Rabu, 27 Februari 2019

Gunung Kerinci dan Atmosfer Jawa.


     Tahun dua ribu tujuh belas, merupakan tahun dimana aku mulai memasuki fase yang baru dalam  perjalanan hidupku. Setelah menyelesaikan masa studi, aku mulai terjun di dunia kerja. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, dimana mau bepergian kemana saja tinggal bikin plan lalu berangkat. Namun aku teteap menikmati fase baruku ini, jika dirasa butuh piknik tinggal ambil sepeda lalu city tour ke kota sekitar seperti joglosemar misalnya. Itu saja sudah cukup, walau cuma sekedar kuliner dan berburu kopi. Kadang-kadang bersama temen-temen pesepeda, namun kadang-kadang juga sendiri karena aku masih membutuhkan yang namanya “me time”. Imajinasi ini harus tetap dipelihara.

     Bersepeda sudah menjadi bagian hidupku, selain untuk kebugaran juga sebagai wujud nyata peduli terhadap lingkungan, karena dapat mengurangi polusi serta kemacetan kota. Apalagi dengan mobilitasku yang tak terlalu tinggi ditambah lagi tinggal di kota yang cukup mungil.

     Sebenarnya aku berencana berangkat ke kerinci tahun lalu bertepatan dengan jambore sepeda lipat bangka 2016. Aku berencana membawa sepeda ke pulau bangka dengan kapal, lalu trasit di palembang mengunjungi sahabt lamaku kemudian lanjut ke kerinci. Namun plan ini gagal terlaksana karena skripsi belum kunjung usai memasuki bulan delapan. Dosen pembimbing kesayanganku bisa murka nanti hehehe.

     Menyambut penghujung tahun 2017, aku berencana mengambil cuti dan merealisasikan perjalanan menuju gunung api tertinggi di nusantara. Terhitung tahun ini aku baru sekali mendaki gunung yaitu gunung agung pada bulan april kemarin. Aku mulai rindu udara sejuk pegunungan, hawa-hawa pedesaan, serta rumah-rumah penduduk beratap seng khas dataran tinggi. Mungkin ini waktu yang tepat untuk mengunjungi kerinci. Aku mulai menyusun opsi perjalanan dan berburu tiket termurah. Sempat bimbang, karena banyak beredar kabar bahwa cuaca gunung kerinci sedang tidak bagus. Ditambah aktivitasnya yang sedang meningkat, pendakian hanya diijinkan sampai shelter 3.

     Aku memutuskan untuk berangkat dari jogja karena jika dihiutng-hitung paling efektif, lebih murah, dan tak perlu transit meskipun penerbangan berlangsung hampir tengah malam. Yaa alamat tidur di bandara minangkabau. Rencana awal berangkat saat libur natal, namun aku percepat lagi untuk menghindari lonjakan harga tiket. Hampir setiap hari aku memantau situs perkiraan cuaca dari berbagai sumber, untuk menentukan hari yang tepat dalam pendakian. Meskipun cuaca di gunung tidak dapat di prediksi, namun setidaknya aku sudah melakukan persiapan dengan mengestimasi kemungkinan terburuk. Baiklah, tanggal delapan bulan dua belas tahun dua ribu tujuh belas berangkat sudah!

     Bagus dan Farid tidak bisa ikut serta dalam pendakian, begitu juga dengan Afif. Akhirnya aku memutuskan berangkat seorang diri, aku merasa inilah saatnya. Nyaris tak ada keraguan. Perjalanan dimulai dengan naik bus menuju kota Surakarta dengan armada yang cukup terkenal seantero wilayah grobogan yaitu RELA. Singkatan dari rejeki lancar, bus ini memang terkenal dengan kecepatan dan manuvernya. Apalagi kalo sudah memasuki rute berliku-liku hutan monggot. Adrenalin seakan dipompa, belum lagi suara klaksonnya yang menyerupai kapal laut.


     Sampai di kota solo, perjalanan dilanjutkan dengan KA Prameks. Kereta api andalan warga solo klaten jogja dan kutoarjo. Kemudian aku turun di stasiun maguwo, tinggal jalan kaki menuju Bandara Adi Sucipto. Jarum pendek menunjuk antara angka 7 dan 8, padahal pesawat berangkat pukul 23.00. Kalo tidak delay hehehehe. Ternyata beneran delay, berangkat pukul 00.00. Mata sudah kantuk namun sedikit kutahan-tahan, karena takut ketinggalan pesawat. Atau delay lebih lama lagi juga gakpapa jadi aku gak perlu ngemper di bandara minangkabau. Eh, tapi aku juga kangen suasana ketika ngemper. Ada kepuasan tersendiri.

09 Desember 2017

     Pukul 01.30 dinihari aku mendaratkan kaki di Ibukota Sumatera Barat, aku belum ingin bergerak karena aku buta dengan kondisi kota ini. Aku memilih menyepi di bandara dekat colokan listrik sembari browsing info-info penting seputar kerinci. Perjalanan kali ini akan ditemani dengan playlist-playlist dari John Mayer. Lagu a face to call home menghalusinasiku pukul tiga dinihari.





     Matahari mulai menyinari lagit-langit kota Padang, aku dijemput oleh driver dari PO Ayu Transport dengan tujuan Sungai Penuh. Mendapatkan kursi bagian belakang, duduk bersanding dengan barang bawaan penumpang lainnya. Tak ada lawan bicara. Kira-kira pukuk sepuluh aku mulai meninggalkan kota legenda Malin Kundang. Melewati Gunung Talang, kondisi sinyal smartphone mulai tidak stabil. Hal ini berpotensi menguras baterai padahal aku masih buta situasi Kayu Aro. Aku hanya berpesan pada driver bahwa aku turun di simpang macan atau tugu macan. Aku sedikit ragu namun mencoba berpikir positif karena tampaknya driver kurang mahir berbahasa Indonesia.

     Aku disuguhi pemandangan indah dari danau diatas dan dibawah. Mobil yang aku tumpangi membelah keduanya, berada diantaranya. Ingin rasanya berhenti sebentar, mengabadikan momen, untuk kenang-kenangan sekaligus bahan cerita anak maupun cucuku kelak.

     Tercatat pukul 16.30 aku tiba di simpang macan (meskipun drivernya sedikit kebingungan). Aku disambut hujan bercampur kabut, penjual gorengan memecah konsentrasiku. Gunung kerinci bersembunyi dibalik kabut, tak seperti gambar-gambar yang beredar di google. Aku berteduh di teras toko yang sudah tutup, belum tahu hendak kemana. Banyak homestay disekitar sini, namun aku masih mencari opsi lain. Akhirnya muncul tag lokasi di google maps bernama Basecamp Mak Jus yang letaknya juga tidak jauh dari simpang macan, sekitar 400 meter.




     Tiba didepan pintu dengan kondisi agak basah, ku turunkan kerilku. Suasana basecamp yang cukup sepi dengan keadaan pintu yang tertutup, namun masih meninggalkan sedikit celah. Masih terdengar suara televisi dan terlihat cahaya lampu neon. Aku disambut oleh Sugi yang kebetulan sedang menyasikan pertandingan sepakbola liga Indonesia. Setelah berdialog singkat, karena mengetahui aku berasal dari jawa dan Ia pun menyahut “ngomong jowo wae mas”  artinya berbicara bahasa jawa aja mas. Ternyata benar, masyarakat kayu aro adalah orang jawa yang belum pernah menginjakkan kaki di jawa meskipun tidak semuanya. Lahir di Jambi, besar di Jambi, namun mahir berbahasa jawa. Menurut cerita, dulunya pada masa penjajahan banyak orang jawa yang dibawa ke kayu aro dan dijadikan buruh teh. Seiring berjalannya waktu mereka menetap disini dan jumlahnya semakin bertambah. Bahasa jawa masih digunakan sebagai bahasa sehari-hari, makanya banyak anak muda disini yang tidak tahu berasal dari jawa bagian mana meskipun ia mahir berbahasa jawa.

     Kembali ke perjalananku, Sugi ini biasanya juga antar tamu untuk mendaki namun karena sedang tidak enak badan akhirnya besok aku akan ditemani oleh Pakdhe Lan. Malam itu kami bercengkrama untuk saling mengenal dan menyusun rencana esok hari. Plan yang ku buat adalah 3H2M namun menurut pakdhe cukup 2H1M aja. Hari pertama langsung menuju shelter 3. Baiklah, aku mengikuti saran dari pakdhe yang sudah berpengalaman. Karena mahir berbahasa jawa, jadi aku tak terlalu kesulitan bercengkrama dengan beliau. Aku ijin untuk istirahat lebih dahulu agar besok pagi kembali fit setelah seharian penuh berada didalam mobil.

10 Desember 2017

     Membuka pintu basecamp dan melongok keluar, aihh gunung kerinci masih enggan memperlihatkan wujudnya. Masih berselimut kabut tebal, namun suasana sekitar sudah ramai dengan aktivitas masyarakat yang hendak pergi ke kantor hehehe kebun maksudnya. Bagitulah candaan masyarakat disini. Berjalan-jalan disekitar basecamp sembari melengkapi perbekalan untuk pendakian.


     Pukul 09.00 pagi aku dan pakdhe memulai pendakian. Meskipun sudah lama tidak mendaki namun stamina ku masih terjaga karena setiap hari bersepeda. Pakdhe diposisi paling depan, langkahnya cukup cepat. Aku mengikuti iramanya, bisa dikatakan jarang berhenti. Kami berhenti ketika pakdhe hendak menunjukkan tanaman obat-obatan atau endemik hutan kerinci atau jika jarak kami sudah terpaut jauh hehehe usia hanyalah angka.

     Kami singgah sejenak di Pos 1, bercengkrama dengan rombongan lain. Waktu itu tamunya dari warga mancanegara, jadi tak banyak dialog yang kami lakukan karena bahasa inggris ku masih kalang kabut. Perjalanan dilanjutkan, diatas pos 1 tepatnya disebelah kiri akan menjumpai sumber air (ketinggian sekitar 2000 mdpl). Pakdhe mengambil 600 ml, minum dulu mas airnya sebagai tanda perkenalan. Glek glek glek ahhh kesegaran khas air pegunungan. Jalur pendakian via kersik tuo ini sesekali aku melihat bekas jejak harimau, lumayan menyiutkan nyali.





     Pukul 12.00 kami telah sampai di shelter 1. Plan yang aku buat sebelum berangkat yaitu camp 1 kalau gak shelster 1 ya shelter 2. Beruntunglah pendakian kali ini ditemani pakdhe, masih banyak waktu tersisa dan kata beliau kalau jalannya seperti ini terus kami akan sampai di shelter 3 sebelum gelap. Cukup lama kami istirahat di shelter 3 meskipun hanya sekedar seduh kopi dan nyemil biskuit. Setelah 30 menit, kami kembali melanjutkan perjalanan karena hawa dingin mulai menyerang. Cuaca hari itu masih belum bagus, masih berselimut kabut dan awan gelap. Kondisi shelter 1 ini cukup luas, muat untuk mendirikan banyak tenda. Luasnya hampir setara dengan lapangan futsal dengan dikelilingi pepohonan.

Shelter 1

     Pukul 15.30 kami berhasil mencapai shelter 2, cukup sempit areanya. Bisa menampung 3-4 tenda. Lepas dari shelter 2, aku mulai terseok-seok mengikuti irama langkah pakdhe. Seringkali aku tertinggal jauh, beruntung hujan tidak turun. Sesekali pakdhe memberi semangat dari atas sana. Akhirnya pukul 18.00 kami berhasil mencapai shelter 3, kami pun segera mendirikan tenda. Shelter 3 ini merupakan batas vegetasi, dan cukup muat untuk banyak tenda. Lokasinya tepat di punggungan. Setelah tenda kami berdiri, kabut perlahan pergi. Semburat cahaya oranye mulai nampak di langit-langit, seakan memberi harapan bahwa cuaca esok hari bakal cerah.

Shelter 2
Shelter 3
     Pak dhe bagian masak nasi, sedangkan aku bertugas masak air dan goreng telur. Pakdhe dari bawah sudah membawa bekal siap santap yaitu tumis tahu bumbu pedas dan ikan asin. Di shelter 3 ini terdapat sumber air namun jumlahnya tidak banyak dan kadang-kadang kering. Aku tidak sempat melihat lokasinya secara langsung. Setelah makan malam, kami pun beristirahat.

11 Desember 2017

     Pukul 04.30 kami mulai summit attack. Cuaca nampak cerah karena lampu-lampu rumah warga terlihat dari atas sini. Aku sangat bersemangat, namun belum menemukan irama langkah dan nafas yang nyaman. Medan berbatu membuatku harus memilah pijakan agar tidak longsor yang membahayakan pendaki dibelakang. Angin yang sesekali berhembus, menyapu telinga. Membuatku enggan berhenti untuk menghindari hawa dingin. Perlahan namun pasti, aku mulai menemukan irama seakan semua nyawa dan cakra sudah terkumpul. Pakdhe sudah duduk santai diatas sana menikmati hisapan rokoknya. Samar-samar terlihat bara rokok di tangannya. Akhirnya, sampailah aku di 3805 mdpl. Puncak yang tak terlalu luas, dengan jurang yang menganga. Sesekali kawahnya mengeluarkan asap hitam yang tipis. Dari sini aku bisa menyaksikan samudera hindia di sisi barat. 




     Perlahan-lahan matahari mulai naik ke permukaan, melewati cakrawala. Kami berdua pun turun. Padahal dulu sunrise merupakan momen yang ditunggu. Namun kini berbeda. Gambar hanya penghias, rasa karsa dari perjalanan itu yang kini di cari. Kami bergegas turun agar bisa berlama-lama di shelter 3. Begitu sampai di tenda, kabut perlahan-lahan mulai naik menutupi pendangan yang ada. Sisa nasi semalam mulai dipanaskan, untuk meningkatkan nafsu makan. Aroma telur goreng sungguh tiada lawan. Ikan sarden kalengan cukup melengkapi, menambah rasa syukur ini.



     Selesai sarapan, kami mulai berkemas agar tidak terlalu sore kembali di basecamp. Sol sepatu bagian kiri yang lepas saat perjalanan turun dari puncak tadi biarlah menjadi kenang-kenangan dari kerinci. Sepatu tetap dibawa pulang meski sudah dimakan usia. Empat tahun sudah menemani plesir sana-sini, masih ku siapkan untuk satu gunung lagi di wilayah indonesia timur. Nanti kalo sudah sampe rumah tinggal di bawa ke tukang sol sepatu langganan pasti sudah onfire lagi.

     Perjalanan turun nyaris tidak ada kendala, kali ini posisinya berubah. Giliran aku yang berada di depan, karena kalo pak dhe yang di depan takutnya malah ketinggalan jauh hahahaha. Nah dalam perjalanan turun aku bertemu dengan tim darmawisata yang sedang menjelajahi pulau sumatera dari ujung ke ujung. Kebetulan ada sahabat lama ku dalam rombongan tersebut. Istirahat sejenak dibawah shelter 1 guna melepas rindu. Cukup lama tak berjumpa hehehe. Bercengkrama sembari membersihkan lumpur-lumpur yang menempel di kaki.

     Kami berpisah, melanjutkan perjalanan kami masing-masing. Sekitar pukul satu kami sudah sampai di pintu rimba, duduk santai di pinggir kebun menunggu jemputan dari Levi. Begitu sampai di basecamp, cuci kaki dan tangan kemudian cukup bersemangat untuk menggelar sleeping pad menikmati tidur sore ini.



12 Desember 2017

     Menikmati kerinci dari teras basecamp, yang langsung menghadap ke gunung dengan hamparan kebun teh yang cukup luas. Kerinci nampak jelas, hingga ke puncaknya. Cuaca juga cukup bagus hari itu, mungkin temanku sedang berada di atas sana. Hari ini kuhabiskan untuk jalan-jalan keliling kampung. Oh ya, aku belum menyempatkan diri untuk ngopi-ngopi di warung. Cukup sulit mencari warung-warung kopi tradisional disini, karena aku hanya mencari di sekitar jalan utama kayu aro – sungai penuh. Eh waktu hendak pulang, nemu satu. Belum ada pengunjungnya, dan aku menjadi yang pertama. Pemiliknya tak terlalu mahir berbahasa jawa, namun playlist di kedainya lagu dangdut koplo jawa. Sepertinya musik itu untuk dinikmati, bukan dipahami. Pokoke joget nda!




     Kopi kerinci diseduh manual dengan metode visixty tersaji di meja, menghadirkan rasa khas arabika yang asam. Namun aku agak bingung, selama jalan kaki tadi aku belum menjumpai tanaman kopi. Hanya ada tanaman teh, lalu di sebelah mana area kebun kopi kerinci tersebut ya. Kelihatannya tidak di kawasan kayu aro.

13 Desember 2017

     Motor bebek berwarna hijau muda sudah terparkir di depan basecamp, pagi-pagi sekali. Kabut masih lumayan tebal, malas beranjak dari sleeping bag. Hari ini pak dhe mengajak trekking ke gunung tujuh, tapi tidak bermalam disana. Ngopi-ngopi di pinggir danau enak mas, begitu katanya. Okelah berangkat pakdhe!

     Jarak dari basecamp kerinci ke pintu rimba danau gunung tujuh lumayan jauh. Ada yang berbeda, penduduk disini tidak mahir berbahasa jawa seperti penduduk kayu aro. Setelah melakukan registrasi, kami memulai trekking. Sebelum memasuki pintu rimba, ada sebuah pesan yang tertulis disana. “Membabat hutan secara liar, bencana anak-cucu di masa depan”. Kukira perjalanannya akan santai datar-datar saja, ternyata kami harus manaiki bukit lagi. Danaunya di balik bukit yang itu. Perjalanan yang cukup syahdu, dimana kami bisa mendengar suara-suara kehidupan penghuni hutan dengan jelas.


      Dari atas bukit aku sudah bisa melihat keindahan danau, namun belum terlalu jelas karena masih terhalang oleh dahan dari beberapa pohon. Gradasi warna air yang cukup cantik karena matahari bersinar cukup terik. Lalu kami turun mendekat ke danau, menikmati dari tepiannya. Campground yang cukup nyaman sebenarnya, karena ada air mengalir yang cukup jernih dari bukit turun ke danau. Seandainya ada bagus dan farid disini, pasti kami sudah berlama-lama disini.







     Malam hari aku berpamitan, melanjutkan perjalanan malam ke kota Bukittinggi. Aku penasaran melihat jam gadang yang sewaktu kecil hanya kulihat dari permainan monopoli. Serta ceritanya yang tersohor hanya aku dengar dari mata pelajaran sejarah. Satu lagi, kenikmatan teh telur yang cocok hawa dingin kota kelahiran Bung Hatta.



14 Desember 2017

     Kumandang adzan subuh menandai kedatanganku di kota ini. Kulihat ada warung tenda menjajakan teh talua dengan lampu yang masih menyala. Letaknya tak jauh dari sebrang masijd. Waktu hendak memesan, ternya uda sudah berkemas. Belum tau ingin kemana, aku kembali ke Jam Gadang. Disana tersedia kursi-kursi untuk tiduran. Pasang headset di telinga, nikmati suasana yang ada.


     Arloji menujukkan pukul lima pagi, mulai ada aktivitas warga. Ada yang lari pagi, bersepeda, dan para petugas kebersihan. Dari sini aku bisa menyaksikan gagahnya gunung marapi dan gunug singgalang. Ingin mendaki kesana, tapi ada sedikit keraguan di hati. Landscape yang memberi energi untuk bangun pagi. Kebetulan, Afif sedang melakukan perjalanan dinas ke Pekanbaru, kabarnya Ia hendak menemuiku esok hari. Berarti aku harus berlama-lama di kota ini, sebaiknya pagi ini aku mencari penginapan terlebih dahulu. Sekalian sewa motor karena aku hendak pergi mengelilingi destinasi di sekitar sini.







     Aku menginap tak jauh dari pusat kota, tepatnya di sekitar jembatan limpapeh. Disini juga menyediakan rental motor, pas sudah. Sebenarnya tersedia kamar dormitory, sayangnya khusus untuk tamu WNA. Setelah istirahat sejenak, pukul sepuluh pagi aku mulai berkendara menuju kabupaten tanah datar. Melihat kemegahan istana pagaruyung, salah satu ikon sumatera barat. Selanjutnya aku melanjutkan perjalanan ke danau singkarak, salah satu magnet event sepeda yang rutin digelar setiap tahunnya. Menjelang senja, aku melanjutkan perjalanan ke danau maninjau. Asah skill berkendara menuruni kelok 44 dengan plang asmaul husna sepanjang perjalanan.

     Dalam perjalanan pulang, smartphone mulai low baterai karena sinyal yang lumayan susah. Tak bisa lagi menggunakan maps, aku bergantung pada papan penunjuk jalan. Ternyata perjalanan pulang berbeda arah, dengan suasana yang cukup mencekam. Berkali-kali aku melihat kaca spion, tak ada kendaraan lain. Rasanya ingin cepat-cepat tiba di kota. Lubang-lubang jalan aku hiraukan, pokoknya pantang injak rem. Sedikit tenang kala berpapasan dengan pengendara lain. Nyaris tak ada penerangan jalan, hanya lampu-lampu rumah penduduk yang jaraknya lumayan jauh.




15 Desember 2017

     Kabarnya malam ini Afif akan tiba di Bukittinggi, karena Ia baru selesai rapat pukul 3 sore. Masih harus menempuh perjalanan darat selama kurang lebihnya 4 jam. Hari ini aku hanya city tour, jalan-jalan mengelilingi kota. Singgah ke pasar atas dan pasar bawah. Ternyata pasar atas baru saja terbakar, para pedagang berjualan di lapak semi permanen. Ingin menikmati kuliner lokal, namun takut kalo harganya tiba-tiba melejit hehehe. Eh secara tidak sengaja aku menemukan sebuah kedai kopi yang berjualan di teras minimarket. Baristanya cukup ramah, pernah menempuh studi di kota Bandung. Kopi habis diseduh, nasi ampera sudah disantap, segelas teh talua tinggal menyisakan busanya tapi Afif belum kunjung tiba. Satu porsi martabak manis untuk menyambutmu sobat, akhirnya Ia datang. Kami berbincang-bincang saja di penginapan karena kondisinya sama-sama sudah lelah.

16 Desember 2017

     Hari ini kami ingin menikmati maninjau dari ketinggian, driver pribadinya mengarahkan minibus yang kami naiki ke arah puncak lawang. Banyak area spot untuk menikmati maninjau dari atas. Kami mengunjungi 3 spot, di area ketiga ini kami cukup lama disana. Karena disuguhi kopi tubruk dan pisang goreng yang baru saja diangkat dari wajan. Pukul 13.00 kami menuju ke Bandara Minangkabau, dengan laju kendaraan lumayan ngebut karena waktu yang mepet. Untunglah drivernya lihai dan piawai mencari jalan tikus. 10 menit sebelum batas waktu check in bagasi aku sudah sampai. Kami pun berpisah, aku pulang ke Surabaya sedangkan Afif kembali ke Bukittinggi. Matursuwun lur!






Berangkat dari Jogja.
Tersesat di Jambi.
Pulang ke Surabaya.



Bukittinggi, suatu hari nanti aku akan kembali. Ingin sekali lagi mengelilingi pagimu dengan bersepeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar