Surabaya - Ternate - Binaiya - Makassar - Bulukumba - Enrekang - Surabaya.
ceritanya begini hehehe masih mengumpulkan semangat ☺☺
Coming soon......
Tuna Berkelana
Taman laut yang indah di kawasan hutan rimba, gunung-gunung berapi sebagai pagarnya
Rabu, 27 Februari 2019
Gunung Kerinci dan Atmosfer Jawa.
Tahun dua ribu tujuh belas, merupakan tahun dimana
aku mulai memasuki fase yang baru dalam
perjalanan hidupku. Setelah menyelesaikan masa studi, aku mulai terjun
di dunia kerja. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, dimana mau bepergian kemana
saja tinggal bikin plan lalu berangkat. Namun aku teteap menikmati fase baruku
ini, jika dirasa butuh piknik tinggal ambil sepeda lalu city tour ke kota
sekitar seperti joglosemar misalnya. Itu saja sudah cukup, walau cuma sekedar
kuliner dan berburu kopi. Kadang-kadang bersama temen-temen pesepeda, namun
kadang-kadang juga sendiri karena aku masih membutuhkan yang namanya “me time”.
Imajinasi ini harus tetap dipelihara.
Bersepeda sudah menjadi bagian hidupku, selain
untuk kebugaran juga sebagai wujud nyata peduli terhadap lingkungan, karena
dapat mengurangi polusi serta kemacetan kota. Apalagi dengan mobilitasku yang
tak terlalu tinggi ditambah lagi tinggal di kota yang cukup mungil.
Sebenarnya aku berencana berangkat ke kerinci
tahun lalu bertepatan dengan jambore sepeda lipat bangka 2016. Aku berencana
membawa sepeda ke pulau bangka dengan kapal, lalu trasit di palembang
mengunjungi sahabt lamaku kemudian lanjut ke kerinci. Namun plan ini gagal
terlaksana karena skripsi belum kunjung usai memasuki bulan delapan. Dosen
pembimbing kesayanganku bisa murka nanti hehehe.
Menyambut penghujung tahun 2017, aku berencana
mengambil cuti dan merealisasikan perjalanan menuju gunung api tertinggi di
nusantara. Terhitung tahun ini aku baru sekali mendaki gunung yaitu gunung
agung pada bulan april kemarin. Aku mulai rindu udara sejuk pegunungan,
hawa-hawa pedesaan, serta rumah-rumah penduduk beratap seng khas dataran
tinggi. Mungkin ini waktu yang tepat untuk mengunjungi kerinci. Aku mulai menyusun
opsi perjalanan dan berburu tiket termurah. Sempat bimbang, karena banyak
beredar kabar bahwa cuaca gunung kerinci sedang tidak bagus. Ditambah
aktivitasnya yang sedang meningkat, pendakian hanya diijinkan sampai shelter 3.
Aku memutuskan untuk berangkat dari jogja karena
jika dihiutng-hitung paling efektif, lebih murah, dan tak perlu transit
meskipun penerbangan berlangsung hampir tengah malam. Yaa alamat tidur di
bandara minangkabau. Rencana awal berangkat saat libur natal, namun aku
percepat lagi untuk menghindari lonjakan harga tiket. Hampir setiap hari aku
memantau situs perkiraan cuaca dari berbagai sumber, untuk menentukan hari yang
tepat dalam pendakian. Meskipun cuaca di gunung tidak dapat di prediksi, namun
setidaknya aku sudah melakukan persiapan dengan mengestimasi kemungkinan terburuk.
Baiklah, tanggal delapan bulan dua belas tahun dua ribu tujuh belas berangkat
sudah!
Bagus dan Farid tidak bisa ikut serta dalam
pendakian, begitu juga dengan Afif. Akhirnya aku memutuskan berangkat seorang
diri, aku merasa inilah saatnya. Nyaris tak ada keraguan. Perjalanan dimulai
dengan naik bus menuju kota Surakarta dengan armada yang cukup terkenal
seantero wilayah grobogan yaitu RELA. Singkatan dari rejeki lancar, bus ini
memang terkenal dengan kecepatan dan manuvernya. Apalagi kalo sudah memasuki
rute berliku-liku hutan monggot. Adrenalin seakan dipompa, belum lagi suara
klaksonnya yang menyerupai kapal laut.
Sampai di kota solo, perjalanan dilanjutkan dengan
KA Prameks. Kereta api andalan warga solo klaten jogja dan kutoarjo. Kemudian
aku turun di stasiun maguwo, tinggal jalan kaki menuju Bandara Adi Sucipto.
Jarum pendek menunjuk antara angka 7 dan 8, padahal pesawat berangkat pukul
23.00. Kalo tidak delay hehehehe. Ternyata beneran delay, berangkat pukul 00.00.
Mata sudah kantuk namun sedikit kutahan-tahan, karena takut ketinggalan
pesawat. Atau delay lebih lama lagi juga gakpapa jadi aku gak perlu ngemper di
bandara minangkabau. Eh, tapi aku juga kangen suasana ketika ngemper. Ada
kepuasan tersendiri.
09 Desember 2017
Pukul 01.30 dinihari aku mendaratkan kaki di
Ibukota Sumatera Barat, aku belum ingin bergerak karena aku buta dengan kondisi
kota ini. Aku memilih menyepi di bandara dekat colokan listrik sembari browsing
info-info penting seputar kerinci. Perjalanan kali ini akan ditemani dengan
playlist-playlist dari John Mayer. Lagu a face to call home menghalusinasiku
pukul tiga dinihari.
Matahari mulai menyinari lagit-langit kota Padang,
aku dijemput oleh driver dari PO Ayu Transport dengan tujuan Sungai Penuh. Mendapatkan
kursi bagian belakang, duduk bersanding dengan barang bawaan penumpang lainnya.
Tak ada lawan bicara. Kira-kira pukuk sepuluh aku mulai meninggalkan kota
legenda Malin Kundang. Melewati Gunung Talang, kondisi sinyal smartphone mulai
tidak stabil. Hal ini berpotensi menguras baterai padahal aku masih buta
situasi Kayu Aro. Aku hanya berpesan pada driver bahwa aku turun di simpang
macan atau tugu macan. Aku sedikit ragu namun mencoba berpikir positif karena
tampaknya driver kurang mahir berbahasa Indonesia.
Aku disuguhi pemandangan indah dari danau diatas
dan dibawah. Mobil yang aku tumpangi membelah keduanya, berada diantaranya.
Ingin rasanya berhenti sebentar, mengabadikan momen, untuk kenang-kenangan
sekaligus bahan cerita anak maupun cucuku kelak.
Tercatat pukul 16.30 aku tiba di simpang macan
(meskipun drivernya sedikit kebingungan). Aku disambut hujan bercampur kabut,
penjual gorengan memecah konsentrasiku. Gunung kerinci bersembunyi dibalik
kabut, tak seperti gambar-gambar yang beredar di google. Aku berteduh di teras
toko yang sudah tutup, belum tahu hendak kemana. Banyak homestay disekitar
sini, namun aku masih mencari opsi lain. Akhirnya muncul tag lokasi di google
maps bernama Basecamp Mak Jus yang letaknya juga tidak jauh dari simpang macan,
sekitar 400 meter.
Tiba didepan pintu dengan kondisi agak basah, ku
turunkan kerilku. Suasana basecamp yang cukup sepi dengan keadaan pintu yang
tertutup, namun masih meninggalkan sedikit celah. Masih terdengar suara
televisi dan terlihat cahaya lampu neon. Aku disambut oleh Sugi yang kebetulan
sedang menyasikan pertandingan sepakbola liga Indonesia. Setelah berdialog
singkat, karena mengetahui aku berasal dari jawa dan Ia pun menyahut “ngomong
jowo wae mas” artinya berbicara bahasa
jawa aja mas. Ternyata benar, masyarakat kayu aro adalah orang jawa yang belum
pernah menginjakkan kaki di jawa meskipun tidak semuanya. Lahir di Jambi, besar
di Jambi, namun mahir berbahasa jawa. Menurut cerita, dulunya pada masa
penjajahan banyak orang jawa yang dibawa ke kayu aro dan dijadikan buruh teh.
Seiring berjalannya waktu mereka menetap disini dan jumlahnya semakin
bertambah. Bahasa jawa masih digunakan sebagai bahasa sehari-hari, makanya
banyak anak muda disini yang tidak tahu berasal dari jawa bagian mana meskipun
ia mahir berbahasa jawa.
Kembali ke perjalananku, Sugi ini biasanya juga
antar tamu untuk mendaki namun karena sedang tidak enak badan akhirnya besok
aku akan ditemani oleh Pakdhe Lan. Malam itu kami bercengkrama untuk saling
mengenal dan menyusun rencana esok hari. Plan yang ku buat adalah 3H2M namun
menurut pakdhe cukup 2H1M aja. Hari pertama langsung menuju shelter 3. Baiklah,
aku mengikuti saran dari pakdhe yang sudah berpengalaman. Karena mahir
berbahasa jawa, jadi aku tak terlalu kesulitan bercengkrama dengan beliau. Aku
ijin untuk istirahat lebih dahulu agar besok pagi kembali fit setelah seharian
penuh berada didalam mobil.
10 Desember 2017
Membuka pintu basecamp dan melongok keluar, aihh
gunung kerinci masih enggan memperlihatkan wujudnya. Masih berselimut kabut
tebal, namun suasana sekitar sudah ramai dengan aktivitas masyarakat yang
hendak pergi ke kantor hehehe kebun maksudnya. Bagitulah candaan masyarakat
disini. Berjalan-jalan disekitar basecamp sembari melengkapi perbekalan untuk
pendakian.
Pukul 09.00 pagi aku dan pakdhe memulai pendakian.
Meskipun sudah lama tidak mendaki namun stamina ku masih terjaga karena setiap
hari bersepeda. Pakdhe diposisi paling depan, langkahnya cukup cepat. Aku
mengikuti iramanya, bisa dikatakan jarang berhenti. Kami berhenti ketika pakdhe
hendak menunjukkan tanaman obat-obatan atau endemik hutan kerinci atau jika
jarak kami sudah terpaut jauh hehehe usia hanyalah angka.
Kami singgah sejenak di Pos 1, bercengkrama dengan
rombongan lain. Waktu itu tamunya dari warga mancanegara, jadi tak banyak
dialog yang kami lakukan karena bahasa inggris ku masih kalang kabut.
Perjalanan dilanjutkan, diatas pos 1 tepatnya disebelah kiri akan menjumpai
sumber air (ketinggian sekitar 2000 mdpl). Pakdhe mengambil 600 ml, minum dulu
mas airnya sebagai tanda perkenalan. Glek glek glek ahhh kesegaran khas air
pegunungan. Jalur pendakian via kersik tuo ini sesekali aku melihat bekas jejak
harimau, lumayan menyiutkan nyali.
Pukul 12.00 kami telah sampai di shelter 1. Plan
yang aku buat sebelum berangkat yaitu camp 1 kalau gak shelster 1 ya shelter 2.
Beruntunglah pendakian kali ini ditemani pakdhe, masih banyak waktu tersisa dan
kata beliau kalau jalannya seperti ini terus kami akan sampai di shelter 3
sebelum gelap. Cukup lama kami istirahat di shelter 3 meskipun hanya sekedar
seduh kopi dan nyemil biskuit. Setelah 30 menit, kami kembali melanjutkan
perjalanan karena hawa dingin mulai menyerang. Cuaca hari itu masih belum bagus,
masih berselimut kabut dan awan gelap. Kondisi shelter 1 ini cukup luas, muat
untuk mendirikan banyak tenda. Luasnya hampir setara dengan lapangan futsal
dengan dikelilingi pepohonan.
Shelter 1 |
Pukul 15.30 kami berhasil mencapai shelter 2, cukup sempit areanya. Bisa menampung 3-4 tenda. Lepas dari shelter 2, aku mulai terseok-seok mengikuti irama langkah pakdhe. Seringkali aku tertinggal jauh, beruntung hujan tidak turun. Sesekali pakdhe memberi semangat dari atas sana. Akhirnya pukul 18.00 kami berhasil mencapai shelter 3, kami pun segera mendirikan tenda. Shelter 3 ini merupakan batas vegetasi, dan cukup muat untuk banyak tenda. Lokasinya tepat di punggungan. Setelah tenda kami berdiri, kabut perlahan pergi. Semburat cahaya oranye mulai nampak di langit-langit, seakan memberi harapan bahwa cuaca esok hari bakal cerah.
Shelter 2 |
Shelter 3 |
Pak dhe bagian masak nasi, sedangkan aku bertugas
masak air dan goreng telur. Pakdhe dari bawah sudah membawa bekal siap santap
yaitu tumis tahu bumbu pedas dan ikan asin. Di shelter 3 ini terdapat sumber
air namun jumlahnya tidak banyak dan kadang-kadang kering. Aku tidak sempat
melihat lokasinya secara langsung. Setelah makan malam, kami pun beristirahat.
11 Desember 2017
Pukul 04.30 kami mulai summit attack. Cuaca nampak
cerah karena lampu-lampu rumah warga terlihat dari atas sini. Aku sangat
bersemangat, namun belum menemukan irama langkah dan nafas yang nyaman. Medan
berbatu membuatku harus memilah pijakan agar tidak longsor yang membahayakan
pendaki dibelakang. Angin yang sesekali berhembus, menyapu telinga. Membuatku
enggan berhenti untuk menghindari hawa dingin. Perlahan namun pasti, aku mulai
menemukan irama seakan semua nyawa dan cakra sudah terkumpul. Pakdhe sudah
duduk santai diatas sana menikmati hisapan rokoknya. Samar-samar terlihat bara
rokok di tangannya. Akhirnya, sampailah aku di 3805 mdpl. Puncak yang tak
terlalu luas, dengan jurang yang menganga. Sesekali kawahnya mengeluarkan asap
hitam yang tipis. Dari sini aku bisa menyaksikan samudera hindia di sisi barat.
Perlahan-lahan matahari mulai naik ke permukaan, melewati cakrawala. Kami
berdua pun turun. Padahal dulu sunrise merupakan momen yang ditunggu. Namun
kini berbeda. Gambar hanya penghias, rasa karsa dari perjalanan itu yang kini
di cari. Kami bergegas turun agar bisa berlama-lama di shelter 3. Begitu sampai
di tenda, kabut perlahan-lahan mulai naik menutupi pendangan yang ada. Sisa
nasi semalam mulai dipanaskan, untuk meningkatkan nafsu makan. Aroma telur
goreng sungguh tiada lawan. Ikan sarden kalengan cukup melengkapi, menambah
rasa syukur ini.
Selesai sarapan, kami mulai berkemas agar tidak
terlalu sore kembali di basecamp. Sol sepatu bagian kiri yang lepas saat
perjalanan turun dari puncak tadi biarlah menjadi kenang-kenangan dari kerinci.
Sepatu tetap dibawa pulang meski sudah dimakan usia. Empat tahun sudah menemani
plesir sana-sini, masih ku siapkan untuk satu gunung lagi di wilayah indonesia
timur. Nanti kalo sudah sampe rumah tinggal di bawa ke tukang sol sepatu
langganan pasti sudah onfire lagi.
Perjalanan turun nyaris tidak ada kendala, kali
ini posisinya berubah. Giliran aku yang berada di depan, karena kalo pak dhe
yang di depan takutnya malah ketinggalan jauh hahahaha. Nah dalam perjalanan
turun aku bertemu dengan tim darmawisata yang sedang menjelajahi pulau sumatera
dari ujung ke ujung. Kebetulan ada sahabat lama ku dalam rombongan tersebut.
Istirahat sejenak dibawah shelter 1 guna melepas rindu. Cukup lama tak berjumpa
hehehe. Bercengkrama sembari membersihkan lumpur-lumpur yang menempel di kaki.
Kami berpisah, melanjutkan perjalanan kami
masing-masing. Sekitar pukul satu kami sudah sampai di pintu rimba, duduk
santai di pinggir kebun menunggu jemputan dari Levi. Begitu sampai di basecamp,
cuci kaki dan tangan kemudian cukup bersemangat untuk menggelar sleeping pad
menikmati tidur sore ini.
12 Desember 2017
Menikmati kerinci dari teras basecamp, yang
langsung menghadap ke gunung dengan hamparan kebun teh yang cukup luas. Kerinci
nampak jelas, hingga ke puncaknya. Cuaca juga cukup bagus hari itu, mungkin
temanku sedang berada di atas sana. Hari ini kuhabiskan untuk jalan-jalan
keliling kampung. Oh ya, aku belum menyempatkan diri untuk ngopi-ngopi di
warung. Cukup sulit mencari warung-warung kopi tradisional disini, karena aku
hanya mencari di sekitar jalan utama kayu aro – sungai penuh. Eh waktu hendak
pulang, nemu satu. Belum ada pengunjungnya, dan aku menjadi yang pertama.
Pemiliknya tak terlalu mahir berbahasa jawa, namun playlist di kedainya lagu
dangdut koplo jawa. Sepertinya musik itu untuk dinikmati, bukan dipahami.
Pokoke joget nda!
Kopi kerinci diseduh manual dengan metode visixty
tersaji di meja, menghadirkan rasa khas arabika yang asam. Namun aku agak
bingung, selama jalan kaki tadi aku belum menjumpai tanaman kopi. Hanya ada tanaman
teh, lalu di sebelah mana area kebun kopi kerinci tersebut ya. Kelihatannya
tidak di kawasan kayu aro.
13 Desember 2017
Motor bebek berwarna hijau muda sudah terparkir di
depan basecamp, pagi-pagi sekali. Kabut masih lumayan tebal, malas beranjak
dari sleeping bag. Hari ini pak dhe mengajak trekking ke gunung tujuh, tapi
tidak bermalam disana. Ngopi-ngopi di pinggir danau enak mas, begitu katanya.
Okelah berangkat pakdhe!
Jarak dari basecamp kerinci ke pintu rimba danau
gunung tujuh lumayan jauh. Ada yang berbeda, penduduk disini tidak mahir
berbahasa jawa seperti penduduk kayu aro. Setelah melakukan registrasi, kami
memulai trekking. Sebelum memasuki pintu rimba, ada sebuah pesan yang tertulis
disana. “Membabat hutan secara liar, bencana anak-cucu di masa depan”. Kukira
perjalanannya akan santai datar-datar saja, ternyata kami harus manaiki bukit
lagi. Danaunya di balik bukit yang itu. Perjalanan yang cukup syahdu, dimana
kami bisa mendengar suara-suara kehidupan penghuni hutan dengan jelas.
Dari atas bukit aku sudah bisa melihat keindahan
danau, namun belum terlalu jelas karena masih terhalang oleh dahan dari beberapa
pohon. Gradasi warna air yang cukup cantik karena matahari bersinar cukup
terik. Lalu kami turun mendekat ke danau, menikmati dari tepiannya. Campground
yang cukup nyaman sebenarnya, karena ada air mengalir yang cukup jernih dari
bukit turun ke danau. Seandainya ada bagus dan farid disini, pasti kami sudah
berlama-lama disini.
Malam hari aku berpamitan, melanjutkan perjalanan
malam ke kota Bukittinggi. Aku penasaran melihat jam gadang yang sewaktu kecil
hanya kulihat dari permainan monopoli. Serta ceritanya yang tersohor hanya aku
dengar dari mata pelajaran sejarah. Satu lagi, kenikmatan teh telur yang cocok
hawa dingin kota kelahiran Bung Hatta.
14 Desember 2017
Kumandang adzan subuh menandai kedatanganku di
kota ini. Kulihat ada warung tenda menjajakan teh talua dengan lampu yang masih
menyala. Letaknya tak jauh dari sebrang masijd. Waktu hendak memesan, ternya
uda sudah berkemas. Belum tau ingin kemana, aku kembali ke Jam Gadang. Disana
tersedia kursi-kursi untuk tiduran. Pasang headset di telinga, nikmati suasana
yang ada.
Arloji menujukkan pukul lima pagi, mulai ada
aktivitas warga. Ada yang lari pagi, bersepeda, dan para petugas kebersihan.
Dari sini aku bisa menyaksikan gagahnya gunung marapi dan gunug singgalang.
Ingin mendaki kesana, tapi ada sedikit keraguan di hati. Landscape yang memberi
energi untuk bangun pagi. Kebetulan, Afif sedang melakukan perjalanan dinas ke
Pekanbaru, kabarnya Ia hendak menemuiku esok hari. Berarti aku harus
berlama-lama di kota ini, sebaiknya pagi ini aku mencari penginapan terlebih
dahulu. Sekalian sewa motor karena aku hendak pergi mengelilingi destinasi di
sekitar sini.
Aku menginap tak jauh dari pusat kota, tepatnya di
sekitar jembatan limpapeh. Disini juga menyediakan rental motor, pas sudah.
Sebenarnya tersedia kamar dormitory, sayangnya khusus untuk tamu WNA. Setelah
istirahat sejenak, pukul sepuluh pagi aku mulai berkendara menuju kabupaten
tanah datar. Melihat kemegahan istana pagaruyung, salah satu ikon sumatera
barat. Selanjutnya aku melanjutkan perjalanan ke danau singkarak, salah satu
magnet event sepeda yang rutin digelar setiap tahunnya. Menjelang senja, aku
melanjutkan perjalanan ke danau maninjau. Asah skill berkendara menuruni kelok
44 dengan plang asmaul husna sepanjang perjalanan.
Dalam perjalanan pulang, smartphone mulai low
baterai karena sinyal yang lumayan susah. Tak bisa lagi menggunakan maps, aku bergantung
pada papan penunjuk jalan. Ternyata perjalanan pulang berbeda arah, dengan
suasana yang cukup mencekam. Berkali-kali aku melihat kaca spion, tak ada
kendaraan lain. Rasanya ingin cepat-cepat tiba di kota. Lubang-lubang jalan aku
hiraukan, pokoknya pantang injak rem. Sedikit tenang kala berpapasan dengan
pengendara lain. Nyaris tak ada penerangan jalan, hanya lampu-lampu rumah
penduduk yang jaraknya lumayan jauh.
15 Desember 2017
Kabarnya malam ini Afif akan tiba di Bukittinggi,
karena Ia baru selesai rapat pukul 3 sore. Masih harus menempuh perjalanan
darat selama kurang lebihnya 4 jam. Hari ini aku hanya city tour, jalan-jalan
mengelilingi kota. Singgah ke pasar atas dan pasar bawah. Ternyata pasar atas
baru saja terbakar, para pedagang berjualan di lapak semi permanen. Ingin
menikmati kuliner lokal, namun takut kalo harganya tiba-tiba melejit hehehe. Eh
secara tidak sengaja aku menemukan sebuah kedai kopi yang berjualan di teras
minimarket. Baristanya cukup ramah, pernah menempuh studi di kota Bandung. Kopi
habis diseduh, nasi ampera sudah disantap, segelas teh talua tinggal menyisakan
busanya tapi Afif belum kunjung tiba. Satu porsi martabak manis untuk
menyambutmu sobat, akhirnya Ia datang. Kami berbincang-bincang saja di
penginapan karena kondisinya sama-sama sudah lelah.
16 Desember 2017
Hari ini kami ingin menikmati maninjau dari
ketinggian, driver pribadinya mengarahkan minibus yang kami naiki ke arah
puncak lawang. Banyak area spot untuk menikmati maninjau dari atas. Kami
mengunjungi 3 spot, di area ketiga ini kami cukup lama disana. Karena disuguhi
kopi tubruk dan pisang goreng yang baru saja diangkat dari wajan. Pukul 13.00
kami menuju ke Bandara Minangkabau, dengan laju kendaraan lumayan ngebut karena
waktu yang mepet. Untunglah drivernya lihai dan piawai mencari jalan tikus. 10
menit sebelum batas waktu check in bagasi aku sudah sampai. Kami pun berpisah,
aku pulang ke Surabaya sedangkan Afif kembali ke Bukittinggi. Matursuwun lur!
Berangkat dari Jogja.
Tersesat di Jambi.
Pulang ke Surabaya.
Bukittinggi, suatu hari nanti aku akan kembali.
Ingin sekali lagi mengelilingi pagimu dengan bersepeda.
Rabu, 26 Desember 2018
Bikepacking ke Bali, Mendaki Menara Suci Pulau Dewata
Dyas, begitulah beberapa teman memanggilanya.
Namun ditanah kelahirannya dia lebih dikenal dengan nama Ikhsan. Semenjak duduk
dibangku kuliah, dia memang mulai akrab disapa dengan nama dyas. Baiklah,
langsung to the point saja karena dia mulai kesulitan mencari waktu “nyuwung” untuk
mengabadikan catatan perjalanannya. Ya, fenomena semenjak lulus dari bangku
kuliah (akhirnya dia lulus juga hehehe).
3 tahun belakangan ini dia mulai aktif bersepeda
setiap hari “ngepit saben dinten”, perjalanan demi perjalanan yang dilaluinya telah
membentuk karakter cinta lingkungan. Tinggal di kota kecamatan dengan mobilitas
rendah, membuatnya memilih untuk bike to kamanawae. Wujud mencintai lingkungan
dengan cara mengurangi polusi, tidak sulit namun juga tidaklah mudah.
Semester empat belas, dia kembali ke kampus Undip
Tembalang untuk menyelesaikan tanggung jawabnya sebagai mahasiswa. Mulai
terbiasa degan gaya hidup ramah lingkungan membuatnya merantau tanpa kendaraan
bermotor. Dia memutuskan untuk menggunakan sepeda lipat sebagai moda
transportasi sehari-hari. Memang sepeda ini terbilang paling praktis, karena
bisa dibawa naik ke gerbong kereta tanpa dipungut biaya. Sehingga kalau hendak
pulang kampung tinggal mix commuting dengan KA kedungsepur, blora jaya, maupun
kereta lainnya.
Tahun dua ribu tujuh belas dia mulai merencanakan
sebuah perjalanan dengan menggunakan sepeda kesayangannya. Lumayan, kali ini dia
mendapatkan jatah libur selama seminggu. Setelah ngulik sana-sini akhirnya dia
memutuskan pulau bali sebagai tujuannya. Jika full gowes jelas waktu yang
dimilikinya tidaklah cukup, paling efektif adalah mix commuting dengan kereta
api. Namun dia juga ingin melakukan pendakian ke Gunung Agung untuk melengkapi kepingan
perjalanannya mendaki gunung-gunung di kawasan selatan nusantara.
Berdasarkan referensi sana-sini dari berbagi sumber
bloger, dia menarik kesimpulan bahwa gunung agung ini cukup efektif jika
dilalui dengan tektok (naik langsung turun) karena minim lokasi campground dan
tidak adanya sumber air untuk jalur pura besakih. Oke rencana sudah cukup
matang, lagi-lagi dia memutuskan untuk pergi seorang diri. H-1 dia mulai packing,
dengan keril 32L kesayangannya. Peralatan pendakian dan perlengkapan sepeda
mulai dikemas. Keril sudah penuh, namun barang bawaan belum semuanya dikemas.
Mau menggunakan keril 60L tapi dirasa terlalu besar. Perbekalan mulai disortir,
barang-barang yang minim fungsi mulai di eliminasi. Sleeping bag dia tinggalkan,
peralatan tidur hanya hammock dan sleeping pad. Sepatu trekking juga Ia tinggalkan,
pake sepatu running sepertinya masih mumpuni. Cooking set bawa yang simple
saja, yang penting cukup untuk seduh kopi. Semuanya sudah dalam pertimbangan yang
cukup matang, berangkat!.
07 Mei 2017
Sepeda mulai dikayuh dari rumah menuju tempat
transit pertama yaitu stasiun ngrombo. Jaraknya cuma 3 kilometer, kemudian
bertolak ke Surabaya dengan kereta api Maharani. Disana dia sudah janjian
dengan seniornya, bahaya jika tidak sungkem sama beliau wkwkwkw. Pendakian
bersamanya waktu ke arjuno – welirang mengajarkan banyak hal, terutama tentang “gear
adalah nyawa kedua”. Sore menjelang malam dia telah sampai di Stasiun Surabaya
Pasar Turi, kemudian malam harinya dia ngopi-ngopi syahdu bersama seniornya di
minimarket kawasan Gubeng, tepat disamping stasiun.
Pukul 22.00 mereka berpisah, dia mulai melanjutkan
perjalanan menuju Banyuwangi dengan kereta api mutiara malam. Tak banyak yang
bisa diceritakan dalam perjalanan ini karena dia benar-benar full tidur agar
besok pagi fit melahap rute 125 kilometer pesisir selatan pulau dewata.
08 Mei 2017
Adzan subuh menandai kedatangannya di Stasiun
Banyuwangi Baru. Stasiun yang cukup berkesan baginya. Pertama kalinya dia naik
kereta yaitu finish disana, tidur disana. Ini merupakan kali ketujuh dia
singgah disana, kurang lengkap rasanya jika belum makan nasi bungkus yang
dijajakan diatas sepeda onthel. Pejualnya ternyata belum tergantikan, masih
sama seperti 4 tahun yang lalu. Ingatanya seakan dibuka kembali, samar-samar
melihat teman-temannya berada disekelilingnya.
Perjalanan kembali dilanjutkan menuju Pelabuhan Ketapang,
selangkah lagi akan sampai di garis start. Dia merasa ini semacam perjalanan
nostalgia, mengenang kembali lembaran lama. Akhirnya dia sampai di Gilimanuk,
perjalanan dimulai. Baru beberapa kayuhan dia melihat sebuah posko mudik tak
berpenghuni, dua tahun lalu dia pernah bermalam disana. Sepedanya masih terus
dikayuh, memasuki kawasan taman nasional bali barat perasaanya mulai agak
cemas. Banyak kera-kera liar dipinggir jalan. Belum lagi anjing, sempat ada
insiden dikejar seekor anjing yang mambuat nafasnya tak berirama. Setelah
kejadian tersebut, dia istirahat sejenak sambil mengatur nafas.
Perjalanan kembali dilanjutkan, perlahan namun
pasti aln-alon waton kelakon. Check point kedua berhenti di warung masakan
padang sepertinya pilihan yang tepat. Dia pun sampai di pusat keramaian kawasan
Negara, tepatnya di Kelurahan Tegalcangkring. Namun dia masih enggan memarkir
sepedanya. Warung padang pertama terlewati, kedua juga terlewati, begitu pun seterusnya.
Sebenarnya dia tak terlalu paham dengan rute gilimanuk – denpasar karena
perjalanan-perjalanan sebelumya dia selalu tertidur didalam bus. Lepas dari
kawasan Negara, mulai menyusuri area persawahan. Cukup sulit menjumpai warung
makan, yang ada hanya warung-warung klontong. Seakan-akan dia mendapatkan
ganjaran atas sikpanya yang kerap menunda-nunda itu hahahaa. Setiap melihat
warung, hampir pasti dia singgah. Sekedar menyantap roti untuk mengusir rasa
lapar dan minum agar terhindar serangan dehidrasi. Jalan naik turun nikmati
saja, sungguh ini diluar perkiraannya. 125 kilometer yang menurut google maps
sanggup ditempuh dengan waktu 8 jam sepertinya meleset. Start yang Ia mulai
dari pukul 08.00 tadi perkiraan akan
sampai denpasar sekitar pukul 4 sore, meskipun tak memasang target khusus. Yang
penting sampai di Ibukota Provinsi sebelum hari gelap.
Memasuki kawasan Pulukan, pemandangan laut disebelah kanan cukup membawa angin sejuk untuk terus mengayuh. Namun didepan sana mendung gelap telah menanti. Dalam perjalanan dia melihat sebuah posko di seelah kiri badan jalan, singgah sejenak untuk berpikir. Arlojinya sudah menunjuk pukul empat sore dan kota denpasar masih sekitar 40 kilometer lagi. Mulai ragu, ditambah lagi kurang paham kondisi daerahnya. Lepas dari Negara tak kunjung menemui pusat keramaian mempengaruhi mentalitasnya. Sempat muncul pikiran untuk mengakhiri perjalanan kemudian dilanjutkan dengan naik bus. Tapi, kapan lagi ke Bali? mungkin perjalanan ini tak akan bisa diulang kembali. Semangatnya kembali berkobar, sambil berdoa semoga tidak turun hujan. Memasuki kawasan Tabanan, dia kembali teguh pada tekadnya karena menjumpai keramaian. Hendak berhenti di warung padang tapi dalam hatinya berkata “tanggung, hajar terus. hari juga hampir gelap”. Dia hiraukan rasa lapar (Jangan ditiru, berbahaya. Namun dia merasa kondisi tubuhnya memang masih sanggup untuk jalan terus. Hanya anda sendiri yang tahu batas kemampuan anda).
Memasuki kawasan Pulukan, pemandangan laut disebelah kanan cukup membawa angin sejuk untuk terus mengayuh. Namun didepan sana mendung gelap telah menanti. Dalam perjalanan dia melihat sebuah posko di seelah kiri badan jalan, singgah sejenak untuk berpikir. Arlojinya sudah menunjuk pukul empat sore dan kota denpasar masih sekitar 40 kilometer lagi. Mulai ragu, ditambah lagi kurang paham kondisi daerahnya. Lepas dari Negara tak kunjung menemui pusat keramaian mempengaruhi mentalitasnya. Sempat muncul pikiran untuk mengakhiri perjalanan kemudian dilanjutkan dengan naik bus. Tapi, kapan lagi ke Bali? mungkin perjalanan ini tak akan bisa diulang kembali. Semangatnya kembali berkobar, sambil berdoa semoga tidak turun hujan. Memasuki kawasan Tabanan, dia kembali teguh pada tekadnya karena menjumpai keramaian. Hendak berhenti di warung padang tapi dalam hatinya berkata “tanggung, hajar terus. hari juga hampir gelap”. Dia hiraukan rasa lapar (Jangan ditiru, berbahaya. Namun dia merasa kondisi tubuhnya memang masih sanggup untuk jalan terus. Hanya anda sendiri yang tahu batas kemampuan anda).
Akhirnya pukul 20.00 Waktu Indonesia Tengah dia
sampai di Denpasar, lalu finish di warung nasi padang. Langsung saja pesan nasi
padang double serta rendangnya dua. Itu merupakan nasi padang ternikmat yang
pernah Ia santap. Mungkin karena perjuangannya hehehe. Selepas bersantap ria,
kemudian Ia bergegas mencari penginapan
untuk recovery sembari memikirkan rencana esok hari menuju pura besakih.
Lumayan sulit mencari penginapan sesuai budget
yang diinginkan melalui aplikasi, akhirnya dia melipir ke kawasan sanur. Nah
disana dia mendapatkan penginapan yang sesuai. Setelah check in, bergegas mandi
agar segala macam kotoran bercampur keringat serta polusi menghilang dari
badan. Badan kembali rileks, mulai menyusun strategi esok hari. Dia mulai
mengurungkan niat untuk bersepeda ke Pura Besakih, karena menurut perkiraannya
internal gir sram 3 speed tak akan mampu melahap tanjakan menuju kesana. Oke berarti
besok dia harus mencari rental motor. Lalu mencari guide dalam pendakian karena
ada aturan wajib porter per tim. Cari sana-sini tarifnya tidak masuk di budget
karena rata-rata diatas 500k. Akhirnya ada satu guide yang pasang tarif 300k,
dengan catatan dia digabungkan dengan rombongan dari Jakarta. Okelah tidak
masalah baginya. Plan untuk besok sudah rapi, waktunya dia istirahat agar
tubuhnya kembali bugar.
09 Mei 2017
Cuaca cukup cerah pagi itu, membuat dirinya kembali
bersemangat melanjutkan perjalanan menuju kaki gunung agung. Sarapan warteg di
Bali, penjualnya orang jawa. Semacam warung makan lintas budaya. Hari ini dia
agak santai, tidak terlalu diburu waktu. yang penting sore hari sudah sampai di
besakih. Waktu tempuh dari denpasar menuju besakih sekitar dua jam menggunakan
sepeda motor. Sampai di tempat rental motor, dia menitipkan sepeda
kesayangannya. Benar saja, beruntung dia mengurungkan niat bersepeda menuju
besakih karena tanjakannya lumayan membuat matic beat rentalan ini “ngeden”. Sekitar
pukul 18.00 dia tiba di kawasan parkir wisata pura besakih. Kebetulan guide
yang akan mendampinginya dalam pendakian juga memiliki warung di area parkir
wisata jadi cukup mudah untuk bertemu dengan beliau.
Rombongan dari Jakarta perkiraan akan tiba
dinihari nanti dan meraka direncanakan memulai trekking pukul 03.00 dinihari.
Wasting time yang cukup lama baginya, udara besakih yang lumayan dingin
berhasil merangsang rasa kantuknya. Dia pun menggelar sleeping pad dan bermalam
di warung. Tidur dengan rasa was-was karena cukup banyak anjing disana.
10 Mei 2017
Pendakian dimulai, tak ada sedikitpun keraguan
dalam dirinya bersama teman-teman barunya yang berjumlah enam orang. Beberapa
peralatan sepeda dia tinggalkan di bagasi motor beserta barang-barang yang
kurang berguna dalam pendakian. Logistik yang dia bawa adalah yang siap santap.
Roti, coklat, snack, sesuai perhitungannya. Dua jam perjalanan Ia mulai ragu,
dia melihat bahwasannya rombongan tersebut ada yang membawa tenda. Lalu yang
membawa keril justru diisi beban berat sedangkan yang membawa daypack hanya
diisi baju ganti yang bobtnya cukup ringan. Menurut sudut pandangnya jelas
manajemen packing tersebut kurang efektif. Sampai di POS 1 keraguannya makin
bertambah karena rombongan tersebut ternyata tidak membawa gas. Beruntunglah
dia membawa gas yang rencanya hanya untuk seduh kopi. Kesabarannya benar-benar
diuji.
Arloji menunjukkan pukul 08.00 namun POS 2 belum
juga berhasil di capai. Puncaknya adalah ketika guide berbicara empat mata
dengannya “mas, jika seperti ini terus tidak akan berhasil sampai top”. Nah,
disini dia mulai mencari solusi terbaik baik bagi dirinya dan teman-teman
barunya. Akhirnya setelah berkumpul semua, dia mengusulkan untuk beberapa
barang bawaan rombongan tersebut sedikit dikurangi. Dengan kondisi tersebut,
jelas tidak mungkin mendirikan tenda. Sebaiknya ditinggal di semak-semak.
Apabila terjadi kondisi darurat, ternyata guide mereka sudah meninggalkan tenda
kapasitas 4 tepat di kori agung (POS 3).
logistik yang rumit sebaiknya juga ditinggal, toh rombongan
tersebut juga tidak membawa gas. Baju ganti juga sebaiknya ada yang ditinggal
karena melihat kondisi alam cukup cerah. Namun mereka masih enggan mengurangi
barangnya karena di khawatirkan hilang. Dia kembali meyakinkan teman-teman
barunya bahwa di lokasi parkir tadi tak terlalu banyak kendaraan jadi
kemungkinan yang mendaki satu atau dua orang. Prediksinya juga pasti pendaki
WNA, hampir pasti meraka tidak suka mencuri. Akhirnya usulannya disepakati dan perjalanan
kembali dilanjutkan. Irama langkah kakinya lebih cepat, tidak seperti tadi.
Pos 3 telah dicapai, mereka memutuskan istirahat
untuk masak mie instan. Tabung gas ia keluarkan dari ransel, lalu ia pinjamkan
ke rombongan lain. Dia cukup menikmati dua potong beng-beng dan kopi hangat.
Cukup ampuh menurunkan tingkat emosinya. Dia ditawari mie instan namun
ditolaknya secara halus karena dia sedang mengukur kemampuannya. Mencoba memaksimalkan
perhitungan logistik yg sudah dia bawa.
Sembari istirahat sruput-sruput kopi yang mulai dingin, dia dibuat takjub dengan rapatnya hutan di sekeliling Gunung Agung dan Gunung Batur benar-benar masih terjaga. Memang aturan adat dan sanksi adat masih berlaku disana, jadi jika hendak tebang pohon maka mereka juga harus tanam. Samar-samar dari kejauhan juga Ia melihat Gunung Raung gagah menjulang, salah satu gunung yang Ia impikan pula.
Tepat pukul 12.00 mereka semua berhasil mencapai
atapnya pulau dewata. Dibawah matahari yang cukup terik, tak perlu berlama-lama
diatas sana karena kabut mulai beranjak naik ke atas. Dalam perjalanan turun,
dia sengaja berada di paling belakang. Ada sesuatu hal yang dirasakannya.
Entahlah, dia merasa enjoy meski tertinggal jauh dari rombongan. Berbeda dengan
gunung-gunung lainnya. Pukul 18.00 dia sampai kembali di pura besakih,
setelah menyelesaikan kewajiban dia langsung berpamitan dan bergegas kembali ke
Denpasar. Pendakian yang mengajarkan banyak hal, terutama tentang manajemen
packing.
Plan berikutnya adalah bertolak kembali ke jawa, untuk
mempersingkat waktu perjalanan denpasar – gilimanuk sepedanya dilipat dan
diangkut menggunakan bus. Rencana selanjutnya adalah melanjutkan perjalanan
Banyuwangi – Surabaya – lalu lanjut ke Kutoarjo mengunjungi kawan lama. Kemudia
sebelum pulang tak lupa untuk singgah semalam di Jogja.
Nikmat Bersepeda. . . . . .
Langganan:
Postingan (Atom)