Rabu, 26 Desember 2018

Bikepacking ke Bali, Mendaki Menara Suci Pulau Dewata



Dyas, begitulah beberapa teman memanggilanya. Namun ditanah kelahirannya dia lebih dikenal dengan nama Ikhsan. Semenjak duduk dibangku kuliah, dia memang mulai akrab disapa dengan nama dyas. Baiklah, langsung to the point saja karena dia mulai kesulitan mencari waktu “nyuwung” untuk mengabadikan catatan perjalanannya. Ya, fenomena semenjak lulus dari bangku kuliah (akhirnya dia lulus juga hehehe).

3 tahun belakangan ini dia mulai aktif bersepeda setiap hari “ngepit saben dinten”, perjalanan demi perjalanan yang dilaluinya telah membentuk karakter cinta lingkungan. Tinggal di kota kecamatan dengan mobilitas rendah, membuatnya memilih untuk bike to kamanawae. Wujud mencintai lingkungan dengan cara mengurangi polusi, tidak sulit namun juga tidaklah mudah.

Semester empat belas, dia kembali ke kampus Undip Tembalang untuk menyelesaikan tanggung jawabnya sebagai mahasiswa. Mulai terbiasa degan gaya hidup ramah lingkungan membuatnya merantau tanpa kendaraan bermotor. Dia memutuskan untuk menggunakan sepeda lipat sebagai moda transportasi sehari-hari. Memang sepeda ini terbilang paling praktis, karena bisa dibawa naik ke gerbong kereta tanpa dipungut biaya. Sehingga kalau hendak pulang kampung tinggal mix commuting dengan KA kedungsepur, blora jaya, maupun kereta lainnya.

Tahun dua ribu tujuh belas dia mulai merencanakan sebuah perjalanan dengan menggunakan sepeda kesayangannya. Lumayan, kali ini dia mendapatkan jatah libur selama seminggu. Setelah ngulik sana-sini akhirnya dia memutuskan pulau bali sebagai tujuannya. Jika full gowes jelas waktu yang dimilikinya tidaklah cukup, paling efektif adalah mix commuting dengan kereta api. Namun dia juga ingin melakukan pendakian ke Gunung Agung untuk melengkapi kepingan perjalanannya mendaki gunung-gunung di kawasan selatan nusantara.





Berdasarkan referensi sana-sini dari berbagi sumber bloger, dia menarik kesimpulan bahwa gunung agung ini cukup efektif jika dilalui dengan tektok (naik langsung turun) karena minim lokasi campground dan tidak adanya sumber air untuk jalur pura besakih. Oke rencana sudah cukup matang, lagi-lagi dia memutuskan untuk pergi seorang diri. H-1 dia mulai packing, dengan keril 32L kesayangannya. Peralatan pendakian dan perlengkapan sepeda mulai dikemas. Keril sudah penuh, namun barang bawaan belum semuanya dikemas. Mau menggunakan keril 60L tapi dirasa terlalu besar. Perbekalan mulai disortir, barang-barang yang minim fungsi mulai di eliminasi. Sleeping bag dia tinggalkan, peralatan tidur hanya hammock dan sleeping pad. Sepatu trekking juga Ia tinggalkan, pake sepatu running sepertinya masih mumpuni. Cooking set bawa yang simple saja, yang penting cukup untuk seduh kopi. Semuanya sudah dalam pertimbangan yang cukup matang, berangkat!.




07 Mei 2017

Sepeda mulai dikayuh dari rumah menuju tempat transit pertama yaitu stasiun ngrombo. Jaraknya cuma 3 kilometer, kemudian bertolak ke Surabaya dengan kereta api Maharani. Disana dia sudah janjian dengan seniornya, bahaya jika tidak sungkem sama beliau wkwkwkw. Pendakian bersamanya waktu ke arjuno – welirang mengajarkan banyak hal, terutama tentang “gear adalah nyawa kedua”. Sore menjelang malam dia telah sampai di Stasiun Surabaya Pasar Turi, kemudian malam harinya dia ngopi-ngopi syahdu bersama seniornya di minimarket kawasan Gubeng, tepat disamping stasiun.




Pukul 22.00 mereka berpisah, dia mulai melanjutkan perjalanan menuju Banyuwangi dengan kereta api mutiara malam. Tak banyak yang bisa diceritakan dalam perjalanan ini karena dia benar-benar full tidur agar besok pagi fit melahap rute 125 kilometer pesisir selatan pulau dewata.

08 Mei 2017

Adzan subuh menandai kedatangannya di Stasiun Banyuwangi Baru. Stasiun yang cukup berkesan baginya. Pertama kalinya dia naik kereta yaitu finish disana, tidur disana. Ini merupakan kali ketujuh dia singgah disana, kurang lengkap rasanya jika belum makan nasi bungkus yang dijajakan diatas sepeda onthel. Pejualnya ternyata belum tergantikan, masih sama seperti 4 tahun yang lalu. Ingatanya seakan dibuka kembali, samar-samar melihat teman-temannya berada disekelilingnya.



Perjalanan kembali dilanjutkan menuju Pelabuhan Ketapang, selangkah lagi akan sampai di garis start. Dia merasa ini semacam perjalanan nostalgia, mengenang kembali lembaran lama. Akhirnya dia sampai di Gilimanuk, perjalanan dimulai. Baru beberapa kayuhan dia melihat sebuah posko mudik tak berpenghuni, dua tahun lalu dia pernah bermalam disana. Sepedanya masih terus dikayuh, memasuki kawasan taman nasional bali barat perasaanya mulai agak cemas. Banyak kera-kera liar dipinggir jalan. Belum lagi anjing, sempat ada insiden dikejar seekor anjing yang mambuat nafasnya tak berirama. Setelah kejadian tersebut, dia istirahat sejenak sambil mengatur nafas.




Perjalanan kembali dilanjutkan, perlahan namun pasti aln-alon waton kelakon. Check point kedua berhenti di warung masakan padang sepertinya pilihan yang tepat. Dia pun sampai di pusat keramaian kawasan Negara, tepatnya di Kelurahan Tegalcangkring. Namun dia masih enggan memarkir sepedanya. Warung padang pertama terlewati, kedua juga terlewati, begitu pun seterusnya. Sebenarnya dia tak terlalu paham dengan rute gilimanuk – denpasar karena perjalanan-perjalanan sebelumya dia selalu tertidur didalam bus. Lepas dari kawasan Negara, mulai menyusuri area persawahan. Cukup sulit menjumpai warung makan, yang ada hanya warung-warung klontong. Seakan-akan dia mendapatkan ganjaran atas sikpanya yang kerap menunda-nunda itu hahahaa. Setiap melihat warung, hampir pasti dia singgah. Sekedar menyantap roti untuk mengusir rasa lapar dan minum agar terhindar serangan dehidrasi. Jalan naik turun nikmati saja, sungguh ini diluar perkiraannya. 125 kilometer yang menurut google maps sanggup ditempuh dengan waktu 8 jam sepertinya meleset. Start yang Ia mulai dari pukul 08.00  tadi perkiraan akan sampai denpasar sekitar pukul 4 sore, meskipun tak memasang target khusus. Yang penting sampai di Ibukota Provinsi sebelum hari gelap.

Memasuki kawasan Pulukan, pemandangan laut disebelah kanan cukup membawa angin sejuk untuk terus mengayuh. Namun didepan sana mendung gelap telah menanti. Dalam perjalanan dia melihat sebuah posko di seelah kiri badan jalan, singgah sejenak untuk berpikir. Arlojinya sudah menunjuk pukul empat sore dan kota denpasar masih sekitar 40 kilometer lagi. Mulai ragu, ditambah lagi kurang paham kondisi daerahnya. Lepas dari Negara tak kunjung menemui pusat keramaian mempengaruhi mentalitasnya. Sempat muncul pikiran untuk mengakhiri perjalanan kemudian dilanjutkan dengan naik bus. Tapi, kapan lagi ke Bali? mungkin perjalanan ini tak akan bisa diulang kembali. Semangatnya kembali berkobar, sambil berdoa semoga tidak turun hujan. Memasuki kawasan Tabanan, dia kembali teguh pada tekadnya karena menjumpai keramaian. Hendak berhenti di warung padang tapi dalam hatinya berkata “tanggung, hajar terus. hari juga hampir gelap”. Dia hiraukan rasa lapar (Jangan ditiru, berbahaya. Namun dia merasa kondisi tubuhnya memang masih sanggup untuk jalan terus. Hanya anda sendiri yang tahu batas kemampuan anda).

Akhirnya pukul 20.00 Waktu Indonesia Tengah dia sampai di Denpasar, lalu finish di warung nasi padang. Langsung saja pesan nasi padang double serta rendangnya dua. Itu merupakan nasi padang ternikmat yang pernah Ia santap. Mungkin karena perjuangannya hehehe. Selepas bersantap ria, kemudian Ia bergegas  mencari penginapan untuk recovery sembari memikirkan rencana esok hari menuju pura besakih.






Lumayan sulit mencari penginapan sesuai budget yang diinginkan melalui aplikasi, akhirnya dia melipir ke kawasan sanur. Nah disana dia mendapatkan penginapan yang sesuai. Setelah check in, bergegas mandi agar segala macam kotoran bercampur keringat serta polusi menghilang dari badan. Badan kembali rileks, mulai menyusun strategi esok hari. Dia mulai mengurungkan niat untuk bersepeda ke Pura Besakih, karena menurut perkiraannya internal gir sram 3 speed tak akan mampu melahap tanjakan menuju kesana. Oke berarti besok dia harus mencari rental motor. Lalu mencari guide dalam pendakian karena ada aturan wajib porter per tim. Cari sana-sini tarifnya tidak masuk di budget karena rata-rata diatas 500k. Akhirnya ada satu guide yang pasang tarif 300k, dengan catatan dia digabungkan dengan rombongan dari Jakarta. Okelah tidak masalah baginya. Plan untuk besok sudah rapi, waktunya dia istirahat agar tubuhnya kembali bugar.




09 Mei 2017

Cuaca cukup cerah pagi itu, membuat dirinya kembali bersemangat melanjutkan perjalanan menuju kaki gunung agung. Sarapan warteg di Bali, penjualnya orang jawa. Semacam warung makan lintas budaya. Hari ini dia agak santai, tidak terlalu diburu waktu. yang penting sore hari sudah sampai di besakih. Waktu tempuh dari denpasar menuju besakih sekitar dua jam menggunakan sepeda motor. Sampai di tempat rental motor, dia menitipkan sepeda kesayangannya. Benar saja, beruntung dia mengurungkan niat bersepeda menuju besakih karena tanjakannya lumayan membuat matic beat rentalan ini “ngeden”. Sekitar pukul 18.00 dia tiba di kawasan parkir wisata pura besakih. Kebetulan guide yang akan mendampinginya dalam pendakian juga memiliki warung di area parkir wisata jadi cukup mudah untuk bertemu dengan beliau.

Rombongan dari Jakarta perkiraan akan tiba dinihari nanti dan meraka direncanakan memulai trekking pukul 03.00 dinihari. Wasting time yang cukup lama baginya, udara besakih yang lumayan dingin berhasil merangsang rasa kantuknya. Dia pun menggelar sleeping pad dan bermalam di warung. Tidur dengan rasa was-was karena cukup banyak anjing disana.

10 Mei 2017

Pendakian dimulai, tak ada sedikitpun keraguan dalam dirinya bersama teman-teman barunya yang berjumlah enam orang. Beberapa peralatan sepeda dia tinggalkan di bagasi motor beserta barang-barang yang kurang berguna dalam pendakian. Logistik yang dia bawa adalah yang siap santap. Roti, coklat, snack, sesuai perhitungannya. Dua jam perjalanan Ia mulai ragu, dia melihat bahwasannya rombongan tersebut ada yang membawa tenda. Lalu yang membawa keril justru diisi beban berat sedangkan yang membawa daypack hanya diisi baju ganti yang bobtnya cukup ringan. Menurut sudut pandangnya jelas manajemen packing tersebut kurang efektif. Sampai di POS 1 keraguannya makin bertambah karena rombongan tersebut ternyata tidak membawa gas. Beruntunglah dia membawa gas yang rencanya hanya untuk seduh kopi. Kesabarannya benar-benar diuji.

Arloji menunjukkan pukul 08.00 namun POS 2 belum juga berhasil di capai. Puncaknya adalah ketika guide berbicara empat mata dengannya “mas, jika seperti ini terus tidak akan berhasil sampai top”. Nah, disini dia mulai mencari solusi terbaik baik bagi dirinya dan teman-teman barunya. Akhirnya setelah berkumpul semua, dia mengusulkan untuk beberapa barang bawaan rombongan tersebut sedikit dikurangi. Dengan kondisi tersebut, jelas tidak mungkin mendirikan tenda. Sebaiknya ditinggal di semak-semak. Apabila terjadi kondisi darurat, ternyata guide mereka sudah meninggalkan tenda kapasitas 4 tepat di kori agung (POS 3).

logistik yang rumit sebaiknya juga ditinggal, toh rombongan tersebut juga tidak membawa gas. Baju ganti juga sebaiknya ada yang ditinggal karena melihat kondisi alam cukup cerah. Namun mereka masih enggan mengurangi barangnya karena di khawatirkan hilang. Dia kembali meyakinkan teman-teman barunya bahwa di lokasi parkir tadi tak terlalu banyak kendaraan jadi kemungkinan yang mendaki satu atau dua orang. Prediksinya juga pasti pendaki WNA, hampir pasti meraka tidak suka mencuri. Akhirnya usulannya disepakati dan perjalanan kembali dilanjutkan. Irama langkah kakinya lebih cepat, tidak seperti tadi.


Pos 3 telah dicapai, mereka memutuskan istirahat untuk masak mie instan. Tabung gas ia keluarkan dari ransel, lalu ia pinjamkan ke rombongan lain. Dia cukup menikmati dua potong beng-beng dan kopi hangat. Cukup ampuh menurunkan tingkat emosinya. Dia ditawari mie instan namun ditolaknya secara halus karena dia sedang mengukur kemampuannya. Mencoba memaksimalkan perhitungan logistik yg sudah dia bawa.



Sembari istirahat sruput-sruput kopi yang mulai dingin, dia dibuat takjub dengan rapatnya hutan di sekeliling Gunung Agung dan Gunung Batur benar-benar masih terjaga. Memang aturan adat dan sanksi adat masih berlaku disana, jadi jika hendak tebang pohon maka mereka juga harus tanam. Samar-samar dari kejauhan juga Ia melihat Gunung Raung gagah menjulang, salah satu gunung yang Ia impikan pula.








Tepat pukul 12.00 mereka semua berhasil mencapai atapnya pulau dewata. Dibawah matahari yang cukup terik, tak perlu berlama-lama diatas sana karena kabut mulai beranjak naik ke atas. Dalam perjalanan turun, dia sengaja berada di paling belakang. Ada sesuatu hal yang dirasakannya. Entahlah, dia merasa enjoy meski tertinggal jauh dari rombongan. Berbeda dengan gunung-gunung lainnya. Pukul 18.00 dia sampai kembali di pura besakih, setelah menyelesaikan kewajiban dia langsung berpamitan dan bergegas kembali ke Denpasar. Pendakian yang mengajarkan banyak hal, terutama tentang manajemen packing.


Plan berikutnya adalah bertolak kembali ke jawa, untuk mempersingkat waktu perjalanan denpasar – gilimanuk sepedanya dilipat dan diangkut menggunakan bus. Rencana selanjutnya adalah melanjutkan perjalanan Banyuwangi – Surabaya – lalu lanjut ke Kutoarjo mengunjungi kawan lama. Kemudia sebelum pulang tak lupa untuk singgah semalam di Jogja.







Nikmat Bersepeda. . . . . .