Borneo,
Pengalaman Pertama Naik Pesawat
25 November 2016, merupakan kali pertama aku
berpetualang menggunakan transportasi udara. Biasanya untuk lintas pulau aku lebih
memilih meggunakan kapal Pelni, lamanya jarak tempuh menjadi suatu kenikmatan
tersendiri. Namun kali ini tak ada pilihan lain, mengingat waktu yang ku miliki
hanya 10 hari. Rencana ke Maluku harus ditunda lagi, dengan waktu luang hanya10
hari rasanya terlalu dipaksakan. Alasan lainnya adalah salah seorang temanku
hendak melangsungkan pernikahan, yang mungkin hanya terjadi sekali seumur
hidupnya jadi tak ada alasan untuk tidak hadir. Undangan yang secara langsung
Ia sampaikan di sebuah kedai kopi kawasan Jakarta Selatan, setelah sekian lama
kami tak berjumpa. Teman yang melengkapi perjalananku ke lawu, rinjani, prau,
argopuro, serta ciremai gunung api tertinggi di ranah sunda.
Akhirnya aku memilih kalimantan sebagai tempat untuk
merayakan tamatnya masa studi sebagai mahasiswa peternakan undip program
sarjana. Sebenarnya banyak tempat yang ingin aku kunjungi di pulau terbesar
seantero nusantara ini, salah satunya adalah Bukit Raya yang terletak di
Kalimantan Barat. Namun demi efisiensi waktu serta budget, aku memutuskan hanya
mengunjungi Kalimantan bagian selatan dan timur.
Sore hari menjelang maghrib aku mendaratkan kaki
di kota seribu sungai. Jadi begini rasanya naik pesawat terbang hhmmm begitu
keluar bandara aku sangat tergesa-gesa lalu aku mengiyakan tawaran sopir taksi
bandara. Selama perjalanan di dalam taksi, aku termenung.”mengapa tadi aku
tidak mencari info terlebih dahulu? barangkali ada alternatif transportasi
macam ojek atau angkot menuju kecamatan sungai tabuk? tapi tak apalah, langit
juga mulai tampak gelap. sekitar satu jam perjalanan, aku tiba di desa lok
baintan. Panggung festival untuk acara besok pagi belum tersusun rapi (padahal
rencanaku sejak awal mau tidur di disana hehehe). Kali ini perjudianku cukup meleset.
Cari warung makan pun susah, untung masih ada satu potong roti di ransel.
Cukuplah untuk ganjal perut malam ini. Akhirnya aku memutuskan untuk tidur di
warung semi permanen yang tak jauh dari lokasi acara, yang penting ada atapnya
jadi cukup aman jika turun hujan.
Aku merasa waktu berjalan sangat lama, mata juga agak
susah terpejam. Tiba-tiba ada seseorang tukang tambal ban menghampiri.”Nunggu
siapa?” tanya beliau. “Gak nunggu siapa-siapa pak, memang mau tidur disini.
Besok pagi ada acara festival 1000 jukung dibawah jembatan” jawabku. “ Lho,
disini itu rawan mas” sahutnya. Aku tidak terlalu paham apa yang beliau maksud,
rawan kriminal atau rawan hal mistis. Memang desa lok baintan ini terlihat sepi
selepas isya. Akhirnya aku diajak pindah ke bengkel tambal ban milik beliau,
yang letaknya tepat di halaman depan rumahnya. Gelagat beliau ini penuh
keraguan, hendak mengajak ke rumahnya tapi belum tahu siapa. Kalau dibiarkan tidur
di bengkel juga kasihan. Banyak pertanyaan yang ia layangkan padaku, aku pun
menjawab dengan santai. Kelihatannya beliau jarang bertemu dengan para pejalan
yg sedikit nekat demi memangkas budget selama berpetualang.
Aku pun memutuskan untuk tidur di bengkel saja,
kemudian aku mulai mengeluarkan sleeping bag, sleeping pad, serta flysheet
untuk melindungi dari terpaan angin. Beliau semakin heran, mungkin dalam
hatinya penuh pertanyaan. Akhirnya beliau masuk ke rumah, dan aku mulai
menikmati malam pertamaku di borneo. Tidur tak terlalu nyenyak, karena banyak
sekali nyamuk yang menghampiri tanpa permisi. Masuk ke dalam sleeping bag pun
kurang nyaman karena suhu tubuh menjadi meningkat. Seringkali aku terbangun,
tengak-tengok jam yang tak kunjung menunjukan waktu subuh.
26 November 2016
Satu persatu jukung mulai berdatangan, berkumpul
di dermaga lok baintan jalan gubernur sarkawi. Masing-masing jukung berisi
dengan barang dagangan, didominasi hasil kebun seperti buah-buahan dan sayuran.
Beberapa pedagang juga menjajakan menu sarapan pagi. Arus sungai martapura yang
lumayan kencang tak menyurutkan semangat mereka, dayung terus lawan arus.
Betapa terampilnya tangan-tangan perempuan banjar dengan wajah dilapisi bedak
dingin. Pasar terapung lok baintan memang tidak asing bagi generasi 90an,
karena menjadi ikon salah satu televisi swasta saat pergantian jam tayang.
Beranjak dewasa aku mulai penasaran dan ingin melihatnya secara langsung,
sebuah alasan mengapa aku ingin mengunjungi Borneo. Pasar tradisional bagiku
memiliki daya tarik tersendiri, ada nilai-nilai tentang perjalanan hidup
disana. Bukan sekedar transaksi jual beli semata.
Pengunjung yang datang mayoritas justru dari luar
daerah, bahkan dari luar kalimantan. Padahal acara semacam ini hanya setahun
sekali, mungkin saja bagi masyarakat lokal sudah menjadi pemandangan yang
biasa. Atau pasar terapung mulai tergerus zaman yang kian modern ditambah
fasilitas darat di kalimantan selatan yang kian membaik. Berdasarkan info yang
aku dapat, ada beberapa pasar terapung selain lok baintan yaitu pasar terapung
muara kuin dan pasar terapung siring. Pasar terapung siring letaknya tepat di
jantung kota, berada di hulu sungai barito. Semoga pasar terapung warisan nenek
moyang suku banjar ini masih sanggup melawan kemajuan zaman.
Menjelang siang, aku bergegas untuk melanjutkan perjalanan ke kota banjarmasin. Hendak merebahkan badan yang kurang tidur ini diatas kasur agar tetap fit karena perjalanan masih panjang (balas dendam tidur tadi malam hahaha). Kebetulan juga malam ini tim sepakbola kesayanganku juga bertanding, jadi aku membutuhkan fasilitas televisi. Selain itu, aku juga ingin mengamati suasana car free day kota seribu sungai.Sedari tadi tak ada tumpangan yg berhenti, apalagi transportasi umum. Setelah 2 jam menanti, akhirnya aku pun meminta tolong pada seorang montir untuk menjadi tukang ojek dadakan. Aku minta tolong diantar sampai pasar sungai tabuk, karena kabarnya disana banyak angkot menuju banjarmasin. Ternyata transportasi disini lumayan sulit, ojek masih menjadi unggulan. Salah satu pekerjaan rumah bagi pemerintah setempat jika ingin meningkatkan kunjungan wisatawan.
Menjelang siang, aku bergegas untuk melanjutkan perjalanan ke kota banjarmasin. Hendak merebahkan badan yang kurang tidur ini diatas kasur agar tetap fit karena perjalanan masih panjang (balas dendam tidur tadi malam hahaha). Kebetulan juga malam ini tim sepakbola kesayanganku juga bertanding, jadi aku membutuhkan fasilitas televisi. Selain itu, aku juga ingin mengamati suasana car free day kota seribu sungai.Sedari tadi tak ada tumpangan yg berhenti, apalagi transportasi umum. Setelah 2 jam menanti, akhirnya aku pun meminta tolong pada seorang montir untuk menjadi tukang ojek dadakan. Aku minta tolong diantar sampai pasar sungai tabuk, karena kabarnya disana banyak angkot menuju banjarmasin. Ternyata transportasi disini lumayan sulit, ojek masih menjadi unggulan. Salah satu pekerjaan rumah bagi pemerintah setempat jika ingin meningkatkan kunjungan wisatawan.
27 November 2016
Pelajaran berharga pagi ini, kukira jika booking
tiket pesawat saat hari H tarifnya akan lebih murah. Namun ternyata justru
sebaliknya, penerbangan banjarmasin – balikpapan rupanya cukup padat dan
menjadi primadona dibandingkan transportasi darat. Alhasil aku tidak
mendapatkan tiket untuk penerbangan sore ini, baiklah berarti nanti malam
menginap di airport dan esok pagi baru melanjutkan perjalanan udara banjarmasin
– balikpapan – berau. Kegiatan hari ini hanya bermalas-malasan di penginapan,
sambil browsing mencari info-info penting seputar derawan. Kesalahan, aku jadi
ingin menambah destinasi lagi ke biduk-biduk andai budget dan waktu masih
cukup.
Tak ada pilihan untuk trasportasi ke airport
selain ojek. Angkot harus beberapa kali berganti armada, tak banyak info yang
kudapatkan. Tak ingin mengambil resiko, akhirnya aku memilih ojek dengan ongkos
empat puluh ribu rupiah yang awalnya memasang tarif lima puluh ribu rupiah.
Driver tersebut mengira aku akan ikut penerbangan sore ini, kecepatan mulai
dikurangi setelah mengetahui bahwa aku tak terburu-buru dengan waktu.
28 November 2016
Pagi-pagi belum mandi hanya sempat gosok gigi, aku
melanjutkan perjalanan ke Balikpapan dengan jadwal penerbangan pagi. Cuaca
terlihat kurang bagus ditambah penerbangan ini menggunakan pesawat ATR
membuatku sedikit cemas, terasa lebih buruk dari penerbangan pertamaku.
Ditambah lagi penumpang sebelah yang membungkukkan badannya, tak mampu lagi
menopang kepalanya. Suasana kabin semakin harmoni dengan lagu menunggang badai
dari barasuara yang sedang kudengarkan dari smartphone.
Balikpapan – Berau kembali lagi menggunakan
pesawat ATR dari maskapai yang namanya mirip sabun colek, hanya saja kondisinya
jauh lebih bagus seperti baru bila dibandingkan dengan yang tadi. Tiba di
Bandara Kalimarau disambut hujan rintik-rintik, sejuk suasana karena lokasinya
memang di kepung hutan yang masih cukup lebat. Gerimis kuterjang segera
meninggalkan lingkungan airport untuk mencari kendaraan menuju tanjung batu,
tempat pemberhentian terakhir sebelum ke pulau derawan. Tiba-tiba ada angkot
yang melintas, ku berhentikan dengan melambaikan tangan. Bisa antar sampai
tepian sentral tanjung redeb? tanyaku. Ooh bisa bang jawab pak sopir.
Perjalanan tak berlangsung lama, mungkin sekitar 15 menit. Pak sopir minta
ongkos 50k, aih mahal sekali. Maka terjadilah tawar menawar dan sedikit
perdebatan. Akhirnya aku kasih ongkos duapuluh ribu dengan muka kusut kalang kabut
plus bonus omelan sopir angkot. Kemudian disebrang jalan sudah banyak kendaraan
travel yang berjajar mengantri menunggu penumpang. Kata pak usup salah satu
sopir tanjung redep – tanjung batu, tarif angkot jauh dekat itu kisaran 5-10k
saja. Naah kan, praktek perkentelan mengingat tarif menuju tanjung batu hanya
100k dengan lama perjalanan kira-kira 4 jam.
Sebentar lagi hari beranjak gelap, langit dipenuhi
awan mendung dan gelombang laut kurasa tak terlalu bersahabat karena boat yang
saya tumpangi goyangannya lumayan liar. Tak butuh waktu lama untuk menyebrang
dari tanjung batu ke pulau derawan, ya sekitar 30 menit saja. Banyak sekali
boat yang lalu lalang, jadi tak perlu khawatir. Penuh atau tidak, berangkat
sudah terserah sang nahkoda hehehe. Sebelum sandar di pulau, saya diantar
keliling dulu mencari penginapan diatas laut. Tarifnya lumayan sih tapi
semuanya tidak cocok dengan budgetku. Sudah pak, sandar saja dulu biar nanti
aku cari sendiri. kalo di perkampungan mungkin harganya akan lebih murah. Akhirnya
aku menginap di Ilham losmen, dengan tarif seratus ribu per malam.
29 November 2016
Sepertinya aku akan tinggal lebih lama berada di
derawan, tidak sesuai rencana awal. Sesuai perkiraanku, resiko berkunjung ke
derawan di saat weekday yaitu sulit mencari barengan (share cost) untuk hoping
island. Jika berkeliling pulau sendirian rasanya terlalu over budget karena
tiba-tiba aku memiliki ide setelah meninggalkan derawan hendak melanjutkan
perjalanan ke biduk-biduk atau kawah ijen. Ijen, karena opsi termurah rute
pulang adalah penerbangan berau – surabaya. Tak terlalu sulit menjangkau kawah
ijen dari ibukota jawa timur.
01 Desember 2016
Sehabis subuh waktu Indonesia tengah aku bersama
firman mulai berkumpul di dermaga. Firman adalah temen share cost dalam
perjalanan mengelilingi pulau disekitar derawan. Seandainya kemarin tidak
berjumpa dengan firman, mungkin hari ini aku akan meninggalkan derawan karena
saldo di kantong kian hari kian menipis. Cuaca pagi ini tidak sebaik hari-hari
kemarin, semoga kami diberi keselamatan. Awan mendung dan hujan rintik menemani
perjalanan dalam mengarungi laut, dengan boat kecepatan tinggi. Goncangan cukup
keras karena gelombang laut lumayan tinggi. Hasilnya nihil kala kami hendak
melihat gerombolan hiu paus maupun ikan pari manta, tak satupun spot yang
nampak. Akhirnya kami memutuskan melanjutkan perjalanan ke pulau kakaban. Pulau
ini memiliki daya tarik dengan habitat ubur-ubur yang tidak menyengat. Suasana
sangat sepi, hanya kami berdua beserta guide dan petugas penjaga pulau.
Nampaknya kami datang terlampau pagi, apalagi ini bukan weekend. Aku jadi
sedikit kurang enjoy berenang di danau karena merasakan hawa-hawa agak mistis.
Terlebih cahaya mentari terhalang oleh gumpalan awan mendung sehingga gradasi permukaan
danau menjadi kurang bercahaya.
Untuk menghemat budget, malam ini aku memutuskan
untuk bermalam di pinggir pantai dekat kantor polisi air. Setelah
bertanya-tanya pada warga sekitar, cukup aman dari tindakan kriminal apabila
hendak gelar hammock. Sepi itu indah bagi beberapa manusia yang bisa
merayakannya. Perenunganku berakhir bersamaan dengan daya baterai smartphone
yang mulai menipis. Tengah malam aku terbangun karena mendengar suara kendaraan
roda dua yang berhenti di piggir pantai,tak jauh dari keberadaanku. Cukup
menarik perhatianku, semoga bukan preman kampung. Mereka berdua semakin
mendekat kearahku, aku mengintip dari celah-celah antara flysheet dan hammock.
Aku berinisiatif untuk menyapa mereka lebih dulu, setelah berkenalan ternyata
mereka berdua adalah petugas dari konservasi penyu. Mereka sedang memantau
keberadaan telur penyu yang sudah ditemukan beberapa hari yang lalu.
02 Desember 2016
Hari ini aku meninggalkan pulau derawan, meskipun
pesawat menuju ke Surabaya berangkat hari sabtu sore. Hari ini aku akan
membunuh waktu di airport, batal rencana ke biduk-biduk karena faktor budget.
Penerbangan paling murah untuk tujuan ke Surabaya hanya pada hari sabtu esok.
Baiklah, plan berikutnya aku berencana mengunjungi kawah ijen. Surabaya –
Banyuwangi akan aku tempuh dengan kereta api, kemudian setibanya di stasiun karangasem
aku berencana rental motor karena berdasar info banyak penyewaan kendaraan roda
dua disana.
Pukul tiga sore waktu setempat aku sudah sampai di
bandara, nyaris tak ada pertokoan di sekitar bandara. Beruntunglah tadi di kota
sempat berbelanja kue dan air minum cukuplah untuk bekal seharian. Bandara
Kalimarau memang letaknya di kelilingi hutan belantara, hanya ada satu warung
dan hanya buka pagi sampai sore hari. Semakin gelap, semakin sepi suasana.
Menyisakan 3 calon penumpang termasuk aku. Malam itu aku mendapat teman baru,
Pak Aswin namanya. Pria asal surabaya yang sedang sial hari itu. Ia
menceritakan musibah yang sedang menimpa dirinya. Semakin berat bebannya karena
Ia tak membawa bekal sedikitpun. Akhirnya aku berbagi bekal dengan beliau,
serta berbagi tawa untuk meringankan masalah yang sedang beliau hadapi.
03 Desember 2016
Aiiihh hari terakhir di borneo, pukul sepuluh kami
sarapan di warung tepat di muka bandara sebrang jalan raya. Ternyata pemilik
warungnya juga orang jawa, asli jombang. Pukul 12.00 WITA Pak Aswin pamit
pulang lebih dahulu. Sedangkan aku masih menuggu 3 jam lagi, itu pun bila tidak
delay. Maskapai Sriwijaya Air mengantarku pulang kembali ke Jawa. Setibanya di
Bandara Juanda, bertepatan dengan kick off timnas Indonesia berlaga. Aku pun
bersantai dulu menikmati laga via streaming.
Pertandingan berakhir, muncul keraguan untuk pergi
ke kawah ijen. Ada firasat tidak enak di hati, ditambah bulan desember dengan
cuaca kurang baik. Akhirnya aku memutuskan untuk menunda plan ke kawah ijen,
dan malam ini aku kembali menikmati rute klasik jalur surabaya – solo dengan bus.
Bus patas eka menjadi pilihan karena aku ingin tidur didalam bus, naik eknomi
terlalu beresiko dengan barang bawaan. pulang.....
rincian biaya:
Semarang – Banjarbaru Lion air 543k
Taksi Bandara 135k
Penginapan di Banjarmasin 160k
Ojek Banjarmasin – Bandara 55k
Banjarmasin – Berau Wings air ATR 834k
Kalimarau – Pangkalan travel derawan 30k
Tanjung redeb -
Tanjung batu 100k
Boat Tanjung Batu – Derawan 100k
Penginapan di Derawan 100k/Night
Hoping island + Camera Underwater 800k
Berau – Surabaya Sriwijaya air 575k
Kontak transportasi:
Boat Derawan 085249971740
Losmen Ilham Derawan 085246046740
Travel Tj Redeb – Tj Batu Usup 085246810885