya sekitar 3-4 kilogram saja per hari karena tungku handmade untuk menyangrai kopi hanya berkapasitas 1 kilogram saja. Ini juga bermaksud untuk tetap mempertahankan kualitas kopinya. Kalau ingin tahu lebih dalam, cek saja Facebooknya: Warung Kopi Toraja atau datang langsung ke Toraja biar lebih greget.

10 April 2015

Aku bersama Marcel diajak Bang Jeckri cari bambu untuk kayu bakar di daerah Sombe tepatnya. Setelah mobil muatan terparkir, kami berjalan menyusuri persawahan. Wow,, mengambil bambu di kemiringan ini sepertinya membutuhkan tenaga Superman. Benar saja, berat bener ki. Kami bertiga berusaha sekuat tenaga namun bambu tak goyah sedikitpun. Namun ada pemuda sekitar yang masih kerabat Bang Jeckri, diangkat sendirian itu bambu. Aiihh aku dibuat heran sekaligus geleng-geleng kepala. Akihrnya kami cuma mampu mengambil bambu yang posisinya tidak sulit, lalu dipotong-potong menjadi beberapa bagian kemudian diangkut ke dalam mobil. Sebelum pulang, kami makan bersama di rumah pemuda yang kuat tadi (aku lupa namanya, maklum saja sepanjang perjalanan aku harus menghafal banyak nama. Yang tidak tercatat ya dijamin 90% lupa). Nikmatnya, nasi yang masih mengepul panas dengan lauk ikan sambal ijo. Tenaga kembali pulih ini.




Kabar kurang menyenangkan, ternyata acara rafting ditunda minggu depan dan kawan Bang Zul menunda kedatangannya ke Rantepao menjadi hari selasa. Berarti aku harus segera menyusun strategi baru.

Sore ini ada salah satu anggota Komunitas Pecinta Alam (KPA) dari Kota Kendari main-main ke basecamp maleo, Bang Silva namanya. Aku di tawari untuk mampir ke Kendari, nanti diajak nanjak ke Gunung Mekongga yang medannnya cukup asik. Lain kali ya Bang, semoga suatu hari nanti ada waktu main kesana. Mendengar kisah menarik dari para sesepuh disini seperti Bang Zul dan Bang Allink tentang Gunung Gandang Dewata, Gunung Baliase, Gunung Sinaji membuatku suatu saat ingin kembali lagi ke Sulawesi. Semoga Tuhan mengijinkan amiiiin

Malam ini aku dikenalkan dengan sesepuh KPA Sikolong dari Desa Bontongan Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang, Bang Wiwin namanya. Aku berkomunikasi lewat ponsel dengan maksud kira-kira ada yang bisa mengantarkan mendaki latimojong. Nah kebetulan sekali, esok hari ada anak-anak dari KPA Sikolong yang berencana camping di Gunung Sesean, aku diminta menemui mereka dan salah satu dari mereka yang nantinya akan menemaniku ke latimojong.

11 April 2015

Hari Pasar!!

Hari yang telah ku nanti-nanti, tentu saja tujuan pertama hari adalah main-main ke Pasar Bolu mengulik beberapa keunikan tentang Tendong Saleko. Untuk kerbau biasa, ternyata beberapa ada juga yang didatangkan dari daerah Kupang, Nusa Tenggara Timur. Namun untuk si Tedong belang, hanya ada di Toraja saja ki. Ada beberapa hal yang masih menjadi misteri mengapa tidak bisa dikembangkan di daerah lain (aku yang mahasiswa peternakan saja juga bingung).



Tedong Saleko, 900 juta

600 juta
Setelah puas mengulik Pasar Bolu, kini waktunya mengulik beberapa lokasi lain. Kali ini aku akan sewa sepeda motor. Daripada rental sepeda motor di tempat lain, mending aku sewa kendaraan anak-anak kan lumayan tuh uangku bisa untuk tambah-tambah acara Kebut Gunung Sesean 2015. Eh aku malah mau di gratisi, tentu saja aku menolak tawaran menarik itu karena aku tahu kawan-kawan sedang berusaha keras melakukan pencarian dana.

Aku kemudikan motor menuju Kete Kesu, kemudian Londa, dan pulangnya aku berlomba dengan gerimis hujan. Momen seperti ini paling enak ya nunut ngiyup di warung kopi seputaran Kota Rantepao.





Kete Kesu

Londa


Sesampainya di basecamp, aku disuruh packing sama Bang Jeckri karena malam ini akan di ajak nanjak Gunung Sesean sama Bang Allink dan Bang Zul sekalian menemui anak-anak dari KPA Sikolong yang sudah nanjak duluan sore hari tadi.

Jam 21.00 kami berangkat menuju kampung terakhir lereng Gunung Sesean, namun baru beberapa menit meninggalkan kota eh hujan turun lebat. Kami bertiga singgah dulu di sebuah bengkel. Setelah satu jam berteduh, kami kembali melanjutkan perjalanan. Lagi-lagi hujan kembali mengguyur dalam perjalanan kami, kini kami berteduh lagi di sebuah pos ronda tepi jalan.

Rincian biaya

Sewa motor: 100.000
Tiket masuk Kete Kesu: 10.000
Tiket masuk Londa: 10.000

12 April 2015

Kami sempat tidur di pos ronda hingga jam 2.30 dinihari kami melanjutkan perjalanan karena hujan sudah benar-benar reda. 3.30 kami memulai pendakian dengan mata yang tak bisa terbuka sempurna heuheuu 60 menit berlalu, kami mendirikan tenda di pos 5. Sebelum tidur, kami memasak dulu untuk mengganjal perut supaya tidur pagi ini semakin lelap.





Suasana didalam tenda yang panas membangunkan tidur kami, oh rupanya sudah jam 08.00 pagi. Cuaca cukup cerah sekali, hingga dengan jelas kami dapat melihat Kota Rantepao. Masak-masak lagi sembari mendongeng tentang gunung-gunung sulawesi yang mayoritas jalurnya masih liar. Usai sarapan, kami bertemu dengan kawan-kawan dari KPA Sikolong. Rencananya saat ke latimojong nanti aku akan diantar oleh Bang Adar. Tentu saja doi mudah sekali diingat karena memiliki rambut gimbal, tak akan lupa ini mah walaupun namanya tidak dicatat. Okee sampai jumpa lagi nanti di Enrekang ya pren!

Sore itu kami turun dengan keadaan menerobos hujan ringan, sebelum kembali ke kota aku diajak Bang Allink dan Bang Zul mampir ke Loko’mata dan Bori’.

Loko' Mata
Bori'
13 April 2015

Pagi ini aku akan meninggalkan Rantepao dengan diantar Bang Allink ke sebuah pool bus yang armadanya melintasi Pasar Cakke, Enrekang. Terimakasih banyak untuk Bang Jeckri yang memberiku tempat bermalam. Terimakasih juga untuk Bang Allink, sayang aku tak sempat berpamitan dengan Bang Zul yang sudah keburu ke kantor. Jam 09.00 bus berangkat, Bang Wahab salah satu sesepuh dari KPA Sikolong sudah menungguku di Pasar Cakke.

120 menit berlalu, aku turun di Pasar Cakke. Bang Wahab sudah menunggu disana, langsung saja kami menuju Desa Bontongan di Kecamatan Baraka menggunakan KLX miliknya. Beberapa saat kemudian singgahlah aku di rumah Bang Wiwin.

Sore ini kami jalan-jalan ke basecamp KPA Sikolong yang belum selesai pembangunannya, tapi menurutku begini saja sudah cukup unik. Mengapa? Bayangkan saja, basecamp yang dikelilingi pohon durian, salak, mangga, kelapa, rambutan, dengan halaman rumput hijau yang lumayan luas dan cukup untuk 10 tenda kapasitas 3. Belah durian di sore hari dengan hawa sejuk angin yang menerpa basecamp dari segala penjuru. Benar-benar syahduu.



Malam harinya aku dikenalkan dengan sesepuh yang lain macam Bang Capung, Bang Ardi, Bang Awan, Bang Heman, dan beberapa veteran maupun junior di KPA Sikolong. Sekalian packing dengan Bang Adar mempersiapkan pendakian ke gunung latimojong esok hari. Tidak ada kata darurat apabila kita siap.

Rincian biaya

Rantepao – Enrekang: 50.000

14 April 2015

Pendakian Gunung Latimojong

Pagi-pagi aku sudah stanby di basecamp, karena rencananya kami akan berangkat pukul 9. Tiba-tiba saja Bang Wahab memutuskan untuk ikut (mungkin penasaran dengan masakan jawa), asiiik jadinya aku mendaki bareng veteran dan sesepuh. Tentunya banyak hal yang bisa dipelajari dari pengalaman mereka. Beberapa logistik perlu ditambah, oke jam 10 kami berangkat menggunakan motor menuju Desa Karangan, desa terakhir sebelum melakukan pendakian. Jalur menuju kesana? Katanya ini sudah lumayan bagus lho. Silakan disimak videonya, mantab!






11.30 kami sampai di Desa Karangan, lalu jam 12.00 kami memulai perjalanan melintasi kebun kopi. Baru permulaan jalannya sudah nanjak saja, pantang pulang sebelum menang!. Terik matahari tak menyurutkan semangatku, 1 jam berlalu sampailah kami di Pos 1. Rehat sejenak menghela nafas, kemudian kami melanjutkan perjalanan. Nah kami mulai memasuki kawasan hutan lebat dengan jalan yang bervariasi antara tanjakan dan turunan karena Pos 2 ini tepat di tepi sungai. Jam 14.00 kami sampai di Pos 2, Bang Wahab memberikan penawaran mau lanjut atau camp disini? Aku pun memilih untuk camp disini, dengan konsekuensi besok harus ekstra kerja keras. Baiklah, aku harus makan banyak tampaknya dan istirahat cukup tentunya agar tetap fit. Menu kami sore ini adalah nasi, telur goreng, abon, dan sayur jagung kubis daun bawang, cukup bergizi dan berkalori.

Pos 1

Sungai Pos 2
Pos 2
Sesuai janjinya, Bang Adar membuatkanku gelang rotan di Pos 2 yang konon sejarahnya dulu para pendaki yang baru pertama kali mendaki gunung latimojong diberikan gelang rotan oleh warga sekitar agar tidak tersesat.

15 April 2015

Bang Wahab subuh-subuh sudah sibuk menyiapkan hidangan untuk sarapan pagi, dan juga bekal untuk santap siang di Pos 5 sehingga kami tinggal santap saja di perjalanan, hemat waktu karena hari ini target kami ngecamp persis di bawah puncak (Pos 8/triangulasi).

Perjalanan Pos 2 - Pos 3

Jam 08.15 kami melanjutkan perjalanan, baru beberapa langkah meninggalkan Pos 2 hahahaha aku tersenyum lebar. Tanjakannya sadis ini karena Bang Adar sudah melaju duluan di barisan depan, sedangkan Bang Wahab sebagai sweeper di belakangku. Nikmati selangkah demi selangkah, tetap fokus dan konsentrasi karena salah langkah sedikit bisa terjun bebas ke jurang. Akar-akar pohon sangatlah membantu, akhirnya sampailah di Pos 3. Kami terus melanjutkan perjalanan. Diantara Pos 4-5 kami sibuk mencari yang namanya kalpataru sehingga membuat lupa dengan rasa letih yang menyergap. Buahnya mirip sekali dengan kedondong, namun bijinya seperti piala penghargaan kalpataru. Tapi harus tetap fokus dan konsentrasi ya, jangan sampai terlalu asik mencari kalpataru malah tersesat keluar jalur. Jam 11.30 kami sampai di Pos 5, wuuh waktunya makan siang. Di Pos 5 terdapat sumber air yang letaknya agak jauh.

Pos 3
Pos 4, Bang Wahab in frame

Bang Adar Gimbal
Kalpataru
12.20 kami melanjutkan perjalanan dengan tenaga yang tersisa namun semangat masih ekstra. Sampai di Pos 6 hujan mulai mengguyur, perlu lebih hati-hati melahap setiap tanjakan karena medan menjadi licin. Sampai di Pos 7 kami membawa air lumayan banyak mengingat disinilah tempat terakhir adanya sumber air.

Dari kejauhan tugu atap sulawesi sudah terlihat samar-samar karena masih terhalang satu bukit lagi. Aku meminta untuk ditinggalkan, silakan Bang Wahab melesat duluan mengejar Bang Adar di barisan depan. Perlahan namun pasti aku melangkah, cuaca yang kembali cerah membuatku mempercepat langkah kaki yang mulai letih.



16.30 akhirnya aku sampai di titik tertinggi pulau celebes, alhamdulillah matur sembah nuwun Gusti kulo saget pinarak ting mriki. Kulihat Bang Adar dan Bang Wahab sudah cukup sibuk menyiapkan minuman hangat dan membuat perapian. Segera aku pasang tenda, dan bergegas ganti baju agar tidak kedinginan. Menjelang petang, rombongan yang juga ngecamp di Pos 2 bersama kami akhirnya datang juga. Lumayan kan nambah-nambah teman ngobrol. Malam ini langit sangat cerah, sama sekali tidak ada yang menutupi sekumpulan gemintang.






16 April 2015



Jam 10.00 kami mulai turun gunung, hujan mulai mengguyur semenjak di Pos 7. Jalanan menjadi licin, hingga beberapa kali aku hampir terjatuh. Menuruni Pos 3 ke Pos 2 dengan trek basah?? Wow sekali hehehehe jam menunjukkan pukul 13.00 sampailah kami Pos 2. Istirahat sejenak untuk makan siang. Jangan lupa makan ya biar gak tipes.

Malam itu jam 19.00 kami sudah kembali sampai di basecamp KPA Sikolong, tadi di jalanan berlumpur aku sama Bang Wahab sempat jatuh karena ban motor yang kurang menggigit tanah (untung gak ada yang melihat, jadi cukup kami berdua saja yang menertawakan toh hahaha)

17 April 2015

Hari terakhirku di Desa Bontongan Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang bersama keluarga besar KPA Sikolong, memang tak ada pesta yang tak berakhir. Malam ini rencananya akan ada acara buroncongan karena usut punya usut ternyata kawan-kawan disini pada jago bikin buroncong.

Malam ini tiba-tiba saja mendadak demam senam maumere, di prakarsai oleh Bang Wiwin. Lantas Bang Ardi seorang guru olahraga mempunyai ide bagaimana kalau gerakannya diganti dengan gerakan kegiatan outdoor macam caving, hiking, snorkeling, climbing, rafting, dll. Langsung saja di eksekusi, momen seperti tentu saja sayang kalau tidak di abadikan.

18 April 2015

Jam 9 pagi mobil panther tujuan Makassar sudah parkir di depan basecamp, akupun berpamitan dengan Keluarga Besar KPA Sikolong meski tidak semuanya karena beberapa memiliki kesibukan di pagi hari. Terimaksih telah menemani dalam pendakian ke Gunung Latimojong dengan Cuma-cuma tanpa dipungut biaya. Terimakasih juga atas jamuan yang istimewa, semoga suatu hari nanti aku bisa kembali lagi kesini amiiiin.

KPA Sikolong
Jam 16.30 aku telah sampai di Terminal Daya, Makassar. Lalu aku naik ojek karena aku ingin segera sampai di wisma untuk istirahat. Beruntung aku mendapatkan tukang ojek yang masa mudanya juga penggiat alam, jadi aku mendapatkan harga nego.

Malam ini aku mencoba menginap di Wisma Jampea yang letaknya tepat di depan Wisma Hostel tempat menginapku dahulu kala waktu baru sampai di Makassar.

Rincian biaya

Transportasi Baraka – Makassar: 100.000
Ojek Terminal Daya – Jampea: 35.000
Wisma Jampea: 120.000 (termasuk breakfast, free wifi, Ac, Televisi)

19 April 2015

Jam 09.00 aku check-out dari wisma, bergegas jalan kaki menuju pelabuhan karena jadwal KM Tidar akan berangkat pukul 12.00 WITA. Setelah sampai di pelabuhan, rupanya sekarang sudah tidak bisa lagi beli di bawah tangga kapal resmi dari petugas Pelni. Apa boleh buat, terpaksa aku harus membeli di agen yang letaknya tidak jauh dari pelabuhan. Harga yang ditawarkan? 350.000. Aiih mahal sekali karena di website pelni harganya 280.000. Setelah nego, kami sepakat di harga 325.000. Waktunya kembali ke tanah jawa!

Alhamdulillah masih mendapatkan kamar, kali ini penumpang sekitarku berasal dari Salatiga, Bandung, Purwokerto, dan Purwodadi. Beruntunglah bertemu dengan perantauan dari kota asalku.
Menu makanan KM Tidar ini lebih hebat lagi, paginya lauk telur, siang lauk nugget ikan dan daging ayam, malamnya lauk nugget ikan dan daging sapi. Mewah sekali.

Rincian biaya

Kapal KM Tidar: 325.000






20 April 2015

Pukul 14.00 aku telah sampai di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Bergegas aku menuju Stasiun Surabaya Pasar Turi menggunakan angkot. Setibanya di stasiun, langsung saja menuju loket tiket dan membeli tiket KA Kertajaya tujuan Stasiun Ngrombo yang berangkat pukul 21.00.

Lumayan masih memiliki banyak waktu, malam ini aku ngopi-ngopi di minimarket halaman stasiun bersama sesepuh Tim Rawon yang tak lain adalah Master Eko. Rindu rasanya, sudah satu tahun tak jumpa. Aku masih menyimpan keinginan untuk camping ceria di Lembah Kidang. Sedikit membincangkan Gunung Latimojong, karena Mas Eko sudah lebih dulu kesana.


Kereta hampir berangkat, aku pun berpamitan dengan Mas Eko. Semoga bisa main-main ke alam lagi bersama sesepuh. Masih ada yang menarik selama di gerbong 2, karena penumpang di hadapanku juga turun di Stasiun Ngrombo, tentu saja pasti putra daerah. Aku cukup serius menyimak ceritanya tentang Raja Ampat yang Ia kunjungi beberapa bulan lalu sewaktu mendapatkan tugas proyek di Sorong. Aiih sabar sabar, belum waktunya meninggalkan jejak di pulau ujung timur Indonesia.

Pukul 00.30 kereta berhenti di Stasiun Ngrombo, tidak enak rasanya membangunkan orang rumah jam segini. Lebih baik bermalam dulu di stasiun, barulah esok hari naik angkot menuju ke rumah. FINISH!!

Rician biaya

Angkot Pelabuhan – Stasiun: 10.000

KA Kertajaya: 90.000

"Aku selalu yakin bahwa dengan membawa niat yang baik maka selama perjalanan juga akan dipayungi kebaikan. Tetaplah melangkah dengan bijaksana, menjangkau gerbang-gerbang nusantara."

4 komentar:

  1. ikhsaaaan aku terharu sekali baca tulisan2mu :'(
    semoga hobimu membawa berkah y nak,
    setiap perjalanan slalu menyisakan crita yg mendalam, tetaplah berpetualang :)

    BalasHapus
  2. Tentunya masih dengan cara ekonomis

    BalasHapus
  3. Travelling satu bulan penuh (termasuk lodging, tiket/bea masuk, konsumsi dll) di tahun 2015, total hanya Rp 2 juta? Wah, hebat sekali! Sukses Dyas dengan jalan-jalan Nusantaranya. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Heuheuu mendoktrin pelan-pelan bahwasannya melakukan perjalanan ke luar jawa gak harus mahal. Asalken punya banyak waktu :)

      Hapus