Dyas, begitulah beberapa teman memanggilanya.
Namun ditanah kelahirannya dia lebih dikenal dengan nama Ikhsan. Semenjak duduk
dibangku kuliah, dia memang mulai akrab disapa dengan nama dyas. Baiklah,
langsung to the point saja karena dia mulai kesulitan mencari waktu “nyuwung” untuk
mengabadikan catatan perjalanannya. Ya, fenomena semenjak lulus dari bangku
kuliah (akhirnya dia lulus juga hehehe).
3 tahun belakangan ini dia mulai aktif bersepeda
setiap hari “ngepit saben dinten”, perjalanan demi perjalanan yang dilaluinya telah
membentuk karakter cinta lingkungan. Tinggal di kota kecamatan dengan mobilitas
rendah, membuatnya memilih untuk bike to kamanawae. Wujud mencintai lingkungan
dengan cara mengurangi polusi, tidak sulit namun juga tidaklah mudah.
Semester empat belas, dia kembali ke kampus Undip
Tembalang untuk menyelesaikan tanggung jawabnya sebagai mahasiswa. Mulai
terbiasa degan gaya hidup ramah lingkungan membuatnya merantau tanpa kendaraan
bermotor. Dia memutuskan untuk menggunakan sepeda lipat sebagai moda
transportasi sehari-hari. Memang sepeda ini terbilang paling praktis, karena
bisa dibawa naik ke gerbong kereta tanpa dipungut biaya. Sehingga kalau hendak
pulang kampung tinggal mix commuting dengan KA kedungsepur, blora jaya, maupun
kereta lainnya.
Tahun dua ribu tujuh belas dia mulai merencanakan
sebuah perjalanan dengan menggunakan sepeda kesayangannya. Lumayan, kali ini dia
mendapatkan jatah libur selama seminggu. Setelah ngulik sana-sini akhirnya dia
memutuskan pulau bali sebagai tujuannya. Jika full gowes jelas waktu yang
dimilikinya tidaklah cukup, paling efektif adalah mix commuting dengan kereta
api. Namun dia juga ingin melakukan pendakian ke Gunung Agung untuk melengkapi kepingan
perjalanannya mendaki gunung-gunung di kawasan selatan nusantara.
Berdasarkan referensi sana-sini dari berbagi sumber
bloger, dia menarik kesimpulan bahwa gunung agung ini cukup efektif jika
dilalui dengan tektok (naik langsung turun) karena minim lokasi campground dan
tidak adanya sumber air untuk jalur pura besakih. Oke rencana sudah cukup
matang, lagi-lagi dia memutuskan untuk pergi seorang diri. H-1 dia mulai packing,
dengan keril 32L kesayangannya. Peralatan pendakian dan perlengkapan sepeda
mulai dikemas. Keril sudah penuh, namun barang bawaan belum semuanya dikemas.
Mau menggunakan keril 60L tapi dirasa terlalu besar. Perbekalan mulai disortir,
barang-barang yang minim fungsi mulai di eliminasi. Sleeping bag dia tinggalkan,
peralatan tidur hanya hammock dan sleeping pad. Sepatu trekking juga Ia tinggalkan,
pake sepatu running sepertinya masih mumpuni. Cooking set bawa yang simple
saja, yang penting cukup untuk seduh kopi. Semuanya sudah dalam pertimbangan yang
cukup matang, berangkat!.
07 Mei 2017
Sepeda mulai dikayuh dari rumah menuju tempat
transit pertama yaitu stasiun ngrombo. Jaraknya cuma 3 kilometer, kemudian
bertolak ke Surabaya dengan kereta api Maharani. Disana dia sudah janjian
dengan seniornya, bahaya jika tidak sungkem sama beliau wkwkwkw. Pendakian
bersamanya waktu ke arjuno – welirang mengajarkan banyak hal, terutama tentang “gear
adalah nyawa kedua”. Sore menjelang malam dia telah sampai di Stasiun Surabaya
Pasar Turi, kemudian malam harinya dia ngopi-ngopi syahdu bersama seniornya di
minimarket kawasan Gubeng, tepat disamping stasiun.
Pukul 22.00 mereka berpisah, dia mulai melanjutkan
perjalanan menuju Banyuwangi dengan kereta api mutiara malam. Tak banyak yang
bisa diceritakan dalam perjalanan ini karena dia benar-benar full tidur agar
besok pagi fit melahap rute 125 kilometer pesisir selatan pulau dewata.
08 Mei 2017
Adzan subuh menandai kedatangannya di Stasiun
Banyuwangi Baru. Stasiun yang cukup berkesan baginya. Pertama kalinya dia naik
kereta yaitu finish disana, tidur disana. Ini merupakan kali ketujuh dia
singgah disana, kurang lengkap rasanya jika belum makan nasi bungkus yang
dijajakan diatas sepeda onthel. Pejualnya ternyata belum tergantikan, masih
sama seperti 4 tahun yang lalu. Ingatanya seakan dibuka kembali, samar-samar
melihat teman-temannya berada disekelilingnya.
Perjalanan kembali dilanjutkan menuju Pelabuhan Ketapang,
selangkah lagi akan sampai di garis start. Dia merasa ini semacam perjalanan
nostalgia, mengenang kembali lembaran lama. Akhirnya dia sampai di Gilimanuk,
perjalanan dimulai. Baru beberapa kayuhan dia melihat sebuah posko mudik tak
berpenghuni, dua tahun lalu dia pernah bermalam disana. Sepedanya masih terus
dikayuh, memasuki kawasan taman nasional bali barat perasaanya mulai agak
cemas. Banyak kera-kera liar dipinggir jalan. Belum lagi anjing, sempat ada
insiden dikejar seekor anjing yang mambuat nafasnya tak berirama. Setelah
kejadian tersebut, dia istirahat sejenak sambil mengatur nafas.
Perjalanan kembali dilanjutkan, perlahan namun
pasti aln-alon waton kelakon. Check point kedua berhenti di warung masakan
padang sepertinya pilihan yang tepat. Dia pun sampai di pusat keramaian kawasan
Negara, tepatnya di Kelurahan Tegalcangkring. Namun dia masih enggan memarkir
sepedanya. Warung padang pertama terlewati, kedua juga terlewati, begitu pun seterusnya.
Sebenarnya dia tak terlalu paham dengan rute gilimanuk – denpasar karena
perjalanan-perjalanan sebelumya dia selalu tertidur didalam bus. Lepas dari
kawasan Negara, mulai menyusuri area persawahan. Cukup sulit menjumpai warung
makan, yang ada hanya warung-warung klontong. Seakan-akan dia mendapatkan
ganjaran atas sikpanya yang kerap menunda-nunda itu hahahaa. Setiap melihat
warung, hampir pasti dia singgah. Sekedar menyantap roti untuk mengusir rasa
lapar dan minum agar terhindar serangan dehidrasi. Jalan naik turun nikmati
saja, sungguh ini diluar perkiraannya. 125 kilometer yang menurut google maps
sanggup ditempuh dengan waktu 8 jam sepertinya meleset. Start yang Ia mulai
dari pukul 08.00 tadi perkiraan akan
sampai denpasar sekitar pukul 4 sore, meskipun tak memasang target khusus. Yang
penting sampai di Ibukota Provinsi sebelum hari gelap.
Memasuki kawasan Pulukan, pemandangan laut disebelah kanan cukup membawa angin sejuk untuk terus mengayuh. Namun didepan sana mendung gelap telah menanti. Dalam perjalanan dia melihat sebuah posko di seelah kiri badan jalan, singgah sejenak untuk berpikir. Arlojinya sudah menunjuk pukul empat sore dan kota denpasar masih sekitar 40 kilometer lagi. Mulai ragu, ditambah lagi kurang paham kondisi daerahnya. Lepas dari Negara tak kunjung menemui pusat keramaian mempengaruhi mentalitasnya. Sempat muncul pikiran untuk mengakhiri perjalanan kemudian dilanjutkan dengan naik bus. Tapi, kapan lagi ke Bali? mungkin perjalanan ini tak akan bisa diulang kembali. Semangatnya kembali berkobar, sambil berdoa semoga tidak turun hujan. Memasuki kawasan Tabanan, dia kembali teguh pada tekadnya karena menjumpai keramaian. Hendak berhenti di warung padang tapi dalam hatinya berkata “tanggung, hajar terus. hari juga hampir gelap”. Dia hiraukan rasa lapar (Jangan ditiru, berbahaya. Namun dia merasa kondisi tubuhnya memang masih sanggup untuk jalan terus. Hanya anda sendiri yang tahu batas kemampuan anda).
Memasuki kawasan Pulukan, pemandangan laut disebelah kanan cukup membawa angin sejuk untuk terus mengayuh. Namun didepan sana mendung gelap telah menanti. Dalam perjalanan dia melihat sebuah posko di seelah kiri badan jalan, singgah sejenak untuk berpikir. Arlojinya sudah menunjuk pukul empat sore dan kota denpasar masih sekitar 40 kilometer lagi. Mulai ragu, ditambah lagi kurang paham kondisi daerahnya. Lepas dari Negara tak kunjung menemui pusat keramaian mempengaruhi mentalitasnya. Sempat muncul pikiran untuk mengakhiri perjalanan kemudian dilanjutkan dengan naik bus. Tapi, kapan lagi ke Bali? mungkin perjalanan ini tak akan bisa diulang kembali. Semangatnya kembali berkobar, sambil berdoa semoga tidak turun hujan. Memasuki kawasan Tabanan, dia kembali teguh pada tekadnya karena menjumpai keramaian. Hendak berhenti di warung padang tapi dalam hatinya berkata “tanggung, hajar terus. hari juga hampir gelap”. Dia hiraukan rasa lapar (Jangan ditiru, berbahaya. Namun dia merasa kondisi tubuhnya memang masih sanggup untuk jalan terus. Hanya anda sendiri yang tahu batas kemampuan anda).
Akhirnya pukul 20.00 Waktu Indonesia Tengah dia
sampai di Denpasar, lalu finish di warung nasi padang. Langsung saja pesan nasi
padang double serta rendangnya dua. Itu merupakan nasi padang ternikmat yang
pernah Ia santap. Mungkin karena perjuangannya hehehe. Selepas bersantap ria,
kemudian Ia bergegas mencari penginapan
untuk recovery sembari memikirkan rencana esok hari menuju pura besakih.
Lumayan sulit mencari penginapan sesuai budget
yang diinginkan melalui aplikasi, akhirnya dia melipir ke kawasan sanur. Nah
disana dia mendapatkan penginapan yang sesuai. Setelah check in, bergegas mandi
agar segala macam kotoran bercampur keringat serta polusi menghilang dari
badan. Badan kembali rileks, mulai menyusun strategi esok hari. Dia mulai
mengurungkan niat untuk bersepeda ke Pura Besakih, karena menurut perkiraannya
internal gir sram 3 speed tak akan mampu melahap tanjakan menuju kesana. Oke berarti
besok dia harus mencari rental motor. Lalu mencari guide dalam pendakian karena
ada aturan wajib porter per tim. Cari sana-sini tarifnya tidak masuk di budget
karena rata-rata diatas 500k. Akhirnya ada satu guide yang pasang tarif 300k,
dengan catatan dia digabungkan dengan rombongan dari Jakarta. Okelah tidak
masalah baginya. Plan untuk besok sudah rapi, waktunya dia istirahat agar
tubuhnya kembali bugar.
09 Mei 2017
Cuaca cukup cerah pagi itu, membuat dirinya kembali
bersemangat melanjutkan perjalanan menuju kaki gunung agung. Sarapan warteg di
Bali, penjualnya orang jawa. Semacam warung makan lintas budaya. Hari ini dia
agak santai, tidak terlalu diburu waktu. yang penting sore hari sudah sampai di
besakih. Waktu tempuh dari denpasar menuju besakih sekitar dua jam menggunakan
sepeda motor. Sampai di tempat rental motor, dia menitipkan sepeda
kesayangannya. Benar saja, beruntung dia mengurungkan niat bersepeda menuju
besakih karena tanjakannya lumayan membuat matic beat rentalan ini “ngeden”. Sekitar
pukul 18.00 dia tiba di kawasan parkir wisata pura besakih. Kebetulan guide
yang akan mendampinginya dalam pendakian juga memiliki warung di area parkir
wisata jadi cukup mudah untuk bertemu dengan beliau.
Rombongan dari Jakarta perkiraan akan tiba
dinihari nanti dan meraka direncanakan memulai trekking pukul 03.00 dinihari.
Wasting time yang cukup lama baginya, udara besakih yang lumayan dingin
berhasil merangsang rasa kantuknya. Dia pun menggelar sleeping pad dan bermalam
di warung. Tidur dengan rasa was-was karena cukup banyak anjing disana.
10 Mei 2017
Pendakian dimulai, tak ada sedikitpun keraguan
dalam dirinya bersama teman-teman barunya yang berjumlah enam orang. Beberapa
peralatan sepeda dia tinggalkan di bagasi motor beserta barang-barang yang
kurang berguna dalam pendakian. Logistik yang dia bawa adalah yang siap santap.
Roti, coklat, snack, sesuai perhitungannya. Dua jam perjalanan Ia mulai ragu,
dia melihat bahwasannya rombongan tersebut ada yang membawa tenda. Lalu yang
membawa keril justru diisi beban berat sedangkan yang membawa daypack hanya
diisi baju ganti yang bobtnya cukup ringan. Menurut sudut pandangnya jelas
manajemen packing tersebut kurang efektif. Sampai di POS 1 keraguannya makin
bertambah karena rombongan tersebut ternyata tidak membawa gas. Beruntunglah
dia membawa gas yang rencanya hanya untuk seduh kopi. Kesabarannya benar-benar
diuji.
Arloji menunjukkan pukul 08.00 namun POS 2 belum
juga berhasil di capai. Puncaknya adalah ketika guide berbicara empat mata
dengannya “mas, jika seperti ini terus tidak akan berhasil sampai top”. Nah,
disini dia mulai mencari solusi terbaik baik bagi dirinya dan teman-teman
barunya. Akhirnya setelah berkumpul semua, dia mengusulkan untuk beberapa
barang bawaan rombongan tersebut sedikit dikurangi. Dengan kondisi tersebut,
jelas tidak mungkin mendirikan tenda. Sebaiknya ditinggal di semak-semak.
Apabila terjadi kondisi darurat, ternyata guide mereka sudah meninggalkan tenda
kapasitas 4 tepat di kori agung (POS 3).
logistik yang rumit sebaiknya juga ditinggal, toh rombongan
tersebut juga tidak membawa gas. Baju ganti juga sebaiknya ada yang ditinggal
karena melihat kondisi alam cukup cerah. Namun mereka masih enggan mengurangi
barangnya karena di khawatirkan hilang. Dia kembali meyakinkan teman-teman
barunya bahwa di lokasi parkir tadi tak terlalu banyak kendaraan jadi
kemungkinan yang mendaki satu atau dua orang. Prediksinya juga pasti pendaki
WNA, hampir pasti meraka tidak suka mencuri. Akhirnya usulannya disepakati dan perjalanan
kembali dilanjutkan. Irama langkah kakinya lebih cepat, tidak seperti tadi.
Pos 3 telah dicapai, mereka memutuskan istirahat
untuk masak mie instan. Tabung gas ia keluarkan dari ransel, lalu ia pinjamkan
ke rombongan lain. Dia cukup menikmati dua potong beng-beng dan kopi hangat.
Cukup ampuh menurunkan tingkat emosinya. Dia ditawari mie instan namun
ditolaknya secara halus karena dia sedang mengukur kemampuannya. Mencoba memaksimalkan
perhitungan logistik yg sudah dia bawa.
Sembari istirahat sruput-sruput kopi yang mulai dingin, dia dibuat takjub dengan rapatnya hutan di sekeliling Gunung Agung dan Gunung Batur benar-benar masih terjaga. Memang aturan adat dan sanksi adat masih berlaku disana, jadi jika hendak tebang pohon maka mereka juga harus tanam. Samar-samar dari kejauhan juga Ia melihat Gunung Raung gagah menjulang, salah satu gunung yang Ia impikan pula.
Tepat pukul 12.00 mereka semua berhasil mencapai
atapnya pulau dewata. Dibawah matahari yang cukup terik, tak perlu berlama-lama
diatas sana karena kabut mulai beranjak naik ke atas. Dalam perjalanan turun,
dia sengaja berada di paling belakang. Ada sesuatu hal yang dirasakannya.
Entahlah, dia merasa enjoy meski tertinggal jauh dari rombongan. Berbeda dengan
gunung-gunung lainnya. Pukul 18.00 dia sampai kembali di pura besakih,
setelah menyelesaikan kewajiban dia langsung berpamitan dan bergegas kembali ke
Denpasar. Pendakian yang mengajarkan banyak hal, terutama tentang manajemen
packing.
Plan berikutnya adalah bertolak kembali ke jawa, untuk
mempersingkat waktu perjalanan denpasar – gilimanuk sepedanya dilipat dan
diangkut menggunakan bus. Rencana selanjutnya adalah melanjutkan perjalanan
Banyuwangi – Surabaya – lalu lanjut ke Kutoarjo mengunjungi kawan lama. Kemudia
sebelum pulang tak lupa untuk singgah semalam di Jogja.
Nikmat Bersepeda. . . . . .